Saya coba mengingat-ingat peristiwa paling heroik yang terkait dengan NU dan pesantren, dalam rangka memeriahkan literasi Satu Abad NU versi Hijriyyah, sesuai arahan LTN PBNU.
Karena di panggung seni di Sidoarjo akan hadir Raja Dangdut Rhoma Irama, saya jadi terkenang pristiwa puluhan tahun silam, tepatnya awal 1985. Saat itu saya duduk di bangku kelas 3 MTs. Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Menjadi Ketua OSIS dan mengelola Majalah Dinding An-Nasyat, adalah fondasi keahlian saya menulis saat ini. Di bawah bimbingan para senior yang gemati: Muhammad Abduh, Supardi dan Ahmad Majidun, dan lain-lain.
Sebagai siswa kelas 3 MTs., kami tinggal di asarama B, bersebelahan dengan Asrama A yang dihuni oleh siswa kelas 3 Madrasah Aliyah. Kedua asrama tersebut bersebelahan dengan ndalem KH. Zainal Abidin Munawwir. Kelebihan tinggal di Komplek B adalah sering ditimbali Mbah Zainal untuk membelikan barang-barang kecil keperluannya di warung terdekat, seperti obat nyamuk.
Siang itu, sehabis qoilulah, yang merupakan kemewahan santri Krapyak saat itu, alias tidur siang barang sebentar. Sepulang dari sekolah dan makan siang. Saat saya sedang mandi setelah masuk waktu asar, tiba-tiba teriakan dari mulut ke mulut terdengar kencang dan mengundang minat, “Ada Rhoma Irama!”
Tokoh Sound of Muslim itu memang magnet. Saya bergegas meraih handuk dan segera mengenakan pakaian. Lalu lari menuju ke rumah Kiai Ali. Jika biasanya kami akan berhati-hati saat lewat di depan rumah beliau, apalagi kalau pagi hari tidak ikut sorogan, sore itu semua “kalap”. Rumah kiai yang berjendela banyak dan selalu terbuka seharian, sudah penuh dengan santri. Tak ada yang kosong. Saya yang datang belakangan tentu saja tidak bisa melihat sosok idola yang sedang sowan itu.
Melihat situasi tidak kondusif, Kiai Ali memindahkan pertemuan ke Gedung Baru. Ruangan luas itu segera penuh terisi dengan santri, dari depan hingga belakang, tak tersisa. Saya tidak ingat lagi apa pengantar Kiai Ali dalam pertemuan itu. Namun yang saya masih ingat ialah ayat yang dibacakan oleh Rhoma Irama. Melekat sampai sekarang.
Dia membacakan ayat, “Wa qaatilul musyrikiina kaaffah, kamaa yuqootiluunakum kaaffah.” Lalu dia pidato dengan penuh semangat, tapi hanya ayat itu saja yang masih saya ingat. Setelah dirasa cukup, Kiai Ali kemudian membawa Rhoma Irama ke Hotel Istana di Tompeyan, milik KH Saiful Mujab.
Kami yang masih bocah belum memahami benar apa maksud kedatangan Raja Dangdut itu dan pidato yang disampaikannya. Sampai tiba saatnya salat Jumat. Kemewahan lain bagi kami di Komplek B adalah selalu ketempatan salat Jumatnya Kiai Ali Maksum. Seusai salam, kami segera “meneyerbu” beliau untuk mencium tangannya. Lalu kami duduk di sekitarnya menunggu beliau berdawuh. Satu-dua santri memijat kakinya yang berselonjor.
“Kalian mau tahu, apa maksud kedatangan Rhoma Irama tempo hari itu?”
“Nggiiih,” kompak kami menjawab. Memang kami menunggu informasi selanjutnya dari peristiwa sore itu. Soalnya, tidak dimuat di harian Kedaulatan Rakyat yang biasa dipajang di depan kantor pesantren. Juga tidak ada bisikan dari para senior soal kejadian itu.
“Dia datang untuk meminta izin perang,” lanjut Kiai Ali. “Tentu saja kami tidak mengizinkan. Dia diminta untuk fokus saja berkesenian dan menyerahkan urusan politik kepada para ulama.”
Belakangan saya diperlihatkan sebuah majalah oleh Pak Ambas yang berasal dari Ciampea Bogor. Isinya liputan Peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984. Ada sebuah foto yang memperlihatkan ribuan massa yang mengantarkan jenazah Amir Biki, salah seorang tokoh pendakwah yang tewas dalam peristiwa itu.
“Kamu bayangkan, Ip, jika para pelayat ini melawan,” kata Pak Ambas. Saya tak menjawab, hanya coba membayangkan sesuatu yang tak pernah bisa saya bayangkan itu.
Begitulah. Sekalipun hanya menduduki kursi Rais ‘Aam sebentar saja (1981-84), menggantikan posisi KH. Bisri Sansuri yang wafat, Kiai Ali tetap banyak didatangi tokoh dan pejabat. Setiap pagi tamu berjajar di ndalemnya, bergiliran untuk menyampaikan maksudnya satu per satu. Itulah sebabnya ruang tamu beliau terdiri dari deratan kursi dan meja yang memanjang, agar bisa menerima tamu dalam jumlah banyak. Biasanya para tamu ini akan disuguhi sarapan nasi goreng, sebelum kiai berkenan menemui mereka.
Tak lama lagi, Rhoma Irama akan tampil di panggung Satu Abad NU di Sidoarjo bersama artis ibukota yang lain. Tepatnya pada Selasa, 7 Februari 2023. Sampai saat ini dia tetap idola, salah satunya, mungkin, karena waktu itu mau mendengar nasehat ulama.
Penulis adalah direktur Media Center PWNU Jabar.
https://jabar.nu.or.id/ngalogat/kiai-ali-maksum-dan-rhoma-irama-D04Ho