Dalam khutbah Jumat yang disampaikan seorang khatib berpesan agar umat senantiasa menjaga ukhuwah Islamiyah dengan sesama manusia. ‘Kita harus rukun dengan tetangga kita. Meminta maaflah jika pernah berbuat salah, dan menjadi pemaaflah jika orang lain yang meminta maaf’. Itu adalah pesan dari seorang khatib shalat Jumat yang biasa kita dengar di masjid-masjid, khususnya ketika shalat Jumat di awal bulan Syawal, atau bertepatan dengan momentum Idul Fitri. Kita diingatkan untuk selalu menjaga kerukunan, silaturahmi, dan sebagainya, dan sebagainya.
Pesan yang disampaikan oleh sang khatib pada khutbah Jumat biasanya akan berisi tentang momentum hari-hari tertentu dalam Islam, seperti khutbah Jumat di awal Syawal yang berisi ajakan menjaga ukhuwah Islamiyah; khutbah di awal Dzulhijjah yang bercerita tentang kisah Nabi Ibrahim diperintah Allah sembelih Nabi Ismail; pentingnya menyantuni anak yatim di khutbah Jumat bulan Muharram, hingga manfaat berpuasa ketika khutbah Jumat bulan Ramadhan.
Di hari-hari biasa, khatib shalat Jumat biasanya akan menyampaikan pesan-pesan teologis, perintah berlaku baik terhadap orang tua dan guru, dalil-dalil tentang iman dan taqwa, hingga kehidupan pascakematian. Selama saya menjadi ‘audiens’ khutbah Jumat, dari waktu saya kecil sampai dewasa, sangat jarang saya mendengar khatib menyampaikan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan hidup, meskipun saya juga yakin di masjid-masjid lain ada orasi ekologis yang disampaikan sang khatib, meski jumlahnya saya yakin juga tidak banyak.
Ketika shalat jumat di masjid yang saya singgahi, pesan yang dikemukakan sang khatib adalah hal-hal ‘common sense’. Dalam arti, tema-tema yang disampaikan sudah umum. Padahal tempat tinggal saya, di mana saya dibesarkan dan menghabiskan hari-hari (bersamanya, misalnya), adalah daerah yang pencemaran dan kerusakan lingkungannya terbilang masif dan sistematis. Banjir, rob, air tercemar limbah, penurunan muka tanah, polusi udara dan lain-lain. Masalah-masalah seperti ini yang seharusnya juga perlu diorasikan oleh pemuka agama di semua agama, lebih-lebih kalangan Islam yang jumlah umatnya paling banyak. Khutbah Jumat, pengajian di majelis taklim, pengajian berskala besar dengan ribuan pengunjung, hingga rutinan jamaah yasin tahlil yang hanya diikuti belasan orang, saya kira perlu membahas tentang kelestarian lingkungan.
Ketika momentum hari-hari tertentu (seperti yang saya sebutkan di awal) sang pemuka agama akan menyampaikan terkait apa yang sedang relevan, maka hari-hari khusus yang berhubungan dengan lingkungan atau ekologi pun seharusnya para pemuka agama ini perlu memberikan wejangan-wejangannya. Juga terkait apa yang sedang relevan di hari itu, atau di pekan tersebut. Hari-hari khusus yang berhubungan dengan lingkungan hidup, dalam kalender tahunan, ada yang namanya hari bumi. Hari bumi kita peringati setiap tanggal 22 April. Pada tahun ini jatuh pada hari senin. Lalu ada pula hari lingkungan hidup sedunia yang jatuh pada 5 juni, hari peduli sampah nasional setiap 21 februari, hari air sedunia yang diperingati setiap 22 maret, dan masih banyak hari-hari lain yang berhubungan dengan lingkungan.
Hari-hari tersebut juga masing-masing mempunyai sejarah dan makna tersendiri, sama seperti hari kartini yang akan diperingati oleh para perempuan di Indonesia, hari buruh yang akan menjadi momentum para pekerja menuntut hak-haknya, hingga hari pendidikan nasional yang dirayakan dengan melaksanakan upacara bendera di berbagai instansi pendidikan. Maka, dengan konsep seperti itu, hari bumi, hari lingkungan hidup, hari peduli sampah nasional, dan hari air sedunia juga perlu untuk diperingati dengan skala yang sama. Mereka juga sama-sama hari, sama-sama produk peradaban, yang perlu diperhatikan. Upaya-upaya konkrit, di kehidupan nyata, yang biasanya menjadi ajang untuk memperingati hari bumi misalnya, adalah aktivitas penanaman pohon.
Akan tetapi, di ranah media sosial, hari-hari yang berhubungan dengan lingkungan hidup, gaungnya tidak seramai hari kartini, hari buruh atau hari pendidikan. Ini tentu menjadi perhatian kita bersama, sekaligus juga memunculkan pertanyaan “mengapa demikian?” Apakah masyarakat kita masih banyak yang belum sadar akan pentingnya menjaga bumi, merawat alam dan keanekaragaman hayati, buang sampah pada tempatnya, atau karena apa?
Tokoh agama dalam hal ini memiliki peran yang vital. Ketika para kiai, ustadz, ulama, atau apapun sebutannya harus mau dan mampu menyampaikan hal-hal yang relevan dengan kondisi dan situasi pada waktu itu juga, seyogyanya mereka juga perlu untuk ‘mempresentasikan’ pesan-pesan ekologis ketika momen hari bumi misalnya, atau hari lingkungan hidup yang akan jatuh pada 5 Juni 2024 nanti.
Tanggal 5 Juni 2024 bertepatan dengan hari Rabu. Nah di hari Jumatnya tanggal 7 Juni 2024, para khatib shalat Jumat perlu untuk menerangkan hal ini. Memberitahu jamaah bahwa ada yang namanya ‘hari lingkungan hidup sedunia’, hingga bagaimana mengajak hadirin yang berbahagia untuk menjaga keberlanjutan ekologi, atau menyampaikan wejangan kepada jamaah shalat jumat tentang dosa akibat mencemari lingkungan misalnya.
Pada intinya, dalil-dalil tentang pelestarian alam perlu digembar-gemborkan lebih nyaring lagi. Tokoh agama, yang diberi tugas untuk berorasi di mimbar-mimbar, di majelis-majelis, di panggung-panggung pengajian, perlu untuk menyampaikan pesan-pesan tersebut. Terlebih, isu lingkungan ini sebenarnya tema yang jadi perbincangan global di abad 21, bukan momentum satu atau dua hari. Setiap hari, di media sosial, kita pasti mendengar kabar tentang kerusakan alam, penangkapan hewan, bencana alam, hingga perubahan iklim.
Jihad Ekologis Kiai NU
Saya yakin, mayoritas kiai sebenarnya sudah paham akan fenomena kerusakan lingkungan, dan perubahan iklim. Termasuk para kiai NU. Kiai NU yang seringkali tampil di acara-acara pengajian, seyogyanya perlu menyentil isu lingkungan sebagai kajian utama dalam mauidhah hasanahnya, supaya masyarakat paham akan hal tersebut.
Apalagi sejarah pernah mencatat kiai-kiai NU pernah aktif pada isu lingkungan hidup, khususnya dalam memanfaatkan, melestarikan, dan mengembangkan lingkungan hidup. Antara lain seperti KH Sahal Mahfudh, KH Ali Yafie, dan KH Abdurrahman Wahid. Nama yang disebut terakhir, yakni Gus Dur pada masa orde baru dikenal sebagai pendukung sekaligus pelindung para aktivis lingkungan, selain tentunya Gus Dur juga melakukan keaktifan lainnya di bidang lingkungan hidup. Sehingga tak heran Gus Dur dianugerahi oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) sebagai tokoh pejuang lingkungan pada 2010.
Seorang Kiai atau ulama NU sebagaimana yang kita ketahui memiliki sebuah tempat eksotis dalam hati masyarakat, eksistensinya sebagai sebuah harapan besar dalam berbagai konflik sosial dalam masyarakat. Lebih-lebih kiai NU yang ada di kampung. Di samping sebagai guru agama, kiai kampung adalah seorang imam sekaligus tokoh masyarakat Islam setempat. Selain dipercaya masyarakat untuk memimpin shalat berjamaah, Kiai Kampung juga terkadang diminta masyarakat untuk memimpin acara seperti tahlilan, ziarah, hingga menjadi tempat curhat untuk mencarikan solusi permasalahan. Artinya, antara seorang kiai dengan umatnya tidak terlalu berjarak.
Melihat fakta tersebut, tentu ini menjadi peluang besar bagi para kiai kampung untuk menyampaikan pesan-pesan ekologis kepada masyarakat. Terlebih masyarakat Nahdliyin ini terkenal sebagai kelompok yang patuh, sendiko dawuh, dan taat pada kiai. Bahasa kerennya ‘sami’na wa atho’na.’ Kiai, menurut KH Ma’ruf Amin, pengaruhnya sangat besar dalam memberikan arahan dan bimbingan kepada santri dan masyarakat luas dan akan selalu menjadi panutan bagi mereka. Sami’na wa atho’na (kami mendengar dan kami mentaati) itulah yang menjadi ciri khas bagaimana pengaruh kiai bagi santri dan masyarakat luas.
Dengan kapasitas seorang kiai atau ulama diharapkan mampu mewariskan gambaran tentang berharganya nilai-nilai spiritualitas ekologi ini. Melalui aspek teologi inilah agaknya bisa merubah cara pandang Nahdliyin terhadap lingkungan, dan bisa membuka kesadarannya selain untuk memanfaatkan kekayan alam juga bertanggung jawab atas kelestarian dan menjadikan penjagaan lingkungan bagian dari agama. Wallahu a’lam bishawab
Khairul Anwar, alumni pascasarjana UIN KH Abdurrahman Wahid Pekalongan , kontributor NU Online Jateng
https://jateng.nu.or.id/opini/kiai-nu-dan-orasi-ekologis-xXeu6