Kisah Abdul Muthalib, dari Melawan Abrahah hingga Menjaga Nabi Muhammad

Tahun kelahiran Rasulullah dihubungkan dengan Tahun Gajah (570 M), ketika Abrahah, penguasa Yaman berniat menghancurkan Ka’bah. Peristiwa itu direkam dalam Al-Qur’an, Surah al-Fil (105). Penamaan Tahun Gajah didasarkan pada pasukan bergajah yang dibawa Abrahah al-Asyram untuk meratakan Ka’bah.

Ada beberapa alasan Abrahah berniat demikian. Ia membangun gereja megah di Sana’a yang diberi nama al-Qalis dengan harapan dapat menjadi tempat ibadah haji terbesar di seluruh Arab, menyaingi Makkah.

Saat Abrahah mengambil keputusan menyerang Makkah, dia tampil paling depan di atas seekor gajah besar. Suku-suku Quraisy, yang ketika itu secara de facto dipimpin oleh kakek Nabi Muhammad, Abdul Muthalib, tidak melakukan perlawanan. Abdul Muthalib dan pengikutnya bukan lawan seimbang untuk bala tentara Abrahah.

Muhammad Husain Haekal dalam Sejarah Hidup Muhammad (2003) mencatat bahwa Abdul Muthalib bertemu dengan Abrahah di perkemahan sang penguasa Yaman. Namun, Abdul Muthalib justru hanya meminta 200 ekor untanya yang dirampas pasukan Abrahah dalam perjalanan ke Makkah.

Saat pasukan Abrahah yang dipimpin Aswad bin Maqfud sampai di Tihamah, mereka merampasi harta penduduk, termasuk 200 ekor unta milik Abdul Muthalib. Melihat perampasan itu beberapa pemuka Quraisy bertekad untuk berperang melawan tentara Abrahah. Namun, mengetahui kekuatan tidak imbang, mereka mengurungkan niat untuk berperang.

Ketika bertemu Abrahah, Abdul Muthalib berkata, “Aku pemilik unta-unta itu, sementara Ka’bah ada pemiliknya sendiri yang akan melindunginya”.

Ini membuat Abrahah kecewa, karena ia menganggap pimpinan suku Quraisy tidak berniat melindungi Ka’bah. Abrahah juga akhirnya menilai bahwa Ka’bah tidak sepenting yang ia kira karena Abdul Muthalib sendiri lebih mementingkan unta-untanya.

Namun, apa yang disampaikan Abdul Muthalib hanyalah sebagai pengecoh Abrahah dan pasukannya sehingga mereka mengurungkan niatnya untuk menghancurkan Ka’bah dan berperang melawan penduduk Makkah.

Abrahah pun melalui utusannya menekankan bahwa dirinya tidak ingin berperang, hanya menghancurkan Ka’bah. Selama tidak ada bentrok, maka tidak akan ada pertumpahan darah.

Sementara itu, Abdul Muthalib tetap menasihati orang-orang Makkah untuk pergi ke lereng-lereng bukit, menghindari pasukan Abrahah, sembari mencari tempat untuk menyaksikan apa yang akan terjadi di kota esok hari. Lalu, di tengah Makkah yang sunyi, ketika penghancuran Ka’bah tampak akan berjalan begitu mudah, rencana Abrahah gagal total.

Martin Lings dalam Muhammad: Kisah Hidup Nabi Berdasarkan Sumber Klasik (2015) menyebutkan, gajah yang ada di barisan terdepan diarahkan pemandunya, Unays menuju Ka’bah. Namun ada Nufail, tawanan penunjuk jalan yang mempelajari aba-aba yang dipahami gajah itu.

Ketika Unays memberi komando agar sang gajah bangun, Nufail melakukan hal sebaliknya, yaitu memintanya duduk berlutut. Pasukan Abrahah melakukan segala cara agar gajah itu bangun, termasuk dengan memukul kepalanya dengan besi. Namun, sang gajah bergeming. Abrahah dan pasukannya tak mungkin bergerak lebih jauh lagi.

Abrahah ingin mengambil alih kota Mekah dan Ka’bahnya sebagai pusat perekonomian dan peribadatan bangsa Arab. Ini sejalan dengan keingin Kaisar Negus dari Ethiopia untuk menguasai seluruh tanah Arab, yang bersama-sama dengan Kaisar Byzantium menghadapi musuh dari timur, yaitu Persia (Irak/Iran).

Beberapa bulan setelah penyerbuan tentara gajah, Aminah melahirkan seorang bayi laki-laki, yang diberi nama Muhammad. Ia lahir pada malam menjelang dini hari Senin, 12 Rabiul Awal Tahun Gajah, bertepatan dengan 20 April 570 M.

Saat itu ayah Muhammad, Abdullah, telah meninggal dunia. Nama sendiri Muhammad diberikan oleh kakeknya, Abdul Muthalib. Nama itu sedikit ganjil di kalangan orang-orang Quraisy, karenanya mereka berkata kepada Abdul Muthallib, “Sungguh di luar kebiasaan, keluarga Tuan begitu besar, tetapi tak satu pun yang bernama demikian”. Abdul Muthallib menjawab, “Saya mengerti. Dia memang berbeda dari yang lain. Dengam nama ini saya ingin agar seluruh dunia memujinya.”

Pada saat Muhammad berusia enam tahun, ibunya Aminah binti Wahab mengajaknya ke Yatsrib (Madinah) untuk mengunjungi keluarganya serta mengunjungi makam ayahnya. Namun dalam perjalanan pulang, ibunya jatuh sakit.

Setelah beberapa hari, Aminah meninggal dunia di Abwa’ yang terletak tidak jauh dari Yatsrib, dan dikuburkan di sana. Setelah ibunya meninggal, Muhammad dijaga oleh kakeknya, ’Abd al-Muththalib.

Setelah kakeknya meninggal, ia dijaga oleh pamannya, Abu Thalib. Ketika inilah ia diminta menggembala kambing-kambingnya disekitar Mekkah dan kerap menemani pamannya dalam urusan dagangnya ke negeri Syam (Suriah,Libanon dan Palestina).

Adalah suatu kebiasaan di Mekah, anak yang baru lahir diasuh dan disusui oleh wanita desa dengan maksud supaya ia bisa tumbuh dalam pergaulan masyarakat yang baik dan udara yang lebih bersih. Saat Muhammad lahir, ibu-ibu dari desa Sa’ad datang ke Mekah menghubungi keluarga-keluarga yang ingin menyusui anaknya.

Penulis: Fathoni Ahmad
Editor: Syakir NF

Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.

https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/kisah-abdul-muthalib-dari-melawan-abrahah-hingga-menjaga-nabi-muhammad-kwBOA

Author: Zant