Kisah Abdullah bin Umar Al-Baidlawi, Ahli Tafsir yang Disangka Meninggal

Bagaimana kalau seseorang dianggap meninggal dan diperlakukan layaknya jenazah hingga dikuburkan? Padahal yang bersangkutan tidak sedang dalam keadaan meninggal?

Kisah ini disampaikan Habib Abdullah bin Abdurrahman al-Muhdlar dari Hadramaut, Yaman. Peristiwanya lumayan lama, tahun 2016 silam dan disampaikan saat menjawab pertanyaan salah satu jamaah tentang mati suri. Kehadirannya memenuhi undangan acara Haflah Akhir Sanah Pesantren Darut Tauhid Al Huda, Jatilawang, Wanayasa, Banjarnegara, Jawa Tengah.

Suatu saat, Abdullah bin Umar al-Baidlawi sudah dianggap meninggal oleh orang-orang di sekitarnya. Usai dirawat sebagaimana jenazah pada lazimnya, ia dikebumikan dan diratakan tanah di atas pusaranya. Namun, setelah dikubur, Abdullah ternyata belum mati. Hanya jantung dan napasnya yang berhenti sementara. 

Karena hidup namun tidak bisa keluar dari dalam kuburan, Abdullah bin Umar kemudian bernadzar. Jika bisa hidup kembali ke dunia sebagaimana semula, akan menafsiri Al-Qur’an.  

Ternyata, tidak sampai selang waktu lama, ada seorang yang berprofesi sebagai pencuri kain kafan datang menggali kuburan di mana Abdullah dikebumikan. Ia kaget bukan kepalang. Jenazah yang ia gali dapat bergerak sendiri. Ia pun lari tunggang-langgang. Jenazah yang hidup lagi ini lalu menyeru kepada pencuri.

 

“Hai, jangan lari, kemari! Begini, kamu ini ingin mencuri kain kafanku bukan?” 

“Iya,” jawab pencuri. 

“Sekarang, bawalah kain kafanku ini dan katakan kepada orang kampung suruh mereka mengirimkanku pakaian kemari,” pesan Abdullah. 

Dan benar, setelah kembali, Abdullah bin Umar ini menyusun tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil yang terkenal dengan Tafsir Al-Baidlawi. Habib Muhdlar menyimpulkan dengan adanya kisah tersebut, bahwa siapa pun dalam memutuskan perkara harus ada kalimat wallahu a’lam. Manusia hanya memutuskan yang tampak lahir saja. Sedangkan hakikatnya hanya Allah Yang Maha Tahu. 

“Seperti dokter di akhir zaman ini yang langsung memvonis mati salah satu pasien, misalnya. Mereka tanpa mengatakan allahu a‘lam. Padahal ini hanya pengetahuan saja. Bukan hakikat sebagaimana yang terjadi dalam cerita di atas,” kata Habib Abdullah bin Abdurrahman al-Muhdlar.

Maka tidak jarang, banyak orang yang hakikatnya belum mati namun justru baru mati saat dikubur, karena tak bisa bernapas atau yang lainnya sedangkan dokter memang sudah memberikan vonis mati. Di sinilah pentingnya kalimat wallahu a’lam. 

  

Terakhir, dai dari Yaman ini berpesan supaya tidak terlalu terburu-buru dalam mengurus jenazah. Cepat itu perlu, tapi jangan terlalu. Ciri-ciri orang mati setidaknya ada tiga hal, di antaranya hidung yang sudah melenceng, seperti meleleh ke samping, telapak kaki yang sudah tidak tegak ke atas, dan mulut yang berbau busuk.


https://jatim.nu.or.id/rehat/kisah-abdullah-bin-umar-al-baidlawi-ahli-tafsir-yang-disangka-meninggal-16YTv

Author: Zant