Umar bin Khattab merupakan sosok yang tegas dan terkadang sifatnya itu membuatnya lebih keras dalam menghadapi sejumlah persoalan. Seperti saat dimintai pendapat mengenai tawanan perang Badar. Umar mengusulkan agar semua tawanan dihabisi nyawanya. Berbeda dengan Abu Bakar, sifatnya yang lembut mengusulkan agar tawanan dibebaskan dengan syarat membayar tebusan.
Watak keras Umar ini sebenarnya sudah bawaan sejak lahir. Sebelum masuk Islam ia dikenal sebagai musuh Nabi Muhammad saw yang ditakuti. Ia tidak segan mengintimidasi setiap umat Muslim yang ditemuinya. Setelah mualaf, Umar berubah menjadi pembela dakwah Rasul yang disegani tanpa kehilangan sifat tegasnya. Di sisi lain, ia merupakan sahabat yang sangat taat pada Nabi Muhammad.
Berdialog dengan Hajar Aswad
Salah satu kisah ketegasan Umar yang menarik adalah saat ia berbicara pada Hajar Aswad. Sekali waktu ia menyaksikan Rasulullah mencium Hajar Aswad. Sebagai Muslim yang sangat loyal dengan sunnah Rasul, Umar pun mengikutinya.
Hanya saja, sebelum mencium batu hitam itu ia mengatainya seolah sedang berbicara kepada seseorang yang sedang ia marahi. “Sungguh, aku tahu kau ini hanya batu yang tidak bisa berbuat apa-apa. Andai saja Nabi tidak menciummu, aku pun tak akan pernah menciummu!”
Kisah ini dicatat Imam Al-Ghazali dalam Ihyâ ‘Ulûmiddîn dengan menngutip hadits riwayat Imam Bukhari berikut,
أنَّهُ جَاءَ إلى الحَجَرِ الأسْوَدِ فَقَبَّلَهُ، فَقالَ: إنِّي أعْلَمُ أنَّكَ حَجَرٌ، لا تَضُرُّ ولَا تَنْفَعُ، ولَوْلَا أنِّي رَأَيْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يُقَبِّلُكَ ما قَبَّلْتُكَ.
Artinya, “Sesungguhnya Rasulullah saw mendatangi Hajar Aswad dan menciumnya, Umar bin Khattab kemudian berkata (kepada Hajar Aswad), ‘Sungguh aku tahu bahwa kau hanya batu, tidak bisa memberikan mudarat dan manfaat. Sungguh, andai aku tidak melihat Nabi saw menciummu, niscaya aku pun tidak akan menciummu!” (HR Bukhari)
Dalam redaksi hadis sedikit berbeda disebutkan,
أنَّ عُمَرَ بنَ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عنْه قالَ لِلرُّكْنِ: أَما واللَّهِ، إنِّي لَأَعْلَمُ أنَّكَ حَجَرٌ لا تَضُرُّ ولَا تَنْفَعُ، ولَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ اسْتَلَمَكَ
ما اسْتَلَمْتُكَ، فَاسْتَلَمَهُ ثُمَّ قالَ: فَما لَنَا ولِلرَّمَلِ إنَّما كُنَّا رَاءَيْنَا به المُشْرِكِينَ وقدْ أَهْلَكَهُمُ اللَّهُ، ثُمَّ قالَ: شيءٌ صَنَعَهُ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ فلا نُحِبُّ
أَنْ نَتْرُكَهُ.
Artinya, “Sesungguhnya Umar bin Khattab berkata kepada rukun (Hajar ASwad), ‘Sungguh aku mengetahui bahwa kamu hanyalah batu yang tidak bisa mendatangkan mudarat maupun manfaat. Namun kalau bukan karena aku telah melihat Nabi saw menciummu tentu aku tidak akan menciummu.’”
“Maka dia menciumnya lalu berkata, ‘Kenapa pula kita harus berlari-lari kecil? Sungguh kami telah menyaksikan orang-orang musyrikin melakukannya namun kemudian mereka dibinasakan oleh Allah swt.’ Dia berkata lagi, ‘Berlari-lari kecil ini adalah sesuatu sunnah yang telah dikerjakan oleh Nabi saw dan kami tidak suka bila meninggalkannya.’” (HR Abdullah bin Umar)
Setelah Umar mencium batu itu, ia menangis dengan keras dan menoleh ke belakang. Ternyata ada Ali bin Abi Thalib. Umar berkata, “Wahai Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib), di sinilah tempat menumpahkan air mata dan doa-doa yang dikabulkan.”
Ali kemudian berkata, “Wahai Amirul Mu’minin, Hajar Aswad ini bisa memberi mudharat dan manfaat.”
“Bagaimana mungkin?” kata Umar.
“Sesungguhnya ketika Allah mengambil janji atas atas keturunan Adam, Dia menetapkan suratan dan meletakannya pada Hajar Aswad. Batu tersebut akan menjadi saksi bagi umat Muslim yang menepati janjinya, demikian pula menjadi saksi bagi orang kafir yang mengingkarinya,” jawab Ali menjelaskan.
Penjelasan Ali ini mengacu pada firman Allah swt dalam surat Al-A’raf ayat 173 tentang janji yang disanggupi anak cucu Adam saat masih dalam alam arwah. (Al-Ghazali, Ihyâ ‘Ulûmiddîn, 2016: Juz 1, h. 327)
Lebih lengkapnya Az-Zabidi dalam Itḫâfus Sâdatil Muttaqîn mengisahkan, begitu Allah selesai menciptakan Nabi Adam, diusaplah punggung Adam dan keluar keturunan-keturunannya yang berjanji kepada Allah untuk menyembah dan menaati-Nya. Janji itu ditulis dalam sebuah kertas yang dimasukkan ke mulut Hajar Aswad.
Kelak, di akhirat batu mulai itu memiliki kedua mata dan mulut untuk menjadi saksi atas janji anak cucu Adam dulu. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin, 2016: juz IV, h. 470)
Pesan moral
Sekilas sikap Umar terhadap Hajar Aswad di atas seolah menunjukkan dirinya tidak mempercayai keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh batu mulia itu. Tapi jika ditelisik lebih dalam, ada hikmah besar di balik ucapannya.
Saat peristiwa ini terjadi, kualitas keimanan masyarakat Makkah yang belum kokoh mengingat mereka belum lama memeluk Islam. Ucapan Umar tersebut untuk mengantisipasi agar jangan sampai orang-orang meyakini ada batu yang bisa memberi mudharat dan manfaat dengan sendirinya sebagaimana dulu orang Arab jahiliyah meyakini berhala-berhala memiliki kemampuan demikian.
Jadi, Umar tetap meyakini sejumlah keistimewaan yang dimiliki Hajar Aswad, termasuk bisa melebur dosa dengan mencium atau menyentuhnya. Hanya saja, Umar menyesuaikan sikapnya itu di tengah-tengah masyarakat Makkah agar tidak terjadi salah persepsi.
Selain itu, hikmah lain dari sikap Umar di atas menunjukkan ketaatan seorang umat Nabi untuk menjalankan sunnah Rasulnya. Kesediaan Umar mencium Hajar Aswad atas dasar ittiba’ (mengikuti perbuatan Nabi) merupakan bukti ketakwaannya. Umar tidak bertanya apa sebabnya Nabi mencium batu tersebut, ia hanya mengikuti apa yang Nabi lakukan. Dalam agama Islam ada banyak ibadah—ibadah yang dasarnya adalah ittiba’. (Ibnu Hajar, Fatḫul Bârî, 2001: juz III, h. 541)
Penulis: Muhamad Abror
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/kisah-umar-bin-khattab-berbicara-pada-hajar-aswad-z2O7x