Cerita Pendek Dimas Jayadinekat
Sebaris pesan WhatsApp di ponsel milik Januari membuatnya tertegun, antara melihat kenyataan dan berjuta memori yang tersimpan tentang masa kecilnya hingga dewasa, sebelum dirinya menikah dan punya anak seperti sekarang.
“Jan, pulang, Papamu sakit.”
Demikian bunyi pesan singkat itu kian membuat gulungan ombak memori menerkamnya dalam lamunan.
“Kamu mau jadi apa, Jan? Nilai apa ini? Papa nggak suka punya anak bodoh, paham?” omel Papanya di masa kecil yang masih terasa bising di saat ini.
Saat itu, Jan hanya menunduk takut, menatap nilai ulangannya ditulis dengan tinta merah dan tergambar besar angka ‘0’. Sepuluh nomor soal matematika tentang perkalian dan pembagian sukses membuat gurunya mencorat-coret setiap angka yang menjadi penanda dari setiap soal tersebut.
“Nggak ada satu pun yang benar! Kamu ngapain aja di sekolah?” maki Papa.
Jan menunduk kian takut, tak sedikit pun ia berani melirik karena di benaknya telah tergambar jelas bagaimana wajah papa yang mendelik dengan jari telunjuk menunjuk, gaya khasnya ketika memarahi orang.
Wajah Papa yang memang khas aristokrat terasa pantas jika menunjuk dengan amarah seperti itu. Setiap orang yang diomelinya pasti takluk, kharisma darah birunya mencuat menjalarkan vibrasi kuat ke siapa pun yang berada di hadapannya.
“Sujud, kamu!” teriak papa.
Di saat seperti itulah aku mengenali bahwa sujud adalah sebuah hukuman kejam, berbeda dengan ajaran agama yang didapatinya di sekolah maupun ketika ia dewasa. Para guru dan tebaran kata-kata indah berseliweran di media sosial memuji tindakan sujud yang terkesan kemuliaannya.
Sujud adalah berbisik di bumi namun terdengar di langit….
Sujud adalah momen pengabulan doa dari Allah atas segala permintaanmu di saat shalat…
Dan sebagainya…
Namun, sujud baginya hanyalah luka yang terus menganga, bahkan saat dirinya melaksanakan shalat, rasa sabetan gesper papanya masih terasa pedih.
***
RM Haryo Joyodiningrat, demikian nama papa, terdengar agung saat diucapkan ataupun terbaca, namun sekali lagi, bagi Jan dan Agustina, kakaknya, hanyalah serangkaian huruf yang hanya menimbulkan rasa traumatik.
Maka ketika kabar dari tetangga papanya itu tersampaikan kepada ia dan Tina, itu sama seperti sebuah simalakama.
“Jan, kamu aja yang pulang ya. Aku nggak bisa,” kata Tina lewat telepon.
“Mbak, kamu itu kakak perempuanku. Kamu yang harusnya ada di sana merawat papa dong.“
“Heh, nggak usah main gender ya. Mau laki kek, perempuan kek, sama aja. Sekarang papa sakit dan minta kita pulang,” suara Tina terdengar mulai emosi.
“Kita? Kita ya bahasanya, Mbak? Kamu yang ngomong ya itu artinya kamu paham betul bahwa kita berdua yang harus ada di sana, bukan cuma aku!” Jan mulai kesal.
“Kamu jangan mulai lagi ya. Aku sudah berusaha menurunkan ego ya ini. Ngapain aku telepon setelah puluhan tahun kita nggak bisa damai!”
“Bagus dong. Itu kan artinya kamu kalah dan mau mengakui kalo kamu itu selama ini salah,” ledek Jan.
Tut…tut…tut…
Sambungan telepon terputus tiba-tiba.
Begitulah, Jan dan Tina, dua kakak beradik yang juga mengalir darah ningrat di tubuhnya, senantiasa bersikeras saling merasa benar atas pertengkaran di masa lalunya. Pertengkaran yang di mulai dari hal sepele, karena keduanya merasa dibedakan oleh Papa dan Mamanya.
Keduanya? Iya, itulah yang mereka rasa, padahal almarhumah Mamanya telah menjelaskan bahwa tidak pernah ada sedikit pun mereka membedakan atau ingin membuat mereka menjadi bertengkar.
“Tapi Ma, sikap dan perlakuan Papa selama ini masih menyakitkan aku. Dan apa Mbak Tina pernah merasakan seperti yang aku rasakan?” tanya Jan saat Mamanya masih hidup.
“Heh, kamu pikir, tubuhku ini nggak pernah merasakan gesper dan tamparan serta pukulan Papa?” balas Tina tak mau kalah.
Dan biasanya jika sudah seperti itu, Mama hanya terdiam dengan mata berkaca-kaca, kemudian pergi ke kamar, sementara mereka akan meneruskan pertengkarannya yang kadang bisa sampai melempar perabot dan baru berhenti ketika Papa yang melerai.
Jan pun masih tertegun di antara angan serta memori buruknya tentang sosok papa yang kaku, keras dan kasar itu.
***
Di bagian wilayah lain, Tina pun sama-sama terdiam melamun, menatap jendela apartemennya yang dibasahi oleh hujan yang turun dengan deras.
Tina menatap ke dinding kamarnya, melihat foto keluarganya yang bahagia, penuh senyum dan keceriaan. Di saat yang sama, Jan pun melakukan hal sama pula. Mereka sama-sama melihat ke masa lalu hingga saat masa-masa awal pernikahan dengan menatap foto-foto yang terpajang di dinding serta di unggahan media sosial masing-masing.
Mereka berdua sepakat, meski tak pernah terucap dalam kesepakatan, bahwa mereka akan mendidik anak-anaknya dengan asyik dan penuh persahabatan. Tak ada yang mengira jika faktanya, mereka adalah korban kekerasan papa di masa kecil hingga awal dewasa.
Bertahun-tahun di dalam berbeda kesempatan namun sampai pada satu kesimpulan bersama, bahwa papa mereka ini tidak pernah menyayangi mereka. Entah pikiran apa yang merasuki RM Haryo itu.
Bekas tamparan di pipi, sabetan gesper di bokong, atau sabetan gagang sapu di lengan serta tubuh, adalah langganan mereka berdua. Catat, mereka berdua.
Dan konon, dari hasil pemeriksaan dokter, mamanya meninggal dunia karena stroke dan tekanan batin. Bisa jadi karena berpuluh tahun menyaksikan kekerasan dari pendidikan lelaki panutannya, lelaki yang sesungguhnya adalah lelaki manis dan lembut di masa pacaran serta awal pernikahannya.
Sampai dalam kondisi sakratul mautnya, mama pun tak berani menyalahkan papa, ia hanya tersenyum dan meminta maaf tak mampu mendampingi sampai cucu mereka tumbuh dewasa.
“Aku…tahu..mengapa…kamu..melakukan…semua…itu…meski…jujur…aku…nggak…pernah kuat…”ucap Mama sedih dan saat itu Jan dan Tina tak ada di sana, terlambat datang.
“Sudah, nggak usah mikirin yang sudah lewat, Ma. Kami akan baik-baik saja. Mama harus sehat, ya.”
Dan baru mereka lihat selama seumur hidup, Papa menangis, apalagi saat mama menutup mata dengan senyum tersungging manis sekali, seakan telah bebas dari himpitan masalahnya selama ini.
Itu, peristiwa itulah yang membuat Jan pada akhirnya melangkahkan kaki untuk menghampiri papanya yang sudah terbaring lemas.
Ia teringat pesan gurunya, Ustadz Amir: “Orang tua, seburuk-buruk perangainya adalah manusia yang harus kamu hormati.”
“Nggak adil dong, Tadz. Sepanjang hidup saya selalu diperlakukan dengan keras bahkan kasar, lantas kita harus menghormatinya?”
“Apa kamu yakin seratus persen, apa yang Papa kamu lakukan adalah karena kebencian?” tanya sang ustadz.
“Yaaa, nggak juga sih.”
“Nah, itu. Lihatlah keburukan dari sisi baiknya. Akan selalu ada kebaikan dari setiap keburukan, begitu pun sebaliknya, jangan kau kira segala kebaikan manusia benar-benar akan pasti mengandung nilai kebenaran. Manusia itu tempatnya salah dan khilaf.”
Ucapan Ustadz Amir itu membekas, seakan menjadi air penyejuk yang menghapus semua kebenciannya kepada Papa.
Demikian pula dengan Tina yang kini gemar mengikuti kajian-kajian Muslimah dan majelis taklim. Nasihat senada dari apa yang di dapat Jan, sebenarnya juga sudah sering Tina dengar. Maka ia pun merasakan kondisi dilematis yang luar biasa. Apakah ia harus datang atau membiarkan Jan saja seperti keinginannya. Rasa sakitnya terhadap perlakuan papa masih sangat terasa.
Namun Jan, sebagai anak lelaki, suami dari istrinya dan ayah dari anak-anaknya memiliki pandangan berbeda, meski untuk mencapai ke arah itupun sungguh sebuah pergulatan batin luar biasa telah melandanya.
“Pa,” ucapnya singkat, lidahnya terasa kelu.
Jan memegang tangan keriput papanya, tangan yang dulu digunakan untuk menyakitinya kini lunglai dan kisut.
Papa melirik kemudian pandangannya menatap ke langit-langit, menerawang, hampa.
“Pa. Nanti Mbak Tina juga ke sini, kok,” ucapnya bohong.
Papa kembali melirik. Selang infus di hidungnya membuat pemandangan tentang seorang aristokrat yang keras hati telah sirna.
Tiba-tiba air mata Papa menetes dan makin lama makin deras hingga dadanya turun naik menahan gejolak rasa yang luar biasa.
“Papa….”
Jan menoleh kaget, begitu pun Papa yang berusaha melirik ke arah suara, suara yang sangat dikenalinya.
“Na…Jan..” ucap papanya sambil terus menangis
Tina tak kuasa lagi membendung perasaan dan lari menghampiri ranjang papa serta kemudian merangkulnya dengan penuh kasih sayang.
Mata Jan basah oleh air mata dan dengan suka rela, ia pun ikut memeluk papa, hingga ketiganya saling berpelukan dalam tangis berderai.
“Ma..ma..maaf..Pa..pa…” Papa mengucapkan itu terbata-bata.
Nafas Papa semakin tak beraturan, spontan Jan memegang kaki papanya. Dingin. Kaku.
“Pa, ikuti Jan ya. Laa..ilaha…illallahu..Muhammadar Rasululallah….”
Dengan kesadaran penuh, Jan men-talqin papa, Tina berdiri menyingkir dan melihat itu semua dengan tangis yang kian tak tertahan.
Dan tersenggal nafas penghabisan Papa saat berucap, “Allah…”
Hening sejenak, penuh kesedihan….
“Maafkan kami, Pa….”
Jan menutup mata Papa dan menaruh kedua tangan papanya dalam kondisi bersedekap.
Keduanya kini hanya bisa bersedih memandang jenazah papa dan rasa sesal mengembara karena terlalu lama menyimpan dendam hingga tak sempat lagi mengasihi orang tua yang telah membesarkannya.
***
Dimas Jayadinekat, penulis skenario freelance di TVRI dan beberapa rumah produksi, sutradara film pendek. Ia juga aktif menulis sebagai konten kreator di media online. Salah satu buku karyanya berupa buku motivasi Rahasia Nekat dan novel online Mencintai Pelakor.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.