Memasuki tahun politik semua berupaya untuk mencari figur yang tepat sebagai seorang pemimpin. Di sisi lain, sejumlah orang juga berusaha menjadi yang terbaik sesuai kriteria pemimpin ideal. Mereka berkontestasi dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Pemimpin diharapkan menjadi teladan yang baik dan menjadi unsur utama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di dalam agama Islam, konsep kepemimpinan (imamah) menganut standar yang tinggi. Seperti dalam kasus shalat berjamaah, kriteria dasar menjadi seorang imam shalat adalah seorang laki-laki, baligh, qari’ (ahli baca Al-Qur’an), banyak hafalannya, fasih, bersuara merdu, wira’i, zuhud yang paling alim di antara kaumnya, dan yang paling dulu masuk Islam.
Syarat ini merupakan hasil pengembangan dari syarat dasar menjadi imam shalat, yaitu baligh, qari’, banyak hafalannya, fasih dalam membaca Al-Qur’an, dan tentunya beragama Islam.
Adanya pengembangan tentang kriteria imam shalat ini mengisyaratkan bahwa dalam Islam, aturan syariat yang berlaku atas suatu kaum adalah mempertimbangkan konteks zaman di mana ia berada. Tidak bisa menargetkan maksimal, maka kriteria minimal tidak ditinggalkan.
Berbagai perilaku yang dicontohkan oleh syariat setidaknya dapat menjadi pertimbangan penting khususnya bila kita bawa dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Apalagi dalam konsep pemilihan pemimpin dan kriteria pemimpin di tengah konsep negara bangsa (nation-state), khususnya Indonesia.
Dengan memandang unsur keragaman masyarakat yang terdapat di Indonesia, situasi tidak memungkinkan menerapkan beberapa kriteria pemimpin yang idealis sebagaimana termaktub dalam beberapa kitab fiqih mu’tabar, karena salah satu di antara kriteria itu adalah harus menguasai beberapa nushush al-syari’ah.
Selain karena faktor sulitnya mencari kriteria pemimpin yang ideal, juga dalam beberapa segi dapat membahayakan keutuhan bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, maka berlaku kaidah mencari jalan tengah, yaitu:
لاضرر ولاضرار
Artinya: “Tidak boleh membuat kerugian terhadap diri sendiri dan orang lain.” (HR. Ibn Majah)
Kaidah yang lain dalam penentuan kriteria pemimpin itu adalah:
ما لايدرك كله لايترك كله
Artinya: “Perkara yang tidak bisa dikuasai seluruhnya, maka jangan ditinggal seluruhnya.”
Adapun ijtihad terhadap kemungkinan adanya perpecahan disebabkan penerapan konsep kepemimpinan sebagaimana dalam syariat, maka berlaku kaidah:
يختار أهون الشرين
Artinya: “Di antara dua keburukan yang mungkin terjadi, maka dipilih keburukan yang paling ringan.”
Kaidah lain yang juga dapat digunakan adalah:
إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما بارتكاب أخفهما
Artinya: “Apabila nampak adanya pertentangan di antara dua mafsadah (kerusakan), maka mafsadah yang lebih besar yang harus berupaya dijaga tidak terjadinya dengan jalan menerima mafsadah yang lebih ringan.”
Dengan redaksi yang kurang lebih sama dengan kaidah di atas, maka berlaku:
درء المفاسد مقدم على جلب المصالح
Artinya: “Memprioritaskan menolak mafsadah lebih diutamakan dibanding mengambil kemaslahatan.”
Hasil dari penerapan kaidah ini adalah wujudnya pemimpin yang bisa diterima oleh semua pihak. Pemimpin yang demikian ini merupakan pemimpin yang standar. Artinya, tidak terlalu ke atas dan juga tidak terlalu ke bawah sehingga mencapai derajat di bawah standar.
Standar yang digunakan pun sudah pasti adalah standar masyarakat Indonesia yang mayoritas dihuni oleh umat Islam di tengah kondisi masyarakat yang terdiri atas suku, bangsa dan agama yang beragam pula.
Selagi pemimpin itu masih memenuhi kriteria standar, maka pemimpin semacam tidak boleh dilengserkan, kecuali dalam beberapa segi yang sudah terlalu jauh melampaui kewenangan syariat, yaitu keluar dari penjagaan nilai-nilai universal maqashid al-syariah. Wallahu a’lam.
https://jatim.nu.or.id/keislaman/kriteria-pemimpin-di-indonesia-dalam-pandangan-islam-0acaO