Jakarta, NU Online
Saat merayakan Lebaran 1444 H, Ketua Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Turki Nazihah lebih memilih menikmati makanan khas Indonesia. Pilihan ini didasari agar lebih ‘terasa lebarannya’.
“Ya minimal dari makanannya kerasa vibe lebaran,” katanya kepada NU Online pada Sabtu (22/4/2023).
Ia sendiri lebih menyukai makanan-makanan Indonesia itu. Karenanya, bersama rekan-rekannya, Nazihah memasak sendiri makanan khas Indonesia, seperti opor, lontong, rendang, kentang balado.
“Kami masak masakan indonesia. opor, lontong, rendang, kentang balado,” ujarnya.
Sisanya untuk cemilan dan cuci mulut kami membeli kacang-kacangan, permen, dan ekler. Makanan terakhir itu, kata Nazihah, jika di Indonesia seperti kue pie atau sus.
“Kalau bisa buat makanan Indonesia kenapa harus makanan Turki,” ujarnya sembari tertawa.
Di Turki sendiri, terang Nazihah, terdapat makanan khas lebaran, yaitu baklava. “Kayak martabaknya Turki. Di sini, Idul Fitri lebih ke makanan manis, tidak makanan berat,” katanya.
Suasananya juga, menurutnya, berbeda antara Turki dan Indonesia. Di negara tempatnya studi, Idul Fitri tidak seramai Indonesia. Di sana, tak ada takbir keliling, mengantar zakat fitrah, saling berkunjung tetangga.
“Di sini sih enggak terlalu ramai kayak di Indonesia karena gak ada takbiran. Paling anak-anak saja main kembang api. Terus hari terakhir, Ramadhan, gak ada apa-apa, seperti hari biasa pada umumnya,” katanya.
Hanya saja, selepas shalat Idul Fitri, ada orang yang membagi-bagikan permen atau kurma, khususnya bagi anak-anak. “Setelah shalat Idul Fitri, ada orang yang membagi-bagikan permen, kurma, atau makanan manis yang kecil,” ujarnya.
Shalat Idul Fitri
Nazihah memilih shalat Idul Fitri di Masjid Çamlıca Camii, Istanbul. Masjid ini baru dibangun pada tahun 2018 sekaligus menjadi mesjid terbesar di Turki.
Shalat dimulai sekitar pukul 07.00 TRT, tetapi ia memutuskan untuk berangkat lebih awal, yakni pukul 05.30 TRT. Padahal, jarak tempat tinggalnya menuju masjid tersebut cukup dekat, sekitar 20 menit untuk jalan kaki. Namun, ia memilih menaiki taksi bersama rekan-rekannya.
“Sebetulnya, rumah tempat saya tinggal tidak terlalu jauh dari masjid. Jarak jalan kaki hanya 20 menit, akan tetapi banyak tanjakan, dan karena kami berangkatnya pagi hari sekitar pukul 5.30 sehingga belum ada bis, jadi kami menggunakan taksi untuk lebih cepat sampai ke masjid,” ceritanya.
Keputusan untuk menggunakan taksi karena faktor cuaca yang dingin. “Karena kalau jalan kaki subuh seperti itu akan sangat dingin dan jalannya menanjak, terus bus dan transportasi umum baru ada jam 6, sedangkan kita berangkat sebelum jam 6,” katanya.
Waktu yang ditempuh dengan jalan kaki 20 menit, dengan bus 16 menit. Namun, karena ia berkendara taksi, ia hanya butuh waktu setengah dari jalan kaki, 10 menit.
Keputusan berangkat lebih dini tentu saja karena kekhawatiran akan kehabisan tempat. Meski besar, antusiasme masyarakat untuk shalat juga tak kalah besar.
“Karena takut kehabisan tempat walaupun masjidnya besar,” kata mahasiswi Universitas Marmara, Istanbul, Turki itu.
Ternyata begitu shalat akan dimulai, jamaah perempuan yang menempati lantai 2, tempatnya ketika sampai, diminta pindah ke lantai 3 karena tempat shalat jamaah laki-laki sudah penuh. “Akhirnya laki laki menempati lantai 1 dan 2, perempuan memenuhi lantai 3,” katanya.
Seperti di Indonesia, masyarakat di sana juga, menurutnya, melakukan ziarah kubur usai shalat Idul Fitri dan sungkem dengan keluarga masing-masing. “Kalau misalnya ziarah kuburnya sama. Sungkem ke keluarga di rumah, terus berziarah kubur,” pungkasnya.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.