Tulisan ini berangkat dari realita bahwa Indonesia merupakan bangsa yang plural yang terdiri dari beragam budaya, ras, etnik, golongan, serta kepercayaan keberagamaan, termasuk di dalamnya, keragaman terkait aktivitas ibadah meskipun dalam satu ruang lingkup kepercayaan yang sama. Perbedaan, terutama soal ibadah dipicu oleh pandangan bahwa teks-teks kitab suci karena ditafsirkan secara komprehensif mengingat realita sosial kehidupan umat manusia terus berkembang dan penuh dinamika.
Lepas dari setuju atau tidak, suka atau tidak, misalnya fenomena perbedaan dalam menentukan lebaran Idul fitri dan Idul adha di Indonesia yang kerap berbeda antara satu sama lain harus dipahami sebagai produktifitas khazanah intelektual Islam di Indonesia. Artinya, jika teks kitab suci ditafsirkan secara beragam, maka sudah barang tentu akan melahirkan beragam produk pemikiran yang dihasilkan sehingga secara tidak langsung akan berimbas pada pemahaman terkait pola pikir dan pola hidup beragama, termasuk di dalamnya dalam penentuan awal-akhir beribadah puasa di bulan Ramadan dan penentuan hari raya Idul fitri maupun Idul adha.
Sepertinya untuk kesekian kalinya, perayaan hari raya Idulfitri di negeri ini akan kembali mengalami perbedaan. Terakhir kali adanya perbedaan perayaan Idulfitri adalah pada tahun 2006, 2007, dan 2011. Itu artinya, hampir selama satu dekade setelah tahun 2011 masyarakat Muslim di negeri ini berhari raya secara bersama-sama.
Namun pada tahun 2023 M/1444 H kali ini akan terjadi perbedaan berhari raya Idulfitri. Muhammadiyah akan berlebaran pada Jumat 21 April 2023 sesuai data hisabnya yakni 2 derajat 21,6 menit dan elongasi 3 derajat 5,4 menit. Sementara pemerintah, termasuk Nahdlatul Ulama (NU) kemungkinan besar akan berlebaran pada keesokan harinya, Sabtu 22 April 2023. Sebagaimana diketahui, titik perbedaannya terletak pada metode yang digunakan setiap ormas yang berbeda-beda, yakni dengan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan) hilal.
Meskipun, pada Kamis 20 April 2023 (29 Ramadan 1444 H) penampakan bulan baru, diprediksi telah ada, namun belum sesuai dengan kriteria standar minimal imkanul rukyat (visibilitas) yakni 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat sebagaimana disepakati MABIMS (Menteri Agama Brunei, Indonesia, Malaysia, dan Singapura).
Di negeri ini, ormas yang populer berpegang teguh pada metode hisab dalam menentukan awal Idulfitri adalah Muhammadiyah. Sementara ormas yang populer dengan metode rukyat adalah NU, meskipun kebanyakan ormas yang lainnya juga sering mengambil metode rukyat dalam menentukan hari raya Idulfitri.
Beruntungnya, meskipun terdapat perbedaan dalam merayakan Idulfitri, sikap saling menghargai, bertoleransi, masih terasa di negeri ini. Tidak adanya saling menghujat, saling menyalahkan pendapat orang lain semakin meneguhkan bahwa negeri ini sudah teruji dengan perbedaan-perbedaan. Perbedaan-perbedaan yang terjadi juga berakar dari pentingnya dalam menggalakan tradisi berpikir kritis terkait persoalan-persoalan umat.
Oleh karena itu, perbedaan dalam merayakan hari raya Idulfitri harus dimaknai sebagai wahana untuk menguatkan diri terkait pentingnya menjaga hidup rukun dan damai di tengah-tengah kemajemukan bangsa dan negara Indonesia.
Harapan
Meskipun sudah sering terjadi perbedaan dalam merayakan perayaan hari raya Idulfitri maupun Iduladha, harapan untuk mewujudkan lebaran secara bersamaan harus tetap digalakan dan diperjuangkan.
Salah satu contoh yang harus diingat adalah realita sosial yang pernah terjadi di Indonesia pada perayaan Idulfitri tahun 1994. Pada tahun itu, NU berlebaran pada Minggu 13 Maret. Sementara, pemerintah memutuskan hari lebaran pada Senin 14 Maret. Kabar menggembirakan pada saat itu adalah kenyataan bahwa suasana perbedaan perayaan Idul fitri tidak diracuni oleh perbedaan hari berakhirnya berpuasa. Misalnya, sebagian warga NU di DKI Jakarta yang menghentikan puasanya di hari Minggu, lantas tidak menyusulinya dengan melaksanakan shalat Idulfitri di hari itu. Sementara warga Nahdliyin di daerah-daerah juga cukup banyak yang bershalat Idul fitri mengikuti lebaran pemerintah pada Senin 13 Maret 1994. Bahkan ada juga yang sama sekali tidak melaksanakan shalat Idul fitri.
Fenomena tersebut mengingatkan kepada kita betapa penting dan berharganya apabila kita mampu menjaga toleransi, menghargai, serta mau tunduk patuh terhadap ulil amri (pemerintah) tanpa menggadaikan prinsip keyakinan pribadi. Bagi warga Nahdliyin pada waktu itu, shalat Id tidak lagi dipandang sebagai ibadah yang berstatus sunnah muakkad, melainkan menjadi sebuah tatakrama sosial, mengingat shalat Id hukumnya tidak wajib, sementara yang wajibnya adalah menjaga persatuan dan persatuan demi menjaga kerukunan umat di tengah perbedaan-perbedaan yang ada.
Untuk masa sekarang, akankah fenomena itu dapat terulang kembali? Mungkinkah mereka yang berpendirian lebaran lebih awal namun ikut shalat Idnya mengikuti mereka yang berlebaran di hari kemudian? Kedewasaan, keberanian, serta kemampuan untuk menghilangkan egosentrisme golongan tanpa menggadaikan prinsip-prinsip yang telah menjadi keyakinannya menjadi sesuatu hal yang menarik untuk ditunggu dan dinanti. Semoga!
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut.