Menerjemahkan Gagasan Abad Ke-2 NU: Visi Peradaban dan Kemasyarakatan

Credit: Dr.KH. Rofiq Mahfudz, M.Si.

Oleh: Dr. Rofiq Mahfudz, M. Si

(Wakil Sekretaris PWNU Jawa Tengah, Pengasuh Pondok Pesantren Ar-Rois Cendekia Semarang)

Hari ini (Minggu 14 Mei 2023) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama bersama Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama dan Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama se-Indonesia berkumpul di UIN Walisongo Semarang dalam rangka Halal bi Halal dengan tema “Syawalan Bahagia Menuju NU Digdaya di Abad Kedua”. Perkumpulan ini setidaknya menandai semakin solidnya warga Nahdlatul Ulama di dalam menapaki NU yang memasuki usianya di abad kedua.

Pada 16 Rajab 1444 Hijriah atau bertepatan dengan 7 Februari 2023 lalu baru saja NU memperingati abad kedua usianya. NU didirikan pada 16 Rajab 1344 Hijriah atau bertepatan dengan 31 Januari 1926. Dan ini bukan usia yang singkat. Daya tahan NU sebagai organisasi maupun jam’iyyah sudah teruji di berbagai kondisi zaman. Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk NU di abad keduanya ini? Saya rasa tentu ada banyak transformasi yang bisa kita lakukan untuk berkhidmah kepada NU.

Namun sebelum ke situ, saya hendak sedikit mengulas mengapa NU lahir. Gus Yahya mengingatkan kepada kita bahwa pendirian NU tidak tepat apabila hanya dianggap sekedar untuk menentang mazhab atau paham Wahabi. Mungkin ada benarnya dikatakan sebagai tanggapan atas dikuasainya Hijaz oleh keluarga Saud, namun juga bukan sebatas soal Wahabinya saja.

Jatuhnya Turki Usmani pada 1920 secara de facto telah mengubah lanskap peradaban Islam secara radikal setelah sebelumnya peradaban Islam sempat begitu digdaya selama 13 abad lamanya. Pasca tumbangnya Turki Usmani, bisa dikatakan, dunia Islam sedang mengalami senjakala. Di tengah peradaban Islam yang sedang terombang-ambing inilah NU lahir. Jadi, melalui sudut pandang hari ini, kelahiran NU dapat dikatakan sebagai cita-cita peradaban. Bukan untuk menaklukkan peradaban lain sebagai upaya ekspansi wilayahnya dan dominasi, cita-cita peradaban NU lebih dari itu, ialah memberikan sumbangsih berupa gagasan-gagasan kemanusiaan dan mengakhiri pertumpahan darah atas nama agama.

Sedikit flashback, dalam bukunya “Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama”, Gus Yahya berkata: “Sejarah peradaban manusia ini merupakan sejarah persaingan agama. Identitas keagamaan adalah hal yang lazim melekat pada negara-negara di masa lalu. Hampir semua negara atau kerajaan yang ada di dunia ini memakai identitas agama” Bahkan, kata Kiai kharismatik kelahiran Rembang itu, “Perang-perang yang terjadi pada masa itu hampir selalu diberi alasan agama”.

Pada satu waktu, kita sempat melihat wajah agama ada pada hampir semua negara yang ada di dunia. Turki Usmani jelas Islam. Di Eropa, ada banyak kerajaan yang menganut agama tertentu sebagai pahamnya. Prusia yang sekarang Jerman, dulunya beridentitas Katolik. Belanda dengan Kristen Protestannya, Inggris dengan Kristen Anglikan—yang mana raja atau ratunya berkedudukan sebagai pemimpin tertinggi keagamaan, dan Italia yang menganut Katolik dan masih banyak lagi. Mungkin hanya Amerika yang tidak menggunakan identitas agama bagi negaranya walaupun jumlah orang Kristen Protestan mendominasi di sana.

Meski pasca modernisasi terjadi sekularisasi besar-besaran di Eropa, ini tidak bisa mengabaikan fakta bahwa agama menjadi bagian integral bagi peradaban umat manusia. Ia timbul tenggelam. Dalam satu waktu ia akan menampakkan wujudnya melalui kekuasaan negara, di waktu yang lain ia menjadi momok menakutkan yang menimbulkan trauma peperangan, pembantaian hingga pengusiran atas nama agama.

Namun di Nusantara agama tidak pernah dijadikan domain politik kekuasaan negara. Empat abad sebelum Amerika, kerajaan Majapahit sepanjang berdirinya tidak pernah menggunakan identitas agama sebagai domain politiknya meski Hindu dan Bhudda menjadi dua agama yang dianut oleh masyarakatnya. Tidak ada agama resmi kerajaan. Dan Bhineka Tinggal Ika, lebih diamalkan di kerajaan Majapahit, yang kelak diteruskan pemakaiannya oleh para pendiri bangsa ini. Hal ini sekaligus menandakan adanya kebebasan dalam memeluk agama dan keyakinan di Nusantara sejak zaman dahulu bahkan sebelum Indonesia menjadi sebuah entitas negara.

Zaman berubah, peta perpolitikan dunia tidak lagi didasarkan pada identitas keagamaan. Globalisasi, perubahan standar norma hingga beragamnya penduduk sebuah negara yang tidak bisa diseragamkan ke dalam satu identitas tertentu menjadikan kita mestinya berpikir lebih jauh dan ke depan.

Tentu banyak sekali problem yang telah dilewati NU sepanjang satu abad yang lalu. Di abad kedua ini, saya rasa perlu adanya sebuah transformasi dalam berkhidmah kepada jam’iyyah, yaitu dengan menghubungkan kembali relasi antara wilayah yang sifatnya ideasional dengan praktik. Ini semata agar NU tidak terbatas mengurus hal yang sifatnya ubudiyyah saja seperti yang selama ini banyak dilakukan ketimbang berfokus pada problem kemasyarakatan yang lebih material. Material di sini bukan berarti cinta harta benda duniawi dan takut akan kematian, melainkan merujuk pada hal yang sifatnya materi yang menjadi kebutuhan kehidupan sehari-hari seperti mengatur relasi sosial agar lebih adil dan membawa keberkahan hingga sandang, pangan dan papan. Pendeknya, problem kemasyarakatan.

Sebagaimana disinggung oleh Gus Yahya, “bahwa khidmah NU memiliki dimensi ganda, yaitu keagamaan dan kemasyarakatan”. Sebab disadari atau tidak, diakui atau tidak, selama ini warga NU di berbagai tingkatan terlihat terlalu disibukkan dengan hal-hal yang sifatnya keagamaan, sementara kurang perhatian terhadap persoalan sosial-ekonomi masyarakat. Padahal, kita tahu, banyak sekali dari masyarakat kelas bawah mulai petani, pedagang di pasar-pasar hingga nelayan yang menjadi warga NU. Ini harus menjadi perhatian utama di abad kedua NU.

Wawasan tentang khidmah keagamaan sudah saatnya diubah, dari yang semula cenderung terkungkung pada hal-hal yang menyangkut peribadatan dan hanya berkutat pada problem identitas kelompok yang mengakibatkan warga NU sering sensitif terhadap isu-isu sektarian (pertentangan antar mazhab) seperti perdebatan soal yasinan, tahlilan, berdoa setelah shalat itu amalan bid’ah atau tidak, menuju khidmah yang lebih inklusif dengan melayani umat yang kesusahan untuk memenuhi kebutuhan hari-harinya, menemani mereka yang tersisihkan dan membesarkan hati kaum mustadl’afiin.

Di titik inilah saya rasa warga NU harus mengembalikan pola pikir mereka kepada idealisme awal: memahami NU sebagai jam’iyyah diiniyyah ijtimaa’iyyah. Artinya, NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan. Jadi, kepedulian terhadap masalah-masalah keagamaan dan kepedulian, solidaritas, keterlibatan terhadap masalah-masalah kemasyarakatan harus diseimbangkan kembali agar kita dapat menghadirkan NU ke tengah-tengah masyarakat.

Dengan demikian, saya bisa menyimpulkan bahwa NU sejatinya membawa misi peradaban yang berorientasi kepada kemanusiaan sekaligus tidak melupakan warganya yang ada di akar rumput. Sebagaimana saya singgung di atas, NU telah membangun pondasi baru dalam membangun relasi peradaban dengan tidak lagi menjadikan agama sebagai identitas suatu negara meski dalam faktanya umat Islam adalah mayoritas di Indonesia. Sebab, bagaimanapun juga, memformalisasikan agama menjadi landasan sebuah negara merupakan hal yang problematik di era kontemporer. Sementara itu, dalam kehidupan masyarakat di akar rumput, yang dibutuhkan NU saat ini adalah transformasi kepada khidmah yang lebih inklusif dan perubahan pola pikir: bahwa NU adalah jam’iyyah diiniyyah ijtimaa’iyyah. Jadi, perlu saya tegaskan sekali lagi, NU adalah organisasi keagamaan dan kemasyarakatan.

https://nujateng.com/2023/05/menerjemahkan-gagasan-abad-ke-2-nu-visi-peradaban-dan-kemasyarakatan/

Author: Zant