Mengenal KH Muhammad Chusni: Sosok Ulama ‘Nyentrik’ dan Dedikasinya dalam Pendidikan di Sukoharjo (1936-2003)

K.H. Muhammad Chusni lahir di sebuah dusun kecil bernama Rejosari, yang terletak di Desa Jagan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo. Meskipun Desa Jagan kurang dikenal luas di Sukoharjo, di desa inilah lahir seorang kyai yang sangat peduli dengan pentingnya pendidikan dan keagamaan, yaitu K.H. Muhammad Chusni.

K.H. Muhammad Chusni lahir pada hari Rabu Pon, 13 Mei 1936 atau Rabi’ul Awwal 1355 H, di Dusun Rejosari, Desa Jagan, Kecamatan Bendosari, Kabupaten Sukoharjo, sebuah perkampungan yang jauh dari keramaian. Ia adalah putra dari pasangan Kyai Muhammad Sajiman dan Nyai Kartinah. Nama kecilnya, Muhammad Chusni, memiliki makna seseorang yang berkarakter baik dan penyayang terhadap orang-orang di sekitarnya. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang jujur dan cerdas, sehingga mendapat perhatian, kasih sayang, dan cinta yang besar dari kedua orang tuanya.

Pada tahun 1955, K.H. Muhammad Chusni menikah dengan Nyai Sumarni, melalui perjodohan yang diatur oleh kedua orang tua mereka, yang juga merupakan tokoh agama terpandang di Kecamatan Bendosari. Nyai Sumarni tinggal bersama orang tuanya, Kyai Iman Diwiryo, di Pondok Serang Mulur. 

Sebelum menikah, Nyai Sumarni sudah mengetahui reputasi K.H. Muhammad Chusni sebagai pemuda yang taat beragama dan pernah menimba ilmu di beberapa pondok pesantren terkenal di Surakarta. Dengan hati yang tulus, ia menerima perjodohan tersebut. Pernikahan ini membuka peluang bagi K.H. Muhammad Chusni untuk lebih mengembangkan pendidikan Islam di Kecamatan Bendosari, termasuk mendapatkan tanah untuk mendirikan Taman Pendidikan Al-Qur’an dan sebuah madrasah.

Nyai Sumarni atau lebih dikenal dengan panggilan Mbah Putri adalah pribadi yang setia menemani perjuangan K.H. Muhammad Chusni Beliau merupakan salah satu putri seorang kyai terkemuka di Kecamatan Bendosari yang aktif dan beribadah. Menurut cerita adiknya Nyai Sumarni, Mbah Sunaryo mengatakan bahwa semasa hidupnya Mbah Putri sangat rajin dan setia “gemati”. 

Selama menemani perjuangan K.H. Muhammad Chusni beliau beraktifitas menggarap sawah, menanam sayur, dan lain-lain untuk kebutuhan keluarga, santri-santri, dan sisanya untuk dijual ke pasar. Nyai Sumarni menganggap santri-santri seperti anaknya sendiri, saat ada santri yang membantu di ladang ataupun saat membantu dirumah beliau selalu memberikan pelajaran-peljaran kepada santri dengan motivasi ataupun ilmu kehidupan.

Kakek buyut dari K.H. Muhammad Chusni ialah Eyang Sayyid Iman seorang ulama dan abdi dalem Keraton Surakarta, serta pejuang dalam Perang Diponegoro di Sukoharjo. Setelah Perang Diponegoro berakhir, Eyang Sayyid Iman memilih untuk tinggal di Desa Mulur, Kecamatan Bendosari. 

Sebagai seorang pendakwah Islam, beliau berperan aktif dalam menyebarkan ajaran agama di masyarakat, sesuai dengan gelar Sayyid yang menandakan keturunannya dari Rasulullah SAW. Dedikasi dan komitmen Eyang Sayyid Iman dalam dakwahnya mencerminkan perannya yang penting dalam kehidupan masyarakat Bendosari.

Riwayat Pendidikan dan Guru-Gurunya

Ilmu agama yang mendalam dari orang tua dan leluhur K.H. Muhammad Chusni menjadi landasan penting dalam pembentukan karakter dan pendidikan agamanya, menjadikannya sosok yang dihormati. Tumbuh di lingkungan keluarga yang sangat religius, K.H. Muhammad Chusni dikenal tegas dalam mendidik anak-anaknya, serta murid-murid dan santri-santrinya, baik di sekolah maupun di pesantren. Sikap tegas ini bertujuan untuk memastikan mereka taat pada ajaran agama, sehingga mampu menjalani kehidupan yang seimbang dan berperan positif dalam masyarakat.

Perjalanan K.H. Muhammad Chusni dalam menuntut ilmu dimulai dari lingkungan keluarganya, di mana ia belajar mengaji, membaca Al-Qur’an, dan mempelajari berbagai ilmu agama yang diajarkan oleh ayahnya, Kyai Muhammad Sajiman. Pendidikan ini dimulai sejak usia dini, dan pada usia 6 tahun, ia mulai mengenyam pendidikan formal. 

K.H. Muhammad Chusni memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat di Desa Mulur, yang pada waktu itu merupakan satu-satunya sekolah berbasis Islam di Kecamatan Bendosari. Beliau menyelesaikan pendidikannya di sekolah tersebut pada tanggal 31 Maret 1948, ketika usianya mencapai 12 tahun.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal di Sekolah Rakyat di Mulur pada tahun 1948, K.H. Muhammad Chusni diserahkan oleh kedua orang tuanya untuk mendalami ilmu agama lebih luas lagi kepada beberapa kyai di Surakarta. Beberapa di antaranya adalah K.H. Ma’ruf Mangunwiyoto, K.H. Ahmad Siraj, Kyai Abu Umar Jamsari, Kyai Mawardi, dan Kyai Suryani. 

Selain mempelajari ilmu agama melalui kitab-kitab berbahasa Arab-Jawa, K.H. Muhammad Chusni juga secara khusus mempelajari gramatika bahasa Arab, seperti ilmu Nahwu dan Sharaf, serta kitab-kitab lain yang diajarkan di pesantren.

Setelah lulus dari Sekolah Rakyat di Mulur kemudian K.H. Muhammad Chusni melanjutkan sekolahnya di Madrasah Mambaul ‘Ulum Surakarta untuk mengenyam pendidikan Tsanawiyah dan Aliyah. Beliau lulus pada tahun 1955, saat menginjak umur 21 tahun. Selama menimba ilmu di Mambaul ‘Ulum, K.H. Muhammad Chusni juga mendalami ajaran agama Islam di Pondok Pesantren Jamsaren dan Jayengan yang terletak di Kota Surakarta. 

Selain itu, beliau juga menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU) Surakarta dengan jurusan guru agama Islam. Di pondok pesantren ini, K.H. Muhammad Chusni bertemu dengan banyak murid dari berbagai latar belakang dan daerah di Indonesia. Tidak mengherankan, karena pesantren Mambaul ‘Ulum, Jamsaren, dan Jayengan sangat terkenal di Karesidenan Surakarta berkat para alumninya dan kontribusinya bagi masyarakat. K.H. Muhammad Chusni menyelesaikan pendidikan madrasah selama 7 tahun dan lulus pada tahun 1955.

K.H. Muhammad Chusni menonjol dalam hal keilmuan, dengan kecerdasannya yang berkembang pesat, sehingga ia menjadi murid yang sangat disayangi oleh para gurunya karena ketekunan dan kepandaiannya. Selama belajar di Mambaul ‘Ulum Surakarta, K.H. Muhammad Chusni memiliki hubungan yang erat dengan beberapa guru, seperti Kyai Mawardi dan Kyai Suryani. 

Selain itu, ia juga menjalin persahabatan dengan beberapa santri lainnya, termasuk K.H. Munawir Sjadzali dan Kyai Muslim Imampuro (Mbah Liem Klaten). Kedekatan ini membantunya membangun relasi yang kuat, yang mendukung ketekunannya dalam belajar di pesantren.

K.H. Muhammad Chusni memiliki hubungan yang dekat dengan Kyai Abu Umar Jamsari, yang merupakan gurunya saat belajar di Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta. Kyai Abu Umar Jamsari lebih fokus pada bidang pendidikan, terutama dalam penghafalan dan pembelajaran Al-Qur’an. Ia juga merupakan bagian dari ulama Masjid Agung Surakarta yang bertugas sebagai abdi dalem matri atau pengurus dakwah. Selain itu, Kyai Abu Umar Jamsari mengajarkan para santrinya tentang bercocok tanam di kebun yang terletak di sebelah pondok pesantren. 

Nilai-nilai ini diterapkan oleh K.H. Muhammad Chusni untuk memajukan pendidikan dan mengembangkan agama Islam di Kecamatan Bendosari dan sekitarnya. Selain menekankan pendidikan, K.H. Muhammad Chusni juga melibatkan anak-anak dan santrinya dalam kegiatan bercocok tanam di sawah miliknya.

K.H. Muhammad Chusni dalam perjalanan pendidikannya selain belajar di madrasah Mambaul ‘ulum dan pondok pesantren Jamsaren, beliau juga nyantri atau belajar agama dengan K.H. Ma’ruf Mangunwiyoto di pondok pesantren Jayengan Surakarta. K.H. Muhammad Chusni yang masih bersekolah di Mambaul ‘ulum, tetapi mondoknya di pondok pesantren Jamsaren dan sering mengikuti kegiatan di pesantren Jayengan. 

Termasuk beberapa santri yang pada waktu pagi ataupun sore belajar di berbagai madrasah yang ada di luar pesantren, setelah selesai kembali ke pesantren Jayengan. Tidak hanya santri mondok, masyarakat Surakarta juga belajar mengaji dengan K.H. Ma’ruf Mangunwiyoto dengan status menjadi santri kalong. Santri kalong disebut sebagai santri yang tidak bermukim (tidak mondok) dan hanya berada di pesantren pada saat jam-jam tertentu.

K.H. Muhammad Chusni menjalani proses pembelajaran di Pondok Pesantren Jayengan dengan mengadopsi pemahaman tarekat Syadziliyah, yang dipimpin oleh gurunya, K.H. Ma’ruf Mangunwiyoto, seorang ulama mursyid tarekat di Surakarta. Sebagai mursyid, K.H. Ma’ruf Mangunwiyoto memberikan pembaiatan kepada murid-murid yang memenuhi kriteria tertentu. 

Ia mendidik santri dan menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat Surakarta melalui tarekat Syadziliyah. Prinsip-prinsip ini diimplementasikan oleh K.H. Muhammad Chusni dalam upayanya menyebarluaskan agama Islam di Kecamatan Bendosari dan sekitarnya.

Meskipun Pondok Pesantren Jayengan hanya berupa pondok kecil, K.H. Ma’ruf Mangunwiyoto memiliki santri-santri dan reputasi yang besar baik di tingkat lokal maupun nasional. Walaupun jumlah santrinya tidak banyak, pondok ini mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas. 

Selama di Pondok Pesantren Jayengan, K.H. Muhammad Chusni menjalin hubungan dekat dengan para santri, termasuk K.H. Munawir Syadzali, K.H. Saifuddin Zuhri, K.H. Nuril Huda, dan lain-lain.
K.H. Muhammad Chusni telah menyelesaikan pendidikan di beberapa pondok pesantren di Surakarta selama tujuh tahun, tepatnya pada tahun 1955. Setelah merasa cukup dengan ilmu agama yang didapat, beliau pulang ke rumah dan mulai terjun ke masyarakat untuk mengajarkan pendidikan agama Islam kepada anak-anak di sekitarnya, dengan mendirikan lembaga pendidikan madrasah.

Seiring dengan perkembangan Nahdlatul Ulama di Surakarta, mereka mulai merencanakan pendirian kampus atau sekolah tinggi sebagai lanjutan pendidikan bagi santri-santri di wilayah tersebut. Pendirian lembaga pendidikan tinggi ini pada 2 Oktober 1958 sangat berarti bagi eksistensi NU, karena melalui lembaga tersebut, NU dapat menyiapkan kader-kader yang akan ditempatkan di posisi strategis di masa depan.
K.H. Muhammad Chusni ialah salah satu mahasiswa Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU) Surakarta angkatan awal diantara puluhan mahasiswa yang berlatar belakang santri Surakarta. 

Sekitar K.H. Muhammad Chusni selama belajar di perguruan tinggi mempunyai hubungan dekat dengan Dr. K.H. Idham Chalid selaku rektor dan dosen beliau. Hal ini membuat K.H. Muhammad Chusni mempunyai relasi yang luas dalam belajarnya. Sebab dari pengaruh tersebut K.H. Muhammad Chusni sering melakukan aktivitas kegiatan di Jakarta bersama tokoh-tokoh NU lainnya.
Pada tahun 1971, K.H. Muhammad Chusni berhasil menyelesaikan ujian akhir negara Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN) di Jakarta, yang diselenggarakan oleh Direktur Pendidikan Agama Indonesia. Ujian tersebut dilaksanakan di Jakarta dari tanggal 11 hingga 18 Oktober 1971. 

Pengesahan hasil ujian dilakukan di Jakarta pada 14 April 1972 oleh Departemen Agama Republik Indonesia melalui Direktur Pendidikan Agama Islam. Setelah lulus, K.H. Muhammad Chusni diangkat sebagai pegawai negeri sipil dan menjadi pendiri serta guru di madrasah-madrasah di Kecamatan Bendosari. Selama mengajar, beliau juga melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Islam Nahdlatul Ulama (PTINU) Surakarta.

K.H. Muhammad Chusni adalah sosok tokoh agama yang sangat dihormati oleh masyarakat di Kecamatan Bendosari dan sekitarnya. Berbagai kontribusi dan peran yang beliau jalankan sepanjang hidupnya telah memperkuat posisinya sebagai figur penting dalam komunitas. K.H. Muhammad Chusni wafat pada hari Kamis, 27 November 2003, tiga tahun setelah kembali dari ibadah haji.

Penulis: Iwang Adil Waroto

Referensi
BUKU

Ajie Najmuddin.2020. Sejarah dan Refleksi Perjuangan Nahdlatul Ulama Surakarta dan Sekitarnya (Surakarta: Buku Revolus)

WAWANCARA

Wawancara dengan Drs. K.H Mukhtar Thoyibi., M.A , Putra K.H Muhammad Chusni, pada Minggu 24 September 2023 di Sukoharjo.

Wawancara dengan Sunaryo Budi Suwarono, BA, adik ipar K.H.  Muhammad Chusni, pada Selasa 11 Juli 2023 di Sukoharjo.
 

https://jateng.nu.or.id/tokoh/mengenal-kh-muhammad-chusni-sosok-ulama-nyentrik-dan-dedikasinya-dalam-pendidikan-di-sukoharjo-1936-2003-cc00G

Author: Zant