Mengenal Kitab Mambau Sa’adah, Menyelami Telaga Kebahagiaan Berumah Tangga

Pesantren salaf merupakan pesantren yang meyediakan sistem pendidikan non formal dengan tradisi dan cirikhasnya mengkaji kajian kitab kuning sebagai materi pembelajarannya. Kitab-kitab kuning yang sering di kaji di pesantren diantaranya kitab-kitab fiqh, ushul fiqh, tasawuf, tafsir, tauhid, nahwu, balagah dan lain sebagainya yang dikarang oleh para ulama-ulama besar abad terdahulu. 

Tidak hanya di pesantren-pesantren salaf, kini kitab-kitab klasik juga di kaji di pesantren-pesantren modern, juga pada kajian-kajian seperti seminar dan webinar sebagai upaya untuk melestarikan dan masih relevan dengan kondisi zaman ini.

Kitab Mambau Sa’adah adalah kitab karya KH. Faqihuddin Abdul Qodir. kitab ini merupakan salah satu kitab kuning yang memiliki landasan Islam dalam membangun rumah tangga yang adil. 

Bahasan dalam kitab ini membahas landasan islam dalam membangun kehidupan berumah tangga. Banyak sekali yang dapat diambil pelajaran, salah satunya mendorong relasi yang adil di dalam pernikahan sehingga menjadi keluarga yang mawaddah warohmah wa maslahah dan pada puncaknya menjadi keluarga yang sakinah.

Kehidupan berumah tangga terkadang seringkali salah memahami kodrat dan peran yang dibetuk atas kultur kehidupan masyarakat. Bahkan wacana gender sering disalahartikan sebagai ide yang berasal dari luar. Selain itu, ada relasi kuasa yang tidak seimbang. Kebanyakan istri dalam berumah tangga sebagai hubungan suami-istri dalam posisi yang lebih rendah dan itu seolah-olah dilegitimasi oleh agama. Pemahaman yang keliru atau kurang tepat ini menjadikan perempuan sedikit merugi, terhalangnya hak perempuan untuk berproses mengembangkan dirinya.
Dalam beragama untuk saling menghargai, menghormati, atau menyelamatkan, adalah hal yang penting dan harus. Sesungguhnya Islam menekankan kesetaraan.

Islam menjelaskan laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama, yang membedakan hanya iman dan ketakwaannya. Sebagaimana digambarkan oleh lama atau para Wali dahulu ketika membangun masjid, masjid di desain dalam hal itu seorang perempuan dan laki-laki sama posisinya tidak ada batas mendahulukan laki-laki baru perempuan tetapi sama-sama setara dengan posisi tempat yang berdampingan, pawestren atau tempat untuk perempuan.

Dengan hadirnya kitab ini memberikan penjelasan tentang landasan keadilan gender yang sumbernya tidak lain tidak bukan adalah dari Islam itu sendiri. Kitab Mambaus Sa`adah hadir untuk itu dengan referensi (mashaadir) dari kajian-kajian terdahulu maupun kekinian. Kupasannya tidak terbatas sisi keperempuan secara naluristik, tapi juga dari sisi etika, tuntunan muasyarah suami-istri, kesehatan reproduksi (kespro) dan tentu saja konsep-konsep membangun rumah tangga.

Kitab Manba’us Sa’adah ini yang jika diartikan secara harfiah, judul kitab ini bermakna telaga kebahagiaan, yang berupa panduan dan tuntunan untuk menciptakan relasi yang membahagiakan, Jadi sangat beruntung bila kita membacanya terlebih tabarukan untuk ngangsu atau nyicipi dari luasnya telaga kebahagiaan dengan mengambil hikmah dan ilmunya, terkhusus pada hubungan perkawinan.

Jika ditilik lebih lanjut, yang membedakan kitab pernikahan ini dengan beberapa kitab nikah yang dibahas di pesantren atau kitab kuning sebelumnya adalah terkait pembahasannya yang tidak terfokus pada hukum nikah, tetapi pada daur kehidupan manusia, terkhusus pada perempuan yang memiliki sistem reproduksi yang lebih kompleks. Kemudian kajian atau pembahasan khitan laki-laki dan perempuan. Puncak dari laku kasih sayang dan keadilan adalah kebahagiaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Kitab yang diawali kata pengantar KH. Said Aqil Siradj dan KH. Husein Muhammad ini terdiri dari 3 bab dan 20 sub bab pembahasan. Kebahagiaan di akhirat adalah tentu saja dengan memperoleh keridlaan dari Allah Swt, sebagai pahala dari ibadah, keimanan kita, dan akhlak baik kita kepada sesama manusia. Sementara kebahagiaan di dunia adalah masing-masing kita bisa saling ridla satu sama lain, memperoleh keridlaan dari orang lain dan melakukan hal-hal yang membuat orang lain ridla pada kita. Paling  tidak dalam skala terkecil masyarakat, yaitu keluarga. 

Tidak hanya itu saja, juga berisi tentang cara pandang yang mubadalah, atau kesalingan dalam hal kebahagiaan seluruh anggota keluarga. Tepatnya, cara pandang untuk bahagia dan membahagiakan, melalui perilaku saling berbuat baik, saling mencintai, saling menolong, saling menguatkan, dan bekerjasama. Semua laku ini, dijelaskan dalam kitab tersebut sejak seseorang menjadi individu yang jomlo, lalu melamar atau dilamar seseorang, melangsungkan akad nikah, hidup berumah tangga sebagai suami dan istri, hamil dan melahirkan, mengasuh anak, mengelola perbedaan, dan kemudian menua bersama dengan laku bahagia dan membahagiakan. Penjelasan dalam kitab ini tentu saja merujuk pada ayat al-Qur’an, teks Hadits, aqwal ulama baik salaf maupun khalaf.

Dijelaskan pula bahwa rumah tangga, pengurusan dan pendidikan anak, termasuk pengelolaan urusan publik harus memperhatikan kerjasama dan kebahagiaan bersama antara suami dan istri. Atau ada istilah mitsaqan ghalida. Dengan menyebut pernikahan sebagai mitsaqan ghalida, artinya pernikahan adalah janji suci dan bukan perjanjian yang bisa dimain-mainkan. Dalam perspektif mubadalah bahagia itu adalah ibadah, dan berhak untuk dirasakan serta didapatkan oleh perempuan juga laki-laki.

Oleh karenanya, hal apapun di dunia ini yang sifatnya membahagiakan harus dirasakan oleh keduanya. Tidak bisa, hanya oleh salah satunya saja, karena hidup itu perlu kesalingan. Menurut penulis prinsip dasar ini juga penting untuk kita yakini bersama, supaya laki-laki dan perempuan dapat hidup dengan saling memberi dan menerima kebaikan bahwa pernikahan memiliki prinsip-prinsip yang menyeluruh yang harus dipahami secara bersama oleh kedua pasangan, yaitu calon suami dan istri ketika nantinya melaksanakan ke jenjang pernikahan. Dalam hal ini, pernikahan bisa disebut sebagai akad kerja sama dan kesalingan.

Tujuannya, agar kebahagiaan dalam berumah tangga dapat dirasakan bersama oleh suami dan istri, bukan salah satu dari keduanya. Prinsip dari kesalingan ini bisa mengajak pada relasi yang baik, yaitu saling memahami, saling menghormati, saling bertukar peran, saling membahagiakan, saling tolong-menolong dan saling menguatkan, sehingga terciptanya hubungan keluarga yang mawaddah (suka, mencintai), rahmah (kasih sayang) dan mencapai sakinah (ketentraman, ketenangan).

Dimana bentuk nilai-nilai Manba’ussa’adah dalam kehidupan sehari-hari seperti kesalingan dalam menciptakan kehidupan yang bahagia dan membahagiakan, saling melindungi tanpa diksriminasi satu atas lainnya, tidak saling menzalimi, sehingga mencerminkan sosok hamba Allah yang mulia, dan senantiasa saling menyayangi satu sama lainnya.

Karena menurut kitab ini, suami dan istri adalah mitra yang senantiasa bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan-kebaikan dalam pernikahan. Maka, demi mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan itu, suami dan istri akan banyak melakukan kesalingan dalam menghormati, menghargai, menyayangi, melindungi, dan tolong menolong. Sehingga konsep keluarga yang sakinah, mawaddah, rahmah, barakah, dan maslahah bukan lagi sebuah keniscayaan, melainkan sebuah pencapaian yang nyata.

Editor: Abdul Manap
Sumber: Alif.id
 

https://jabar.nu.or.id/ubudiyah/mengenal-kitab-mambau-sa-adah-menyelami-telaga-kebahagiaan-berumah-tangga-EjRy5

Author: Zant