Luar biasa, itu kesan saya menyaksikan serangkaian kegiatan yang dihelat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam rangka memperingati 1 Abad Nahdlatul Ulama (NU). Sepanjang hidup saya baru kali ini melihat wajah NU terkesan wah, sepektakuler, kolosal, rekreatif dan mencerdaskan. Tentunya, tidak salah jika saya bangga menjadi warga NU. Saya tidak bisa membayangkan, seperti apa bangganya para pengurus NU.
Sejauh ingatan saya, baru kali ini NU memasang iklan di media massa cetak maupun televisi, bahkan sebuah TV swasta papan atas menayangkan secara khusus acara pemberian penghargaan bagi yg berjasa bagi NU, dengan durasi sekitar satu jam. Baru kali ini, jamiyah yang didirikan para ulama pesantren tersebut menggelar acara bertaraf internasional R-20 yang beriringan dengan hajatan pemerintah menyelenggarakan G20. Juga Porseni NU sepekan penuh, festival seni tradisi Islam Nusantara dan puncaknya di GOR Delta Sidoarjo, Jatim yang diperkirakan dihadiri lebih satu juta warga.
Melihat semarak dan gemerlap rangkaian kegiatan tersebut terkesan NU benar benar digdaya dan perkasa, sebagaimana tercermin dari temanya ‘endigdayakan NU Menjemput Abad kedua menuju kebangkitan Baru’.
Kesan yang berbeda tentunya didapat mereka yang menyaksikan masa awal berdirinya jamiyah yang lahir pada 16 Rajab 1344 H bertepatan tanggal 31 Januari 1926 ini. Tentunya pada saat itu semarak kegiatan peringatan Harlah lebih banyak dari pesantren ke pesantren, istighotsah, pengajian akbar, dan bersalawat. Juga para pengurus dan warga yang berpenampilan jadul, naik sepeda onthel, berduyun duyun berjalan kaki, berpayung daun pisang dan menenteng rantang makanan. Tapi dalam situasi yang seperti itu mereka tetap tersenyum, tertawa, bangga, puas dan semangat berkhidmat dengan narasi keberkahan dan ingin menjadi santri KH Hasyim Asy’ari.
Renaissance NU
Melihat geliat yang kontras pada awal berdiri dan pertumbuhannya dengan kondisi riil saat ini, saya melihat NU seperti melakukan gerakan ‘Renaissance’. Setting ‘Renaissance’ dalam konteks NU tentunya berbeda dengan gerakan perubahan besar yang terjadi di Eropa, pada abad 14-17.
Secara umum renaissance dapat diterjemahkan sebagai masa terlahir kembali. Renaissance tidak membatasi dirinya hanya untuk terlihat cantik dan hebat, tetapi di baliknya terdapat intelektualitas baru dan ada sesuatu yang visioner. Berbicara tentang renaissance adalah berbicara tentang menemukan kembali ambisi intelektual peradaban klasik. Dan secara garis besar, ciri utama renaissance adalah memanusiakan manusia (humanisme), ilmu pengetahuan (empirisme), dan rasionalisme.
NU yang terlahir dari rahim ulama pesantren, pada masa kolonial dalam sejarahnya selalu ditasbihkan sebagai jamiyah diniyah ijtimaiyah tradisional yang akulturatif. Dalam perspektif cendekiawan dikategorikan sebagai komunitas konvensional, berbeda dengan perserikatan Muhammadiyah yang dikategorikan sebagai organisasi modern. Dalam perspektif pengamat sering disebut sebagai oportunis dalam ekspresi politiknya.
Dalam banyak literatur, NU selalu dikaitkan dengan pesantren dengan sosok kiai dan santri. Dan memang NU tidak bisa dipisahkan dengan pesantren, karena pesantren disebut sebagai NU kecil, sedangkan NU disebut sebagai pesantren besar.
Meski menyandang label tradisional-konvensional yang relatif kurang akrab dengan manajemen modern, realitasnya dia mampu memainkan peranan penting dan strategis dalam percaturan politik nasional sekaligus mampu memberikan konstribusi positif-monumental dalam sejarah Indonesia. Dalam kapasitas kebangsaan, dengan pendekatan kooperatif juga nonkooperatif, kontribusi NU sangat signifikan, bahkan relatif lebih hebat dan riil dibandingkan dengan yang lainnya. Loyalitas NU terhadap pemerintah yang berdasar Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI dipersembahkan bil hal (riil), tidak retorik tetapi heroik.
Pada masa kolonial mengangkat senjata, mempertaruhkan nyawa, dibarengi dengan fatwa seruan jihad fisabillah yang dikenal sebagai ‘resolusi jihad’. Pada masa revolusi tampil di garda depan bersama kekuatan TNI menumpas pemberontakan G30/PKI, DI/TII. Di bidang ideologi Pancasila, NU tampil sebagai pelopor asas tunggal Pancasila sekaligus membuat istimbat bahwa soal Pancasila bagi NU sudah final. Di bidang nasionalisme, NU memiliki semboyan hubbul wathan minal iman, setia Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI harga mati.
Dalam kapasitas keagamaan, NU mempraktikkan sekaligus mengembangkan Islam yg toleran, yang inklusif, yang humanis, dan yang berkeadaban sebagai manifestasi dari Islam yang rahmatan lil alamin. Nilai dan sikap seperti itu ditransformasikan dalam bentuk sikap jamiyah, berupa al-afal al-khomsah, mabadi khaira ummah, dan fikrah nahdliyyah.
Menurut pengamat sosial politik, NU dipandang sebagai organisasi sosial keagamaan yang memiliki peran vital untuk bertahan dan relatif bisa memainkan posisinya sebagai organisasi Islam, baik pada masa rezim orde lama dan orde baru. NU merupakan organisasi yang tidak terlalu memikirkan kepentingan dirinya selaku kelompok yang diekspresikan secara partikularistik, sebaliknya lebih concern pada masalah masalah universal yang melintasi sekat aliran, suku, dan agama.
Dalam rentang waktu 1 abad, NU telah melakukan perjalanan panjang seiring atmosfer yang menyelimutinya, penuh dengan dinamikanya. Banyak prestasi yang telah ditorehkannya, banyak pula catatan getir yang didokumentasikannya. Kini, NU yang sudah tampak besar, tidak akan sekadar direvitalisasi dan direstorasi, tetapi akan dibawa pada gerakan perubahan besar (renaissance) yang diselaraskan dengan tuntutan dan perkembangan zaman, sehingga menjadi organisasi yang tidak saja besar, tetapi sekaligus berdidgaya.
Seperti disebutkan di atas, gerakan perubahan besar tidak sekadar untuk terlihat cantik dan wah, tetapi memiliki ciri utama humanisme, empirisme, dan rasionalisme. Dan NU punya modal untuk itu.
Kuantitatif-kompetitif
NU dinarasikan sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Hal ini diamini oleh Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Abdul Mukti pada sebuah acara Pra Muktamar Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) beberapa waktu lalu. Dia katakan, NU sebagai ‘adik’ yang bongsor, artinya lebih besar dari ‘kakaknya’. Status NU sebagai organisasi terbesar tidak sekadar klaim semata, tetapi ilmiah. Sebuah lembaga survey yakni Lembaga Survey Indonesia (LSI) tahun 2019, menyatakan bahwa 49,5 persen mengaku sebagai NU dari total 87,8 persen penduduk Islam Indonesia. Dari struktur organisasi, kepengurusan NU benar-benar sampai pada level akar rumput yaitu anak ranting, setingkat dukuh atau Rukun Warga ( RW). Tentu jumlah massa yang sangat besar itu pada satu sisi menjadi potensi besar, tapi pada sisi lain, terutama dari aspek sosiologis baru sebagai solidaritas mekanik yang rentan dan mudah tereduksi oleh perubahan sosial-politik.
Diakui atau tidak, disadari atau tidak dalam konteks politik kekuasaan, soliditas nahdliyin masih belum terbukti, bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi triger disharmoni domestik. Dalam konteks keagamaan muncul kesan gagap dan galau menghadapi paham baru yang tekstualis, skriptualis, dan paham takfiri yang mengusung narasi bid’ah, sesat, anti tradisi dan tidak sesuai sunah Nabi. Akibatnya, ada sebagian warga yang terkontaminasi virus faham yang diametral dengan NU tersebut.
Gerakan perubahan besar yang diinisiasi PBNU, masa khidmah sekarang ini setidaknya tidak menafikan tiga aspek. Pertama, NU yang selama ini lebih banyak berorientasi pada aspek kualitatif bertransformasi pada aspek kuantitatif. Manajemen ‘ghaib’ dalam mengelola organisasi perlu bertransformasi pada aspek kuantitatif yang tentunya berlandaskan manajemen modern. Semuanya berbasis data dan berbasis IT. Sehingga ketika dibutuhkan data populasi warga dan peta sebarannya, data jumlah lembaga pendidikan beserta jenjang dan kualifikasinya, data tentang lembaga kesehatan, dan data-data lainnya tinggal klik.
Sekarang ini masalah tersebut sudah mulai berposes, tapi belum menjadi gerakan masif. Gerakan perubahan besar yang dicanangkan PBNU untuk mendigdayakan NU menjemput abad kedua adalah suatu keniscayaan. NU memiliki SDM di bidang itu, termasuk sosok populer, Ainun Najib anak muda NU yang dibanggakan Presiden Indonesia, Jokowi. Kedua, dari kuantitatif menuju kompetitif.
Ketua Umum PBNU, KH Yahya Cholil Staquf mengatakan bahwa peradaban umat manusia ke depan akan mengalami perubahan drastis. NU harus membangun peradaban baru untuk menyelamatkan umat manusia. Untuk menuju ke arah itu, dia sudah memulainya baik secara domestik maupun global.
Dalam banyak aspek capaian NU diberbagai bidang mengalami tren positif. Lembaga pendidikan yang dimiliki tidak terbatas pada pendidikan klasikal tradisional, tetapi sudah digital mengglobal. Sebarannya, jenjangnya dan tingkatannya lebih merata dan meninggi. Dalam aspek SDM, NU memiliki ribuan profesor, ribuan doktor dari berbagai disiplin ilmu jebolan dari perguruan tinggi nasional maupun internasional, baik yang tergabung dalam wadah Ikatan Sarjana NU (ISNU) maupun yang tidak bergabung. Juga memiliki ribuan ulama pada keahliannya masing-masing yang sepertinya tidak dimiliki organisasi serupa lainnya. SDM tersebut tersebar di semua lini kehidupan, dari Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan DPR, Menteri, Jenderal, Rektor, Komisaris Utama (Komut), Direktur, Ketua Lembaga Negara sampai Bupati dan Wali Kota.
Mereka adalah SDM produk masa lalu, yang tantangannya berbeda dengan masa mendatang. Mereka yang gagap teknologi masih bisa menang berkompetisi, tapi SDM masa mendatang akan sangat kompetitif dan siap menggilas mereka yang gagap teknologi modern. Begitu kompetitifnya masa mendatang, para kampiun sekarang ini, seperti Elon Musk, Bill Gate, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, Larry Page, dan kampiun lainnya bisa merasa terasing pada masa mendatang, jika mereka masih hidup. Begitu pula, untuk menjadi pengurus NU (basis struktural) kualifikasinya semakin kompetitif, sesuai tuntutan zamannya. Dan ini perlu dipersiapkan oleh NU jika ingin menjadi digdaya.
Ketiga, perlunya kepemimpinan transformatif. Secara sederhana, kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang bisa melakukan perbaikan secara berkelanjutan. Kepemimpinan model ini ditandai bisa menggerakkan, bisa mengubah, bukan hanya baik dan saleh. Bukan sekadar mampu mempertahankan hal-hal lama, tapi mampu menciptakan inovasi lebih baik secara berkelanjutan (sustainable).
Desain kepemimpinan masa mendatang, pada abad kedua, perlu dipersiapkan secara serius dan komprehenship mulai sekarang, melalui berbagai model sistem kaderisasi dan pendidikan. Sehingga suksesi kepemimpinan lima tahunan lebih berkualitas, kompetitif, tidak sekadar faktor popularitas, kharisma, jasa dan sebagainya.
Harapan kita, renaissance (gerakan perubahan besar) yang digerakkan PBNU, dimotori KH Yahya Cholil Staquf bisa berlangsung dengan baik, sesuai yang diharapkan, tidak merubah prototype jamiyah dan menjadi maslahah bagi manusia global. Sepertinya, NU telah ditakdirkan menjadi organisasi yang digdaya, karena tidak ada kekuatan manapun yang mampu menggeser bola dunia NU dari porosnya. Wallahu a’lam bis shawab
H Mufid Rahmat, penulis buku ‘Semua Akan NU pada Waktunya’ (LKiS, 2021), aktivis NU dan mantan Ketua PW GP Ansor Jawa Tengah
https://jateng.nu.or.id/opini/mengintip-gerakan-perubahan-besar-nahdlatul-ulama-5tP3d