Mengukur Peradaban Kitab Kuning di Indonesia

Pasca kemerdekaan, desain kurikulum di Indonesia memang mengarah ke pemakaian huruf latin dan pengetahuan-pengetahuan umum. Tapi di sisi lain, pesantren yang sudah establish sejak sebelum Indonesia merdeka, memiliki tradisi yang lekat dengan penguasaan khazanah keilmuan keislaman yang diwariskan dari generasi ke generasi. Yakni melalui transmisi pengetahuan yang diajarkan melalui kitab kuning.

 

Istilah kitab kuning sendiri adalah istilah yang khas pesantren untuk menyebut kitab-kitab bertuliskan Arab yang dipelajari di pesantren baik itu yang ditulis oleh ulama luar ataupun oleh ulama Nusantara. Kitab-kitab ini juga seringkali disebut sebagai kitab turast atau kitab tradisi. Kitab ini di tengah himpitan kurikulum yang berjibun di pesantren melalui berbagai lembaga pendidikan yang ada di dalamnya tetap lestari dan bertahan.

 

Walau begitu terdapat pertanyaan besar, seberapa besar pesantren bisa mempertahankan tradisi lamanya tersebut di tengah fenomena siklus continuity and change yang ada pesantren. Mereka memang mempertahankan tradisi yang ada sambil secara perlahan melakukan perubahan-perubahan baik dalam kurikulum dan kelembagaan.

 

Status kelembagaan ini menurut hemat penulis menjadi penting karena akan ada irisan intervensi negara yang ada di dalamnya. Pilihan pesantren menerima kelembagaan madrasah, sekolah, muadalah, dan lain sebagainya akan mempengaruhi pola pembelajaran yang ada di dalamnya, serta kompetensi yang dimiliki oleh para santri.

Di tengah berbagai problematika tersebut, negara dalam hal ini Kementerian Agama RI menfasilitasi pesantren untuk melakukan kontestasi tradisi kitab kuning. Hal tersebut melalui sebuah kegiatan yang digarap tahunan dengan nama Musabaqah Qira’atil Kutub Nasional atau yang biasa disingkat dengan MQKN. Gelaran ini mirip dengan Musabaqah Tilawatil Qur’an yang dilaksanakan secara tahunan. Hanya yang membedakan adalah, pada isi lombanya yang melombakan pembacaan kitab kuning berbahasa Arab yang tidak berharakat tersebut dan pemahaman atasnya.

Dalam gelaran yang dilaksanakan ketujuh kalinya tersebut, peradaban kitab kuning di Indonesia masih didominasi oleh pesantren-pesantren Jawa dengan sentrumnya di Jawa Timur. Penguasaan atas kitab kuning di pesantren-pesantren besar di Jawa Timru relatif baik dan terjaga.

Pertanyaannya bagaimana di satu pesantren bisa mempertahankan dan di pesantren lain justru menurun? Salah satu jawaban yang bisa diberikan adalah pada perbedaan respons pesantren atas perubahan yang ada. Mereka yang tetap memberikan porsi yang besar pada kitab kuning tentu relatif bisa mempertahankan tradisi yang ada sedang mereka yang memberikan porsi semakin sedikit otomatis kemampuan santri dalam literasi kitab kuning juga semakin kecil.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa kitab kuning menjadi penting dalam konteks khazanah Islam pesantren? Adalah karena transmisi keilmuan itu dapat dibaca dan dapat dipelajari dari generasi ke generasi. Bagi orang pesantren kehilangan kemampuan membaca dan memahami kitab kuning, berarti juga kehilangan legitimasi untuk berbicara hal-hal keagamaan keislaman. Lalu pada siapakah nanti puncak peradaban kitab kuning ini berada? Kejutan-kejutan dalam perlombaan ini bisa saja terjadi. Akan tetapi, jika melihat konstalasi yang ada, pesantren-pesantren Jawa diperkirakan masih tetap akan mendominasi.

 

Iksan K Sahri adalah penulis buku: Pesantren, Kiai dan Kitab Kuning, serta dosen di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya


https://jatim.nu.or.id/opini/mengukur-peradaban-kitab-kuning-di-indonesia-07sO0

Author: Zant