Mengurai Konflik SARA di Pekalongan

Pekalongan, NU Online Jateng

Kota Pekalongan dikenal sebagai kota santri, yaitu kota dengan tingkat religiusnya yang tinggi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Tengah tahun 2020 tercatat ada 160 masjid, 674 mushala, 17 gereja protestan, 1 gereja katolik, 1 pura, dan 7 vihara. Selain itu terdapat banyak pesantren yang berdiri terdapat 33 pesantren dengan ribuan santri yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia. 

Rentetan peristiwa konflik antar-kelompok yang berakar dari fanatisme agama, politik, dan sosial berujung pada perpecahan masyarakat berujung pada saling curiga dan kebencian yang merugikan masyarakat umum sempat mengemuka di Kota Pekalongan pada dekade 1995 hingga 2000.

Keadaan sosial masyarakat Kota Pekalongan dengan tingkat religius yang tinggi tersebut mengakibatkan di daerah ini rentan sekali terhadap isu yang berhubungan dengan agama. Salah satu kerusuhan di Kota Pekalongan yang diakibatkan oleh isu keagamaan adalah
kerusuhan yang terjadi di Jalan Hayam Wuruk pada tanggal 22 November 1995 dan mencapai puncaknya pada tanggal 24 November 1995. Kerusuhan yang dipicu oleh seorang warga etnis Tionghoa dikabarkan merobek dan mengencingi Al-Qur’an pada hari Rabu tanggal 22
November 1995. 

Berita yang menyebar tersebut mengakibatkan warga etnis Jawa yang beragama Islam marah dan melampiaskannya dengan melempari toko-toko dan rumah-rumah milik etnis Tionghoa di sepanjang Jalan Hayam Wuruk yang merupakan tempat penyobekan Kitab Suci Al-Qur’an dilakukan. Meskipun akhirnya diketahui bahwa pelaku penyobekan merupakan penderita gangguan jiwa yang belum lama keluar dari rumah sakit jiwa, namun kerusuhan masih terjadi dan menimbulkan dampak pada kehidupan masyarakat Kota Pekalongan yaitu dampak politik, ekonomi, maupun sosial meski kasusnya telah ditutup.

Usai masalah sentimen antar-pemeluk agama, tahun 1997 muncul konflik baru yang dipicu oleh sentimen kepartaian antara Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan Golongan Karya (Golkar). Setelah orde baru tumbang, konflik kepartaian dari PPP dengan Golkar bergeser PPP dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) hingga berujung pada perusakan rumah para tokoh pendiri PKB yang ada di Kota Pekalongan.

Berbagai masalah keagaamaan baik antar-pemeluk agama maupun dengan pemeluk agama sendiri di Kota Pekalongan terus bermunculan. Tercatat ada masalah rehab gereja di belakang Kantor PLN Kota Pekalongan yang dicurigai akan membangun gereja yang sangat besar.  Selain itu, ada konflik sesama umat Islam terkait pendirian masjid oleh kelompok Wahabi di kantong basis nahdliyin di Krapyak Lor. 
 

Kegiatan dialog dengan Ormas Muhammadiyah yang diinisiasi FKUB Kota Pekalongan (Foto: Dok)

Mantan Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan KH Ahmad Marzuqi menyampaikan, persoalan konflik Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) sempat mengemuka di Kota Pekalongan. “Persoalannya macam-macam, ada yang dipicu karena sentimen agama maupun politik,” ucapnya.

Atas berbagai masalah keagamaan yang mengemuka, Kota Pekalongan mendapat juluknan ‘kota bersumbu pendek’ yakni kata yang masyarakatnya mudah tersulut oleh persoalan-persoalan sentimen SARA. Upaya pemerintah Kota Pekalongan terus dilakukan yakni mengumpulkan para tokoh agama, masyarakat hingga pemimpin partai untuk mengurai masalah. Meski kesepakatan damai telah diikrarkan, namun letupan-letupan kecil masih mencul secara sporadis yang dipicu oleh masalah-masalah sepele.

Kiai Marzuki mengakui, sebelum dibentuknya Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)  berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006, masalah hubungan antar-tokoh agama di Kota Pekalongan kurang harmonis. “Namun setelah pemerintah memfasilitasi lahirnya FKUB di Kota Pekalongan dan melakukan dialog secara intensif, persoalan sentimen agama berangsur reda,” terangnya.
 

Kegiatan kunjungan FKUB dan Forkopimda Kota Pekalongan di salah satu gereja menjelang Hari Natal (Foto: M Ngisom Al-Barony)

Ketua FKUB Kota Pekalongan pertama KH Fatah Yasran sudah berusaha meredam letupan-letupan persoalan SARA. Namun akhirnya KH Abdul Fatah Yasran mengundurkan diri pada tahun 2010 dan digantikan KH Ahmad Marzuqi sampai sekarang.

Upaya dialog dan pendekatan persuasif terus dilakukan oleh Ketua FKUB yang baru dengan melakukan pertemuan secara berkala para pemimpin lintas agama untuk menjadikan Kota Pekalongan yang sejuk dan kondusif. Salah satu upayanya ialah pada momentum Hari Natal para tokoh lintas agama bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) melakukan kunjungan rumah ibadah non muslim yang menggelar ibadah natal.

“Dengan pendekatan dialogis, Alhamdulillah persoalan sentimen SARA di Kota Pekalongan berangsur membaik dan lebih cair. Kami bersama pengurus FKUB secara berkala menggelar diskusi untuk menyamakan persepsi bagaimana membangun Pekalongan lebih baik,” ungkapnya.

Di dalam kelompok Islam sendiri bukan tanpa masalah di Kota Pekalongan, berbagai masalah juga banyak muncul sentimen antar-golongan. Hubungan antara NU dengan Muhammadiyah, Al-Irsyad, Rifa’iyah, Syi’ah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Front pembela Islam (FPI), dan kelompok lainnya sempat memanas. Akan tetapi dengan pendekatan persuasif dan dialogis yang luwes berbagai persoalan yang mengemuka bisa diredam dengan baik.

“Kuncinya adalah saling memahami dan komunikasi yang baik, sehingga dengan cara ini bisa memperkecil perbedaan pandangan,” ucapnya.   

Upaya lain untuk memberikan pemahaman pentingnya moreasi beragama di Kota Pekalongan adalah mengumpulkan para pemuda lintas agama untuk diberi pemahaman pentingnya menjaga kerukunan umat beragama dan antar-umat beragama melalui forum kajian, diskusi, maupun forum-forum lainnya, sehingga berbagai kecurigaan berbasis agama bisa diminimalisir. 

“Munculnya asumsi dari kelompok non muslim bahwa Islam itu agama keras, agama teroris, agama sering bikin keributan, dan lain-lain secara berangsur dan mereka sadar bahwa apa yang dipahami selama ini tentang Islam adalah salah,” jelasnya.

Langkah-langkah FKUB Kota Pekalongan menjaga harmoni kehidupan beragama akan terus dipertahankan meski mendapat anggaran operasional dari Pemerintah Kota Pekalongan sangat kecil. Bagi Kiai Marzuqi mengemban amanah menjadi Ketua FKUB yang belum tergantikan hingga saat ini akan terus berbuat menjaga moderasi beragama di Kota Pekalongan. 

Penulis: M Ngisom Al-Barony
 


https://jateng.nu.or.id/nasional/mengurai-konflik-sara-di-pekalongan-ZE8r9

Author: Zant