Oleh: Rizqi Ali Sa’bani (Pengurus Pondok Pesantren Al- Insaniyyah Druju, Kota Salatiga Mahasiswa UIN Salatiga)
Perjanjian internasional sudah dimulai pada tahun 3500 SM. Pada tahun tersebut terjadi interaksi antara negara-negara kuno di sumeria. Di sinilah titik mula hubungan dalam dunia internasional (Anonim: 2003). Perjanjian internasional merupakan implementasi dari kehidupan sosial antar negara. Karena, sebagai subjek hukum internasional, negara satu sama lain akan saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Hal ini sering disebut dengan istilah zoon politicon.
Menurut Pasal 2 Ayat 1 Konvensi Wina 1969 dijelaskan bahwa “An international agreement concludes between states in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more instruments and whatever its particular designation”. Sedangkan, Indonesia sendiri memiliki undang-undang yang mengatur tentang perjanjian internasional. Menurut Pasal 1 Ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, “Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik”.
Dalam dunia Islam, istilah perjanjian internasional sudah dilakukan dari zaman Nabi Muhammad SAW hingga zaman kerajaan. Mulai dari piagam Madinah, perjanjian hudaibiyah dan lain sebagainya. Isi dari perjanjian diatas lebih condong terhadap isu persatuan dan persaudaraan.
Dari latar belakang diatas, penulis tertarik untuk menelisik lebih jauh tentang perjanjian Salatiga. Mulai dari apa yang melatarbelakangi perjanjian, isi dari perjanjian dan korelasi antara perjanjian Salatiga sebagai implementasi dari makna persatuan dan persatuan dalam al-Qur’an Surat al-Hujurat ayat 13.
Latar Belakang Perjanjian Salatiga
Perjanjian salatiga merupakan kelanjutan dari perjanjian giyanti. Perjanjian ini dilatarbelakangi dengan janji Pakubuwono ke III yang akan membagi kekuasaannya kepada orang yang berhasil mengusir Belanda dalam wilayah kekuasaannya. Namun, setelah Raden Mas Said dapat mengusir Belanda, Pakubuwono seakan lupa akan janjinya. Oleh karena itu, Raden Mas Said melakukan pemberontakan yang besar terhadap kasunanan Surakarta yang telah terkontaminasi oleh VOC.
Melihat realitas tersebut, Nicholas Hartingh sebagai salah satu tokoh VOC merasa dirugikan. Ia pun mengubah taktiknya. Menurutnya, perang secara frontal dalam melawan Raden Mas said hanya akan menimbulkan kekalahan dipihaknya. Strategi yang dipakai oleh Hartingh yaitu dengan mendesak Pakubuwono III untuk melakukan perjanjian dengan Raden Mas Said.
Keinginan berdamai sebenarnya bukan hanya berasal dari VOC. Pakubuwono III juga sudah mempunyai keniatan berdamai dengan Raden Mas Said. Bahkan sebelum Hartingh mendesaknya untuk melakukan perjanjian perdamaian dengan Raden Mas Said, ia sudah sering mengirim surat kepada Raden Mas said agar bersedia damai dan hidup berdampingan. Dalam surat yang ditulis Pakubuwono III, ia menyisipkan kebersamaan mereka pada saat kecil.
Untuk mencapai perdamaian tersebut, Pakubuwono III sampai rela memberikan beberapa tanah kekuasaanya ke Raden Mas Said. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Pakubuwono III nampaknya berbuah manis. Akhirnya, Raden Mas Said bersedia untuk melakukan perjanjian damai dengannya. Lokasi perjanjian ini sekarang digunakan menjadi kantor Walikota Salatiga.
Isi Perjanjian Salatiga
Perjanjian yang diikuti oleh Pakubuwono III, VOC, Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said dilakukan pada tanggal 17 Maret 1757. Dalam perjanjian ini, Pakubuwono III menepati janjinya kepada Raden Mas Said untuk memberikan beberapa tanahnya kepada Raden Mas Said. Sementara itu, Hamengkubuwono I tidak memberikan apa-apa. Selain itu, ada beberapa isi dari Perjanjian Salatiga (Lestari: 2021). Antara lain:
- Raden Mas Said diangkat menjadi Pangeran Miji (Pangeran yang mempunyai status setingkat dengan raja-raja di Jawa).
- Pangeran Miji tidak diperkenankan duduk di Dampar Kencana (Singgasana)
- Pangeran Miji berhak untuk meyelenggarakan acara penobatan raja dan memakai semua perlengkapan raja.
- Tidak boleh memiliki Balai Witana.
- Tidak diperbolehkan memiliki alun-alun dan sepasang ringin kembar.
- Tidak diperbolehkan melaksanakan hukuman mati.
- Pemberian tanah lungguh seluas 4000 cacah yang tersebar meliputi Kaduwang, Nglaroh, Matesih, Wiroko, Haribaya, Honggobayan, Sembuyan, Gunung Kidul, Kedu, Pajang sebelah utara dan selatan.
Korelasi Antara Isi Perjanjian Salatiga dengan Q.S al-Hujurat ayat 13
Prinsip-prinsip dasar hukum internasional dalam Islam yang mengatur hubungan- hubungan antar bangsa/suku bangsa atau antar negara kita lihat baik dalam Al-Qur’an, Hadist Nabi maupun dalam sejarah Islam (Kailani: 2013). Dalam AlQur’an Surat 49 (Al-Hujurat), ayat 13 dinyatakan, sebagai berikut:
“Wahai umat manusia, sesungguhnya Kami (Allah) telah menciptakan kamu dari sepasang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Perjanjian Salatiga bertujuan untuk menyelesaikan sengketa antara VOC, Raden Mas Said, Pakubuwono III dan Hamengkubuwono I dengan cara berdamai. Perang yang sebelumnya selalu terjadi, berakhir dengan adanya perjanjian ini. Hal ini merupakan implementasi dari Q.S al-Hujurat ayat 13 yang memiliki makna persaudaraan dan perdamaian. Surat yang dikirim oleh Pakubuwono III juga mempunyai makna persaudaraan yang sangat tinggi. Ia dengan rendah hati untuk mengakui kesalahan yang dilakukan olehnya terhadap Raden Mas Said. Selain itu, Pakubuwono berani untuk menebus kesalahannya dengan cara kekeluargaan.
Daftar Pustaka
Anonim, 2003, Pangeran Sambernyowo (KGPAA Mangkunegoro I), Ringkasan Sejarah Perjuangannya, Surakarta: Yayasan Mangadeg
Aust, Anthony. 2010. Handbook of International Law, Penerbit Cambridge University Press, New York
Kailani, 2013, Islam dan Hubungan antar Negara, JIA/Desember 2013/Th.XIV/Nomor 2 Ningsih, Widiya Lestari. 2021, Perjanjian Salatiga: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya,
diakses dari https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/03/133659379/perjanjian-salatiga- latar-belakang-isi-dan-dampaknya?page=all. Pada Tanggal 2 Mei 2023 pukul 01.02 WIB
Sulistiyobudi, Langgeng. 2011. Revolusi dan Masalah Kemanusiaan di Surakarta dan Yogyakarta, dalam Agus Suwignyo, dkk. (ed.). Sejarah Sosial (di) Indonesia: Perkembangan dan Kekuatan. Yogyakarta: Jurusan Sejarah FIB UGM