Nusa Dua, NU Online
Menteri Agama Republik Indonesia H Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) menyampaikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang tumbuh oleh tempaan sejarah. Indonesia telah melintasi prahara demi prahara termasuk prahara Covid-19, mulai dari sejarah kolonialisme, pergerakan politik otoritarianisme Orde Baru, dan saat ini demokrasi.
“Demokrasi telah memberikan Indonesia jalan terbaik bagi rakyat untuk berpartisipasi mempertahankan hak-hak dan kewajiban konstitusionalnya,” ujarnya saat menjadi narasumber pada sesi panel Forum Agama G20 (R20) di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua, Bali, Rabu (2/11/2022).
Namun lebih dari itu, Indonesia juga adalah negara Pancasila. Sejarah Pancasila adalah sejarah nilai-nilai dan prinsip keutamaan. Tanggal 1 Juni 1945, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI), Soekarno membacakan pandangan umum mengenai bentuk negara Indonesia.
Dalam pidatonya, Soekarno merumuskan 5 prinsip sebagai dasar Indonesia, yaitu (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalime atau Perikemanusiaan, (3) Mufakat atau Demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sejak disahkannya pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945, Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara Republik Indonesia.
Adapun lima prinsip yang diajukan Soekarno sebagai dasar negara diubah urutannya menjadi, (1) Ketuhanan yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Ini adalah jalan damai dari keinginan sekaligus kebesaran hati kelompok Islam sebagai mayoritas dengan merelakan tujuh kata yang sebelumnya menyertai sila ketuhanan Yang Maha Esa untuk dihapus. Tujuh kata itu (adalah) ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’,” jelasnya.
Lebih jauh, Gus Yaqut menjelaskan, bahwa Pancasila berfungsi praktis, sengaja dipilih untuk menjamin suatu kesatuan dan integrasi politik yang bernama Republik Indonesia. Dengan itu, Pancasila diposisikan sebagai visi bersama bagi pencapaian tujuan negara bangsa yang diperjuangkan oleh Pancasila.
Pancasila juga dikukuhkan sebagai wawasan politik atau dasar negara. Hal itu tampak dari konstruksi Soekarno yang secara spesifik mengomparasikan Pancasila secara setara dengan filsafat dan ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme dan Liberalisme.
“Dengan demikian, lepas dari retorika Soekarno, Pancasila bukanlah suatu ideologi politik partikular yang tertutup dan sistematis total sebagaimana Marxisme maupun Liberalisme,” katanya.
Soekarno sendiri, menurutnya, lebih menekankan fungsi implisit Pancasila sebagai sign of unity (penanda persatuan) untuk Republik yang merdeka.
Dalam perumusan lain, Profesor Moh Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia sekaligus Proklamator bersama Soekarno, mengatakan bahwa Pancasila mengandung dua fundamen, yaitu (1) fundamen moral pada sila pertama dan (2) fundamen politik pada sila ketiga, keempat, dan kelima.
“Dengan itu, apabila kita tafsirkan dalam kerangka politik kewargaan negara, Pancasila dapat dipahami sebagai negara yang mendorong rakyatnya hidup berdasarkan prinsip-prinsip moral berketuhanan dan kemanusiaan dan prinsip-prinsip politik menjaga persatuan berdemokrasi dan menjunjung keadilan sosial,” ujarnya.
Dalam alam pikiran dan perilaku, orang Indonesia yang menyediakan sarana perspektif yang dibutuhkan terutama di saat orang Indonesia secara kolektif menghadapi persoalan-persoalan besar yang dihasilkan oleh sejarah dan zamannya.
“Dari sini, saya berpandangan bahwa sejauh yang hidup dalam perilaku kewarganegaraan maka Pancasila akan lebih tumbuh justru melalui mekanisme implisitnya, bukan melalui mekanisme eksplisit,” katanya.
Pengalaman Indonesia di bawah Orde Baru menunjukkan bahwa eksistensi Pancasila yang berlebih-lebihan hanya membuat jauh dari hati sanubari rakyat. Sebaliknya dorongan yang lebih nyata kepada solidaritas kemanusiaan dan rasa persatuan, justru mendorong Pancasila merekah dalam tindakan pengalaman pandemi di Indonesia.
“Tanpa partisipasi suka rela rakyat, tanpa solidaritas dan rasa persatuan, tanpa kemanusiaan dan kehendak untuk adil rasanya sulit di Indonesia bisa mengatasi krisis serta globalisasi pandemi dengan baik,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor itu.
Sebagai penutup, ia menegaskan, bahwa dengan menggunakan Pancasila, hal-hal material memang bisa menopang kemajuan. Namun harapan-harapan terbaik umat manusia pada akhirnya hanya bisa dijamin dalam prinsip-prinsip bersama yang kokoh serta universal.
Forum Agama G20 atau R20 digelar PBNU bersama Liga Muslim Dunia atau Muslim World League (MWL) di Nusa Dua, Bali, pada 2-3 November 2022. Ada 464 partisipan yang terkonfirmasi hadir pada perhelatan R20, yang berasal dari 32 negara. Forum tersebut menghadirkan 40 pembicara dari lima benua.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Syamsul Arifin
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.