Yang digagas dan akan diselenggarakan oleh Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah melalui kegiatan ‘Muktamar Ilmu Pengetahuan’ sungguh sangat strategis. Karena kegiatan itu tumbuh dari dan melibatkan ilmuwan dan ulama di lingkup jamiyah an-Nahdliyyah.
Tumbuh dari dan di antara celah-celah cita, cinta, dan realita dalam keseharian manusia dan dunianya yang fana. Berkembang di tengah keresahan antara dorongan nalar kritis dan kesadaran diri. Muktamar Ilmu Pengetahuan yang akan berlangsung di Kampus Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) itu bisa menjadi forum untuk mendialogkan secara akademis antara ilmu pengetahuan eksakta (mulai teknik, teknologi, kedokteran hingga aljabar) dan non eksakta (mulai psikologi, sosiologi, hukum hingga politik), hal penuh rumus-hitung dan hal ke arah kegunaan, hal yang dinilai lebih pasti dan hal yang dinilai dinamis, antara modernitas dan tradisionalitas, khazanah pesantren dan entitas kampus, dan lain sebagainya.
Walaupun tidak perlu diperhadapkan secara diametral apalagi dipersatukan untuk satu tujuan, namun eksakta dan non eksakta masing-masing memiliki karakteristik dan kekhasan dalam menyumbang laju-maju kehidupan. Di masa keemasan Islam (650-1250 M), ilmu pengetahuan dan sains berkembang maju. Tokoh muslim di bidang astronomi, fisika, psikologi dan lain-lain, begitu produktif dan inovatif dalam temuan Ilmu pengetahuan. Bahkan menginspirasi ilmuanilmuan eropa untuk mengembangkannya.
Lalu, apa yang ingin ditemukan dalam Muktamar Ilmu Pengetahuan ? Ada yang mengatakan bahwa peradaban kita dan dunia ini sedang sakit. Ditandai dengan banyak paradok dan anomali bidang civilization maupun tata sila dalam kehidupan. Sedangkan kunci Peradaban adalah Ilmu Pengetahuan. Maka, tidak ada obat mujarab untuk penyakit sebelum dilakukan ‘diagnosis’ dengan mengenali gejala dan tanda untuk memahami jenis penyakit.
Muktamar ini menjadi media untuk mendiagnosis ilmu pengetahuan yang mengkontribusi terbentuknya peradaban saat ini. Tentu, kita tidak bisa menyalahkan Ilmu Pengetahuan. Namun, manusia sebagai pengemban amanah peradaban dan ilmu pengetahuan berpotensi menyalahgunakannya. Karena di dalam diri manusia ada nafsu, manusia bisa terjebak dalam godaan syaitan dan manusia bisa berada di tengah lingkungan penuh polutan tata sila peradaban global.
Dalam konteks ini, kita bisa merefleksikan sistem berpikir KH Ahmad Shiddik yang memandang bahwa dunia sekarang ini sedang dilanda oleh modernisme barat (dalam arti sempit di bidang peradaban, civilization, dan tata-sila) yang sangat menyilaukan sehingga seakan-akan segala sesuatu, baik dan buruknya harus diukur dengan ‘ukuran barat’. Yang datang dari barat yang cocok dengan barat, itulah yang baik. Yang bukan dari barat, apalagi yang dari Islam dianggap tidak baik. Untuk itu perlu pedoman berpikir ala NU untuk:
- Mempersamakan alam pikiran di dalam NU dan menciptakan norma di dalam menilai dan menanggapi segala persoalan kehidupan;
- Menjaga alam pikiran NU dari penetrasi modernisme, westernisme dan aliran-aliran lain yang merusak kemurnian Islam dan Kepribadian NU
- Memelihara dan mengembangkan watak kepribadian NU dan Khittah NU
Akhirnya, ikan yang hidup di air laut yang berasa asin, dagingnya tidak berubah. Tetap nikmat, gurih dan tidak asin. Itulah Daya Tahan Ikan di Air Laut. Selamat bermuktamar ilmu pengetahuan, walahu a’lam bis shawab
Ahmad Samsul Rijal, Katib Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang Jawa Timur masa khidmat 2017-2022
https://jateng.nu.or.id/opini/muktamar-ilmu-pengetahuan-apa-yang-dicari-49JBW