Fenomena akulturasi budaya di Indonesia adalah fenomena yang tidak bisa dielakkan. Banyaknya pergerakan masyarakat menjadikan pergerakan budaya dari luar daerah melebur dan menyesuaikan diri dengan daerah tertentu dalam jangka waktu yang panjang dan terus-menerus. Apalagi, Indonesia adalah bangsa yang majemuk.
Termasuk akulturasi budaya juga berdampak pada arsitektur bangunan rumah ibadah agama-agama di Indonesia. Tidak sedikit desain rumah Ibadah yang menyatukan dua atau tiga kebudayaan. Begitupun dengan arsitektur masjid dan mushala di Indonesia, banyak kita jumpai tidak hanya bercorak Timur Tengah, namun juga bercorak klenteng, candi, maupun rumah adat.
Akulturasi budaya pada masjid dan mushala tersebut tidak hanya tampak di pusat kota-kota besar, seperti Masjid Cheng Ho di Surabaya, Masjid Raya Sumatera Barat di Kota Padang, Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta maupun Masjid Menara Kudus, dan lainnya, tetapi juga terdapat di pedesaan atau perkampungan.
Ini menunjukkan literasi keagamaan tidak hanya terbentuk di kota-kota besar, pusat kota, namun juga terbentuk di dusun maupun desa yang menjadi penyangga kekuatan kehidupan keagamaan yang inklusif.
Salah satunya di Jombang, terdapat mushala bernuansa Tionghoa di Dusun Dongeng, Desa Jarak Kulon, Kecamatan Jogoroto, Kabupaten Jombang, Jawa Timur yang didirikan oleh keluarga Tionghoa beragama Buddha yang masuk Islam.
Mushala yang terletak di pinggir jalan raya tersebut sangat kental dengan nuansa Tionghoa yang menggunakan warna merah menyala sebagai ciri khasnya. Di dalam mushala juga terdapat bedug berwarna merah. Bedug sendiri merupakan buah akulturasi budaya Tionghoa dan agama Islam.
Jauh sebelum digunakan, umat Islam di Indonesia sebagai panggilan orang shalat di masjid atau mushala, kegiatan menabuh bedug dulunya digunakan umat Buddha sebagai alat komunikasi ritual keagamaan maupun perayaan keagamaan lainnya.
Bedug di Mushola Cheng Ho Dusun Dongeng. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)
Mushala merah yang sering disinggahi musafir ini juga sering disebut Mushala Cheng Ho merujuk pada saudagar muslim Tiongkok yang berniaga di Nusantara. Meski mushala ini sebenarnya bernama Mushala Al Ikhlas yang didirikan tahun 2001-2002. Kemudian direnovasi bercorak Tionghoa pada tahun 2017.
Saat itu menjelang siang, Kamis (27/10/2022), penulis berkunjung ke kompleks mushala tersebut. Seketika itu penulis langsung disapa oleh perempuan lanjut usia. Ia tak lain adalah Ibu Sulani (71) yang sedang berbelanja sayur di tukang sayur keliling. “Masuk saja mbak, nanti ngobrol sama anak menantu saya,” jawabnya dengan hangat.
Sulani mempunyai nama Tionghoa Tan Siuw Lan. Meskipun telah memeluk Islam, ia dan anak-anaknya tidak meninggalkan budaya Tionghoa. Mereka membuat Mushala Al Ikhlas itu dengan arsitektur yang kental dengan arsitektur klenteng. Tujuan awalnya sederhana, ingin shalat berjamaah karena pada saat itu lokasi masjid maupun mushala di daerah tersebut terbilang jauh.
Nampak jelas pula pada dinding luar mushala tersebut juga menggunakan ornamen kaligrafi yang bertuliskan lafaz “Allah” dan “Basmalah” dengan warna merah keemasan yang merupakan kolaborasi seni khas Tionghoa dan Timur Tengah. Di dalam ruangan juga terdapat lafaz kaligrafi “Allah” dan “Muhammad” dengan dominasi warna hitam dan kuning keemasan.
Kompleks mushala yang strategis dan memiliki lahan parkir luas, membuat Musala ini juga sering difungsikan untuk kegiatan keagamaan kemasyarakatan seperti Muslimat Kubro Kecamatan. Musala ini juga berseberangan dengan letak Asrama Pondok Pesantren Cabang Hamalatul Qur’an, sehingga sering dibuat khataman dan diba’an oleh santri. Saat itu juga terlihat aktivitas santri yang sedang menghafal Al-Qur’an di sudut-sudut Musala dengan khusyuk.
Usaha menjadi muslim moderat
Mulanya, almarhum Poo Seng Beg alias Iwandianto yang merupakan anak pertama Ibu Sulani lebih dahulu tertarik dengan Agama Islam dan akhirnya memutuskan memeluk Islam. Dijelaskan oleh istrinya, Fatimatuz Zahro, pendirian mushala tersebut adalah keinginan almarhum suaminya.
Meski lebih dahulu memeluk Islam, almarhum suaminya tidak memaksakan keluarga besarnya untuk mengikuti jejaknya, namun keluarga besarnya menjadi mualaf karena kemauannya sendiri.
Jadi, lanjutnya, untuk menghormati dan mempersatukan warga keturunan Tionghoa di keluarganya, mereka sepakat merombak musala tersebut dengan nuansa Islam Tionghoa pada tahun 2017 yang lalu. “Semua dulu kan keturunannya orang China, semua sudah masuk Islam, sudah pada ngerti partisipasi untuk bangun Musala,” jelasnya.
Menurutnya, menjalani kehidupan keagamaan yang moderat awalnya tidaklah mudah. Perempuan yang lahir dari keluarga Nahdlatul Ulama di Menganto, Mojowarno, Jombang ini mulanya juga mengalami pergulatan dari keluarga besarnya ketika memutuskan untuk berkeluarga dengan suaminya, Muslim Tionghoa yang mualaf.
Arsitektur bagian dalam Mushala Cheng Ho di Dusun Dongeng Jombang. (Foto: NU Online/Rifatuz Zuhro)
Namun akhirnya keluarganya luluh ketika meminta diistikharahkan oleh Almaghfurlah KH Adlan Aly Cukir yang hasilnya diperbolehkan menikah dengan suaminya tersebut. “Memang doa dari leluhur itu ada kembali ke cucunya, jadi mungkin dari keluarga yang sini ada yang masih dulu berjuang di NU, jadinya doanya sampai ke saya, ada nenek buyut saya dulu yang ikut tarekat di Mbah Adlan Aly Cukir,” terangnya.
Ia menuturkan, kehidupannya mulai membaik hari demi hari, keluarga suaminya membeli tanah di Dusun Dongeng yang dekat Menganto, tempat keluarganya tinggal. Hingga tanah yang dibeli tersebut menjadi komplek Musala, rumah, pabrik dan usaha lainnya. Ia bersyukur akhirnya semuanya dimudahkan dan keluarganya semuanya didekatkan.
Belajar dari kisah keluarga yang berbeda etnis ini, meskipun awal mula dijalani tidak mudah, namun dengan ikhtiar kebaikan dapat menyatukan perbedaan tersebut. Begitupun dengan almarhum Poo Seng Beg alias Iwandianto yang tidak pernah memaksakan keluarga besarnya untuk berpindah memeluk agama Islam yang dianutnya. Bahkan, ada pula keluarga mereka yang saat ini aktif tergabung dalam organisasi PITI (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) di Surabaya.
Saat ini, justru keluarga besar almarhum yang menjujung nilai-nilai moderat dalam memeluk agama Islam, artinya tidak meninggalkan identitas mereka sebagai warga Tionghoa justru mengharmoniskan Budaya Tionghoa dengan praktik keagamaan Islam yang berwujud Mushala tersebut.
Keberadaan mushala bercorak Tionghoa tersebut juga sebagai ikhbar kepada masyarakat, bahwa menjadi Muslim tidak serta merta harus membuang identitas kesukuan, etnis dan budaya. Asalkan berbuat baik dan memfasilitasi orang untuk beribadah, akan mendapat penerimaan masyarakat dengan sendirinya.
Penulis: Rifatuz Zuhro
Editor: Fathoni Ahmad
====================
Liputan ini hasil kerja sama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.