Kasihan, sungguh kasihan dengan mereka para penempuh jalan keilmuan. Menulis disertasi dengan serius dan sungguh-sungguh agar mendapat gelar doktor. Setelah itu mengajar dan menulis di berbagai jurnal internasional agar mendapat gelar profesor —plus meraih tunjangan tambahan untuk bisa menikmati hidup yang layak.
Tapi ada juga yang hanya karena jabatannya atau powernya mendapat gelar kehormatan. Yang memberi dan yang menerima sama-sama gak punya rasa malu. Yang menerima memantaskan diri. Yang memberi demi menjilat.
Ada juga yang seolah-olah kuliah s3 tapi disertasinya ditulis oleh asisten dan anak buahnya. Ada pula yang pakai joki untuk menembus scopus. Hanya demi gelar guru besar. Gak malu memakai gelar yang diraih tanpa kehormatan.
Tentu ada yang layak menerima doktor kehormatan atau profesor kehormatan. Bukan karena jabatan atau powernya, tapi karena pengabdian dan karya. Untuk mereka kita berdiri menghormatinya. Respek!
Saya pribadi meski punya 6 gelar akademik resmi dan sah, selalu meminta panitia untuk menulis nama saya tanpa gelar apapun. Malu rasanya. Gelar berderet tapi kapasitas amat terbatas dan serba pas-pasan.
Kalau ada yang mau pasang seluruh gelarnya, tentu silakan saja. Tak perlu mencontoh saya yang enggan. Anggap saja mereka bukan pamer gelar tapi sebuah pengingat perjuangan sungguh-sungguh untuk meraihnya.
Semoga suatu saat negeri kita tidak lagi gila berburu gelar hanya untuk meraih kehormatan semu. Kehormatan itu hanya kalau kita memang layak mengembannya. Tanpa gelar pun kita bisa bermanfaat untuk sesama —dan itulah orang yang terbaik!
Mohon maaf. Semoga tidak ada yang tersinggung 🙏
Tabik,
Nadirsyah Hosen