Panduan Lengkap, Hukum, Rukun dan Syarat Itikaf di Bulan Ramadhan

Bandung, NU Online Jabar
Bulan Ramadhan merupakan bulan Istimewa. Bulan Ramadhan memiliki keutamaan dan keistimewaan yang besar di antara bulan-bulan lain, pahala amal ibadah dilipatgandakan, dosa-dosa diampuni bagi mereka yang bertaubat, segala aktivitas baik bernilai ibadah dan Allah ganjar dengan pahala yang besar.

Memasuki fase di penghujung ramadhan, salah satu ibadah sunnah yang sangat dianjurkan terutama pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan adalah i’tikaf atau berdiam diri di masjid.  

Keutamaan i’tikaf sangat besar, terlebih ketika dilakukan sebagai upaya untuk meraih lailatul qadar atau malam yang lebih mulia dari seribu bulan.  

Hukum I’tikaf
Hukum i’tikaf adalah sunnah, dapat dikerjakan setiap waktu yang memungkinkan terutama pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
 

 عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ   الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ 

Dari Aisyah r.a. isteri Nabi s.a.w. menuturkan, “Sesungguhnya Nabi s.a.w. melakukan i’tikaf pada sepu¬luh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istrinya mengerjakan i’tikaf sepeninggal beliau”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006).

عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ   يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا 

Dari Ubay bin Ka’ab r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Pernah selama satu tahun beliau tidak beri’tikaf, lalu pada tahun berikutnya beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (Hadis Hasan, riwayat Abu Dawud: 2107, Ibn Majah: 1760, dan Ahmad: 20317).

Rukun dan Syarat I’tikaf 
Syekh Nawawi Al-Bantani pada Bab tentang I’tikaf di dalam kitab Nihayatuz Zain memberikan panduan mengenai tata cara i’tikaf. Berikut 4 rukun atau hal-hal yang harus ada dan dilakukan selama i’tikaf menurut Syekh Nawawi Al-Bantani:

1. Niat 
Niat i’tikaf, baik i’tikaf sunnah atau i’tikaf nazar. Bila seorang muslim bernazar akan melakukan i’tikaf, maka baginya wajib melaksanakan nadzar tersebut dan niatnya adalah niat i’tikaf untuk menunaikan nazarnya.
Berdiam diri di masjid sekurang-kurangnya selama tumaninah shalat. I’tikaf di masjid bisa dilakukan pada malam hari ataupun pada siang hari. 

2. Masjid 
3. Orang yang Beri’tikaf 
 
Syarat i’tikaf terdiri dari: (1) Muslim, bagi non-muslim tidak sah melakukan i’tikaf. (2) Berakal, orang yang tidak berakal tidak sah melaksanakan i’tikaf. (3) Suci dari hadats besar.

Yang Membatalkan I’tikaf 
I’tikaf di masjid menjadi batal disebabkan oleh: (1) Bercampur dengan istri, berdasarkan firman Allah s.w.t.:

 وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ   

“…Dan janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf di masjid, itulah ketuntuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa”. (QS. al-Baqarah, 2:187). 

(2) Keluar dari masjid tanpa uzur atau halangan yang dibolehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada uzur, misalnya buang hajat atau buang air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak membatalkan i’tikaf. Diperbolehkan keluar dari masjid, karena mengantarkan keluarga ke rumah, atau untuk mengambil makanan di luar masjid, bila tidak ada yang mengantarkannya. Aisyah r.a. meriwayatkan:

 عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا   لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ 

Dari Aisyah r.a. menuturkan, “Nabi s.a.w. apabila beri’tikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia (buang air besar atau buang air kecil)”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1889 dan Muslim: 445).

Macam-macam i’tikaf dan niatnya
Syekh Nawawi mengategorikan i’tikaf menjadi tiga macam yakni i’tikaf mutlak, i’tikaf terikat waktu tanpa terus-menerus, i’tikaf terikat waktu dan terus-menerus.

1. Niat untuk i’tikaf mutlak :

  نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ للهِ تَعَالَى  

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini karena Allah.”    

2. Niat untuk i’tikaf yang terikat waktu, misalnya selama satu bulan

 نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ يَوْمًا/لَيْلًا كَامِلًا/شَهْرًا لِلهِ تَعَالَى  

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu hari/satu malam penuh/satu bulan karena Allah.”

  نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا 

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut karena Allah.”  

3. Niat i’tikaf yang dinazarkan

 نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ فَرْضًا للهِ تَعَالَى  

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini fardhu karena Allah.”

    نَوَيْتُ أَنْ أَعْتَكِفَ فِي هَذَا الْمَسْجِدِ شَهْرًا مُتَتَابِعًا فَرْضًا للهِ تَعَالَى   

“Aku berniat i’tikaf di masjid ini selama satu bulan berturut-turut fardhu karena Allah.”   

Dalam i’tikaf mutlak, apabila seseorang keluar dari masjid tanpa maksud kembali, kemudian kembali, maka harus membaca niat lagi. I’tikaf yang kedua setelah kembali itu dianggap sebagai i’tikaf baru. 

Hal ini berbeda bila seseorang memang berniat kembali, baik kembalinya ke masjid semula maupun ke masjid lain, maka niat sebelumnya tidak batal dan tidak perlu niat baru.    

Editor: Abdul Manap
Sumber: NU Online

https://jabar.nu.or.id/ubudiyah/panduan-lengkap-hukum-rukun-dan-syarat-itikaf-di-bulan-ramadhan-66t6s

Author: Zant