Paradigma Memahami Rahmat Tuhan untuk Palestina

Oleh: Musta’in Romli*)

 

Pembahasan yang berkaitan dengan ketuhanan sering kali dihakimi dengan akal manusia semata, acapkali manusia terbelenggu dengan pemikirannya sendiri. Tuhan tidak bisa dihakimi dengan akal manusia saja, demikian juga cara memahami rahmat Tuhan untuk manusia tak cukup hanya menggunakan logika, ia harus didasari wahyu-wahyu ilahiyah.

 

Konflik Israel-Palestina masih terus terjadi hingga detik ini. Genjotan senjata antara kedua belah pihak saling dilancarkan. Berita tentang kedua negara sangat santer disiarkan di media sosial, baik media nasional ataupun internasional. Beberapa akses di daerah Gaza, Palestina dihentikan oleh pihak Israel. Kelaparan dan duka cita menyelimuti Kota Gaza, Palestina.

 

Mayoritas penduduk Palestina merupakan seorang muslim yang taat. Negara ini juga menjadi sejarah peradaban agama Islam; kiblat pertama umat Islam, Baitul Maqdis, berada di Gaza, banyak ulama kenamaan terlahir di tanah yang suci ini (el-Quds). Namun, mengapa saudara Muslim yang berada di Palestina memiliki nasib tak sama dengan umat Muslim yang berada di negara lain, seperti di Indonesia yang hidup tenang dan damai, sedangkan saudara Muslim di negara Palestina dirundung duka. Lantas, di manakah rahmat Tuhan? Apakah rahmat Tuhan turun kepada mereka?

 

‘Rahmat Tuhan’ untuk Palestina
Kata rahmat merupakan akar kata dari ar-Rahman dan ar-Rahim (Pengasih-Penyayang) yang menjadi bagian dari sifat Tuhan. Al-Ghazali menyebutkan, sifat rahmat bisa disematkan jika yang menyandang sifat tersebut bisa mendatangkan kebaikan dan memberikan pertolongan kepada yang membutuhkan. Rahmat Tuhan, lanjut al-Ghazali, merupakan sifat kasih sayang yang sempurna dan menyeluruh bagi seluruh makhluk. Kasih sayang sang Maha Penyayang tidak melulu perihal dunia namun juga perihal akhirat. (Imam al-Ghazali, al-Maqsudu al-Asna fi Syarh Ma’ani Asma’u al-Hisna, [Beirut, Darl Ibnu Hazm, 2003], hal. 62)

 

Sifat ar-Rahman –yang berasal dari kata Rahmat- hanya dimiliki oleh Allah SWT, beda halnya dengan sifat ar-Rahim. Sekalipun keduanya berasal dari akar kata yang sama yaitu Rahmat, sebagaimananya dalam al-Qur’an, QS al-Isra’ ayat 110:

 

قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمنَ أَيًّا ما تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْماءُ الْحُسْنى…...

 

Artinya: Katakanlah (Muhammad): “Berserulah kepada Allah atau Dzat yang maha  Rahman dengan nama yang mana saja kamu dapat berseru, karena Ia mempunyai nama-nama yang baik (al-Asma’u al-Husna) ……..”

 

Sang Hujjatul Islam (Julukan al-Ghazali) memberikan anotasi kepada ayat di atas dengan mengatakan bahwa sifat Rahman termasuk bagian dari sifat Rahmat yang berarti hal-hal yang berkaitan dengan kebahagiaan di akhirat (as-Sa’adah al-Ukhrawiyah). (Imam al-Ghazali, al-Maqsudu al-Asna fi Syarh Ma’ani Asma’u al-Hisna, [Beirut, Darl Ibnu Hazm, 2003], hal. 63)

 

Syeikh al-Jalil menyebutkan bahwa distingsi antara sifat ar-Rahman dan ar-Rahim terletak pada kasih sayang Allah yang diberikan kepada seluruh makhluk dan pengkhususan kepada umat muslim; Sifat Rahman adalah sifat kasih sayang Allah yang mencakup kepada seluruh hamba Allah di dunia dan untuk umat muslim di akhirat, sedangkan sifat Rahim, kasih sayang Allah yang diberikan khusus kepada umat muslim. (Abdul Aziz bin Nashir al-Jalil, wa Lillahi al-Asma’u al-Husna, [al-Qostowi li at-Thiba’ah wa at-Tajlid, 2018], hal. 101) Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT di dalam kalam ilahi-Nya, Q.S al-Ahzab, ayat 43:

 

وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا

 

Artinya: “Dan Allah kepada orang-orang mukmin adalah Dzat yang Maha Penyayang”.

 

Kedua intelektual muslim di atas sepakat bahwa Rahmat Tuhan tidak hanya berkaitan dengan dunia, melainkan juga ada Rahmat Tuhan yang berkaitan dengan akhirat, khususnya untuk umat Muslim.

 

Ada ilustrasi menarik dari al-Ghazali, bagaimana kita bisa secara “adil” memahami Rahmat Tuhan, analogi yang sangat gamblang dipaparkan oleh sang Hujjatul  Islam tersebut, sebagai berikut:

 

“Ada anak kecil yang sedang sakit, sang ibu tidak ingin mengobati anaknya tersebut dengan menggunakan bekam, karena mengetahui hal itu bisa menyakiti sang anak, hal ini bertentangan dengan sang ayah yang sangat menginginkan anaknya untuk dibekam, karena dengan pengobatan tersebut anaknya akan lekas sembuh. Mungkin, bagi orang yang tidak paham mengatakan bahwa yang sangat sayang terhadap anak adalah sang ibu bukan sang ayah, padahal yang paling sayang terhadap anak adalah sang ayah, karena ia menginginkan anaknya segera diobati agar segera sembuh sekalipun pengobatan tersebut menyakitkan, akan tetapi akan mengantarkan kepada nikmat yang besar yaitu nikmat sehat” (Imam al-Ghazali, al-Maqsudu al-Asna fi Syarh Ma’ani Asma’u al-Hisna, [Beirut, Darl Ibnu Hazm, 2003], hal. 63)

 

Hal ini bisa menjadi gambaran kita bagaimana memahami Rahmat Tuhan untuk umat muslim yang berada di Palestina, mereka mungkin, untuk sebagian orang dianggap, tidak merasakan kebahagian, karena tanah kelahiran mereka diembargo dan dikoloni oleh bangsa Yahudi, Israel. Perlu diingat, semua itu berkaitan dengan duniawi, secara hukum dunia, mereka merasakan kesakitan yang sangat pedih, namun akan ada kebahagiaan yang abadi bagi bangsa Palestina kelak di akhirat yaitu dengan mati syahid. Wangi darah syuhada’ akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT sehingga mereka mendapatkan derajar yang tinggi dan mulia.

 

Jikapun di dunia, secara kasat mata, umat muslim di Palestina tidak bahagia, kelak di akhirat akan merasakan kebahagiaan yang abadi, jikapun di dunia tidak merdeka, kelak di akhirat akan menikmati kemerdekaan yang hakiki. Rahmat Tuhan tidak sesempit hal-hal yang berbau dunia, namun Rahmat-Nya sangat luas hingga tak bisa tergambarkan oleh akal manusia. Secara tegas di dalam hadist dijelaskan:

 

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ جَعَلَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ جُزْءًا وَأَنْزَلَ فِي الْأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا

 

Artinya: Sesungguhnya Aba Hurairoh berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Allah menjadikan rahmat-Nya seratus bagian, namun Ia menyimpannya 99 bagian (di akhirat) dan Allah turunkan satu rahmat-Nya ke muka bumi. (Imam Bukhari, Shahih Bukhari, [Darl Tauqi an-Najah, 1422 H], Juz 8, hal. 8)

 

*) Musta’in Romli, Pengabdi di Ma’had Aly Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.


https://jatim.nu.or.id/rehat/paradigma-memahami-rahmat-tuhan-untuk-palestina-5kUnj

Author: Zant