Jakarta, NU Online
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) telah rampung menggelar agenda bahtsul masail yang diikuti para kiai dan nyai se-Indonesia di Pondok Pesantren Al-Muhajirin, Purwakarta, Jawa Barat, pada Sabtu (6/5/2023) kemarin.
Salah satu komisi di dalam bahtsul masail yang digelar LBM PBNU itu membahas soal polemik Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan, terutama pada pasal 154 yang menyejajarkan tembakau dengan zat adiktif lain seperti psikotropika, narkotika, dan alkohol. Pembahasan ini berlangsung dinamis karena para narasumber dan para kiai dari berbagai daerah secara bergantian mengeluarkan argumentasinya.
Wakil Ketua Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU Nur Kholis dihadirkan di dalam bahtsul masail tersebut untuk menyampaikan argumentasinya.
Ia kemudian menyoroti nasib para pekerja yang menggantungkan hidupnya di dalam industri tembakau. Padahal, Nur Kholis mengatakan bahwa undang-undang dibuat harus menjadi sebagai pemecah dari permasalahan sosial.
“Nah, masyarakat yang sangat bergantung dengan industri tembakau berjumlah 6 juta jiwa. Di mana letak penyelesaian masalahnya jika 6 juta jiwa ini terancam karena undang-undang ini?” ujar pria yang pernah menjabat Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) itu.
Sementara itu, Ketua LBM PBNU KH Mahbub Ma’afi mengatakan bahwa RUU Kesehatan merupakan regulasi yang kontroversi karena ada satu bagian yang secara eksplisit menyamakan produk olahan tembakau dengan zat adiktif lainnya.
Kiai Mahbub pun mempertanyakan tentang aturan penggunaan kemasan yang ada di dalam RUU Kesehatan tersebut. Ia heran lantaran tidak ada peringatan di botol minuman keras.
“RUU ini juga menjadi kontroversial karena mengatur penggunaan kemasan. Masak kemasan rokok yang notabene beberapa ulama membolehkan diberi peringatan sedemikian besar, sementara botol miras tidak ada peringatannya?” ujar Kiai Mahbub.
Hal itu juga disorot oleh Katib Syuriyah PBNU KH Sarmidi Husna. Ia bahkan mengeluarkan pertanyaan retoris bahwa pemerintah telah bersikap diskriminatif terhadap produk olahan tembakau.
“Ini membuat kita bertanya-tanya kenapa kok pemerintah begitu diskriminatif? Jangan-jangan karena miras itu mayoritas produk impor?” kata Kiai Sarmidi yang juga Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) itu.
UU Kekerasan Seksual di Aceh
Selain membahas tentang RUU Kesehatan, agenda bahtsul masail LBM PBNU tersebut juga menyoal undang-undang kekerasan seksual di Aceh. Di komisi ini, para nyai terlibat dalam pembahasan mendalam.
Sebelumnya, agenda bahtsul masail di Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta ini dibuka oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Di dalam sambutannya, ia menyinggung soal isu feminisme.
Menurut Gus Yahya, NU memiliki gaya feminismenya tersendiri. Ia menyebut, feminisme ala NU itu memberikan kesetaraan akses bagi laki-laki dan perempuan. Setelah kesetaraan akses diberikan, maka di situlah kapasitas yang menentukan.
“Inilah yang dicita-citakan oleh Nyai Djuaesih dan Nyai Siti Saroh,” ujar Gus Yahya.
Dua tokoh perempuan yang disebut Gus Yahya itu merupakan sosok perintis berdirinya organisasi Muslimat Nahdlatul Ulama. Kedua tokoh ini berbicara lantang di mimbar forum Muktamar ke-13 NU di Menes, Banten, pada tahun 1938. Mereka berbicara lantang di depan forum yang sebagian besar adalah laki-laki.
Mereka menyampaikan urgensi kebangkitan perempuan dalam kancah organisasi sebagaimana kaum laki-laki. Ia menjadi perempuan pertama yang naik mimbar dalam forum resmi organisasi NU.
Secara internal, di NU ketika itu juga belum tersedia ruang yang luas bagi jamaah perempuan untuk bersuara dan berpartisipasi dalam penentuan kebijakan. Ide itu pun disambut dengan perdebatan sengit di kalangan peserta Muktamar.
Pewarta: Aru Lego Triono
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.