Jakarta, NU Online
Memasuki hari ke-28 setelah meletusnya perang Sudan pada Sabtu (15/4/2023), tercatat sudah sebanyak 5000 orang mengalami luka-luka, hampir sejuta penduduk mengungsi dan 750 korban meninggal dunia. Perang saudara di Sudan disebabkan oleh perebutan kekuasaan yang melibatkan tentara Sudan dengan pasukan Wakil Presiden Sudan, Mohamed Hamdan Dagalo yaitu kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) atau pasukan pendukung cepat.
RSF merupakan kelompok sipil yang dilatih perang dan dipersenjatai untuk membantu pemerintah dalam mengendalikan kekacauan di negara tersebut. Upaya menggulingkan Mohamed Hamdan Dagalo dari jabatan wakil presiden oleh kelompok militer di Sudan berdampak pada perlawanan dari kelompok paramiliter RSF.
Syuriyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Sudan, Abdurrahman, mengatakan, konflik antara militer dan paramiliter di Sudan sudah berlangsung sejak 2019, setelah lengsernya kekuasaan Umar Hasan Ahmad al-Bashir sebagai Presiden Sudan. Pasukan militer dan paramiliter di Sudan adalah dua kelompok yang turut serta membantu pemerintah mengendalikan jutaan pendemo saat Sudan mengalami inflasi.
Menurut Abdur, sapaan akrab Abdurrahman, militer sebagai tentara negara Sudan dan pasukan khusus paramiliter RSF sempat bekerjasama, turut serta menggulingkan pemerintahan Umar Hasan Ahmad al-Bashir yang sudah berkuasa sejak tahun 1989 (30 tahun berkuasa).
Karena itulah, lanjut Abdur, ketika pemerintahan Umar Hasan Ahmad al-Bashir lengser, Abdul Fattah Abdurrahman al-Burhan sebagai Jendral Angkatan Darat Sudan diangkat sebagai presiden (militer) dan Mohamed Hamdan Dagalo selakui pemimpin RSF sebagai wakil presiden (sipil).
Setelah menjabat hampir 4 tahun, muncul penolakan dari partai-partai di Sudan serta dari pendukung Abdul Fattah Abdurrahman al Burhan, yang mempermasalahkan posisi wakil presiden karena diisi oleh sipil. Mereka juga menginginkan agar RSF dibubarkan.
“Parpol di Sudan tidak setuju kalau pimpinan pasukan khusus (RSF) jadi wakil presiden, karena dia bukan tentara yang ikut sekolah militer,” beber Abdur saat menjadi tamu Podcast NU Swara NU, dikutip NU Online, Jumat (12/5/2023).
Mahasiswa Pascasarjana Universitas al-Qur’anul Karim Sudan ini menambahkan, duet militer dan sipil di Sudan awalnya baik-baik saja, bahkan banyak kalangan menilai, pemerintahan Sudan saat ini adalah fase berjalannya demokrasi di negara yang terletak di timur laut benua Afrika tersebut.
Seiring berjalannya waktu dan menguatnya dorongan agar wakil presiden yang bukan militer dilengserkan, akhirnya bentrokan antara Tentara Nasional Sudan dan RSF pecah. Saling serang bom oleh kedua belah pihak menyebabkan wilayah di negara tersebut porak poranda.
“Tahun 2019 sampai dengan awal 2023 keadaan Sudan baik-baik saja. Akhirnya pada April 2023 Presiden Sudan mengeluarkan kebijakan, ngotot ingin membubarkan pasukan khusus RSF,” terang Abdur.
Pada intinya, kata Abdur, peperangan yang menyebabkan ratusan orang meninggal dunia tersebut disebabkan oleh ketegangan politik dan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh para elit di negara tersebut. Abdur mengaku pasrah ketika bom meledak pada jarak yang cukup dekat dari tempat tinggalnya. Bersyukur, dia dan 968 WNI lainnya berhasil dievakuasi oleh pemerintah Indonesia pada Sabtu (8/5/2023) serta bisa kembali bertemu dengan keluarga.
“Meskipun sempat memikirkan bagaimana nasib perkuliahan kita di sana, tetapi jauh lebih bersyukur kita selamat, berhasil dievakuasi dan bisa bertemu dengan keluarga di rumah,” tuturnya.
Untuk diketahui, saat ini, Militer Sudan dan RSF sepakat menghormati hak-hak warga sipil dan menghentikan gencatan senjata. Militer dan RSF menyepakati deklarasi kemanusiaan. Namun, peperangan belum sepenuhnya berhenti, pertempuran dan penjarahan dikabarkan masih berlangsung di ibu kota Khartoum, Sudan.
Kontributor: Abdul Rahman Ahdori
Editor: Fathoni Ahmad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.