Pekalongan, NU Online Jateng
Ramai dan viral tradisi pernikahan di lingkungan TNI dengan menggunakan pedang pora ditiru Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dengan versi berbeda menjadi viral di dunia maya sejak beberapa hari terakhir ini. Pasalnya, apa yang dilakukan Banser dianggap tidak lazim.
Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan H Muhtarom memberikan tanggapan atas berbagai komentar di media sosial oleh netizen yang bernada negatif.
“Banser akhir-akhir ini menjadi obyek bulying lagi setelah sementara waktu agak mereda karena tidak ada ‘kontroversi’ yang layak untuk dijadikan sebagai alat hujat terhadap Banser,” ujarnya, Sabtu (18/5/2024).
Disampaikan, video anggota Banser yang menikah dengan upacara ala pedang pora yang biasa dilakukan oleh anggota TNI maupun Polri beredar di berbagai medsos itulah penyebabnya dan semuanya bernada menyudutkan.
“Ragam nyinyiran, hujatan, dan penghinaan memenuhi kolom-kolom komentar berbagai medsos sangat disayangkan. Ini semua terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya adalah ketidakpahaman netizen terkait sejarah panjang GP Ansor dan Banser itu sendiri,” tegasnya.
Menurutnya, perlu ada pelurusan dan ditulis ulang secara lengkap sejarah panjang kiprah Banser yang diresmikan pada tahun 1962 sebagai sayap semi otonom GP Ansor. Di mana pada dasarnya adalah nama baru untuk Barisan Ansor Nahdlotul Oelama (Banoe) yang diresmikan tahun 1937 sebagai sayap kepanduan dari GP Ansor.
“GP Ansor yang didirikan tahun 1930 baru resmi masuk bagian Banom NU pada tanggal 24 April 1934. Ansor sendiri adalah kelanjutan dari organ Syubanul Wathon (pemuda tanah air) didirikan KH Abdul Wahab Hasbullah pada tahun 1924,” terangnya.
Perjalanan Banoe lanjutnya, sebagai organ kepanduan NU semakin dinamis dari waktu ke waktu hingga saat pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda para anggotanya diperintahkan oleh para kiai untuk masuk menjadi anggota Barisan Hizbullah yang didirikan oleh Partai Masyumi diketuai oleh KH Hasyim Asy’ari.
“Barisan Hizbullah sebagai pasukan cadangan Pembela Tanah Air (Peta) akhirnya berubah nama menjadi Laskar Hizbullah pada awal tahun 1945,” ungkapnya.
Diceritakan, setelah Ir Soekarno dan M Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, negara baru ini tentu butuh militer sebagai syarat sebuah negara merdeka. Laskar Hizbullah sebagai pasukan ‘independen’ adalah satu satunya pasukan yang masih utuh tegak berdiri karena Peta sebagai organ militer yang dibentuk Jepang dibubarkan setelah negaranya dibom oleh Amerika Serikat (AS).
“Laskar Hizbullah memiliki batalyon-batalyon dan resimen di Jawa dan Sumatera yang mayoritas dipimpin oleh para Kiai NU akhirnya mengajak elemen-elemen lain seperti anggota Peta yang juga banyak anggotanya dari unsur Banoe dan mantan anggota KNIL untuk membentuk badan penjaga keamanan bagi negara baru Republik Indonesia,” kata Muhtarom.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia sambungnya, para pendiri negara sepakat membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Setelah situasi dirasakan semakin kurang kondusif, maka BKR ditingkatkan fungsinya menjadi angkatan perang. Kemudian pada tanggal 5 Oktober 1945 angkatan perang ini resmi dinamakan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang saat ini menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Jadi ini sejarah yang tidak bisa dilupakan begitu saja bahwa anggota Laskar Hizbullah dan Peta yang sebagian besar adalah anggota Banoe merupakan elemen penting dalam pendirian angkatan perang Indonesia yang saat ini dinamakan TNI. Demikian juga para komandan resimen dan batalyon saat itu banyak dijabat oleh para kiai NU,” paparnya.
Dijelaskan, anggota TKR yang terdiri dari banyak unsur (Hizbullah, Peta, dan KNIL) inilah yg kemudian membikin benturan kepentingan di internal TKR. Pada Januari 1948 Wakil Presiden Mohammad Hatta mengeluarkan kebijakan Rekonstruksi dan Rasionalisasi (Rera) bertujuan untuk penghematan anggaran di antaranya dengan efisiensi organisasi tentara.
“TKR dibikin seefisien mungkin dengan melepaskan para anggotanya yang tidak memiliki ijazah formal dan keahlian khusus untuk kembali ke masyarakat. Kebijakan ini membuat banyak anggota TKR yang berafiliasi kepada Partai Komunis dan Partai Masyumi kecewa, hingga banyak para kiai NU mundur dari jabatan komando kembali ke tugas mengajar di pesantren,” pungkasnya.
Diketahui, setelah terbitnya kebijakan Rera inilah banyak anggota Laskar Hizbullah yang kembali mengabdi ke masyarakat dengan tetap siap berjuang untuk membela NKRI jika dibutuhkan seperti sudah banyak dibuktikan melalui berbagai penumpasan pemberontakan terhadap NKRI yang dilakukan oleh berbagai pihak di antaranya adalah PKI pada tahun 1948 dan 1965.
Penulis: M Ngisom Al-Barony