Makkah, NU Online
Idul Adha merupakan perayaan hari raya terbesar umat Islam di mana umat Islam di seluruh dunia menyembelih hewan kurban pada hari tersebut, ditambah pada hari-hari tasyrik. Di Arab Saudi, tempat kelahiran Islam, Idul Adha merupakan masa yang paling ramai yang mana jamaah haji melaksanakan berbagai prosesi ibadah mulai tanggal 9-13 Dzulhijjah.
Bisa melaksanakan shalat Idul Adha di Masjidil Haram menjadi dambaan banyak orang. NU Online yang menjadi bagian dari tim Media Center Haji (MCH) secara tidak sengaja mendapat berkah untuk bisa menunaikan shalat sunah di masjid yang hitungan pahalanya 100 ribu kali dibandingkan dengan shalat di masjid biasa.
Idul Adha di Arab Saudi jatuh pada hari Sabtu (9/7/2022), satu hari lebih awal dibandingkan dengan di Indonesia. Sehari sebelumnya pada Jumat, jamaah haji menjalani wukuf di Arafah, dan malamnya diteruskan dengan mabit atau berdiam di Muzdalifah sekaligus mengambil batu. Rombongan tim MCH tidak ke Mina, melainkan langsung ke Masjidil Haram untuk melaksanakan thawaf ifadhah yang menjadi salah satu wajib haji. Hal ini dilakukan supaya bisa segera melepas pakaian ihram dan terlepas dari larangan-larangan yang menyertainya.
Info awal keberangkatan pukul 22.00 WAS, kemudian mundur lagi pukul 11.00 dan baru benar-benar berangkat sekitar pukul 01.00. Semua mesti dimaklumi mengingat ada satu juta orang yang malam itu secara serentak berpindah dari Arafah ke Muzdalifah dan dilanjutkan ke Mina. Namun, rombongan baru sampai ke Masjidil Haram pukul tiga lebih mengingat kemacetan dan penutupan jalan di mana-mana.
Prosesi thawaf ifadah dan sa’i berjalan dengan lancar. Sebagian jamaah haji mengambil pola seperti yang kami lakukan. Semakin mendekati waktu subuh, jamaah semakin banyak. Ketika azan subuh berkumandang, thawaf sudah selesai dan kami berkesempatan untuk istirahat sejenak sambil menunggu shalat Subuh yang tiba pukul 04.21 WAS.
Begitu selesai shalat Subuh, kami menunggu beberapa teman yang lokasi shalatnya terpisah-pisah dan setelah terkumpul, langsung menuju ke tempat sa’i. Lokasi sa’i di lantai satu sudah sangat padat dengan jamaah. Sangat tidak nyaman dan tidak leluasa untuk bergerak. Beberapa orang memutuskan untuk tetap menjalani prosesi sa’i di lantai 1. Namun, saya dan beberapa kawan pindah ke lantai 2 yang lokasinya lebih lapang, dan bisa nyelap-nyelip supaya lebih cepat. Di lokasi ini pun, semakin lama semakin padat. Artinya lokasi lantai 1 juga semakin penuh.
Salah seorang teman dari stasiun televisi nasional sempat nyeletuk, “Apakah kita shalat Idul Adha di sini?” Dalam isi kepala kami, shalat Idul Adha di Masjidil Haram akan berlangsung sekitar pukul 7 seperti di Indonesia. Soalnya kami sebelumnya mendapat masukan dari salah satu petugas haji senior yang telah berulang kali mengawal perjalanan jamaah haji Indonesia. Pada Idul Adha, semakin siang, semakin sulit mencari kendaraan atau pilihannya jalan kaki sepanjang 4 kilometer.
Usai shalat Subuh, takbir berkumandang satu kali dalam rentang beberapa menit, tidak seperti di Indonesia yang bacaan takbir terus berlangsung dari Subuh sampai pelaksanaan shalat Idul Adha. Ini semakin meyakinkan kami bahwa shalat Idul Adha masih agak lama.
Akhirnya, sekitar pukul 05.40 WAS sa’i telah selesai tujuh putaran, empat kali di Sofa, dan tiga kali di Marwa, baru kemudian dilanjutkan dengan tahallul. Setelah itu, kami pun mojok di sebuah jembatan untuk menunggu teman lain yang masih menyelesaikan sa’i-nya. Masih dengan asumsi shalat akan diselenggarakan sekitar pukul 7 pagi, namun kami sepakat untuk shalat Idul Adha di sini, yang mungkin akan menjadi pengalaman sekali seumur hidup.
Baru sejenak bersandar di dinding, tiba-tiba terdengar imam shalat telah bertakbir, menandakan shalat Idul Adha dimulai. Segera saja, kami pun masuk ke dalam. Ada sekitar 4 orang yang sudah membentuk barisan shalat, di sebuah lokasi dekat tiang yang tidak mengganggu orang yang sedang melakukan sa’i, dan kami pun membentuk barisan baru di sampingnya. Namun, sebagian besar orang yang ada di lantai dua tersebut tetap melanjutkan aktivitas sa’i-nya dibandingkan dengan menunaikan shalat Idul Adha.
Secara psikologis, kami belum siap mental untuk melaksanakan shalat tersebut. Di Indonesia, karena Idul Fitri dan Idul Adha menjadi perayaan besar, maka prosesi shalat dipersiapkan dengan baik. Sebagian orang merelakan pulang ke kampung halaman hanya untuk bisa shalat sunah tersebut bersama keluarga. Pada hari penting itu, Muslim Indonesia bangun lebih pagi, kemudian mandi dan menggunakan pakaian terbaik yang sehari sebelumnya sudah dipersiapkan. Menyemprotkan wewangian, dan makan sedikit cemilan supaya tidak lapar. Lalu, berangkat ke masjid lebih awal dan dilanjutkan dengan shalat sunah tahiyyatal masjid. Baru kemudian mengikuti bacaan takbir sambil menunggu shalat dilaksanakan.
Shalat Idul Adha di Masjidil Haram, ternyata dilaksanakan setelah waktu terbitnya matahari, yaitu pukul 05.48 WAS. Jadi begitu waktu Subuh selesai, shalat sunah tersebut segera ditunaikan.
Usai shalat dilanjutkan dengan khutbah Idul Adha, namun sebagian jamaah beransur-angsur pulang, tanpa mengikuti khutbah sampai tuntas. Kami pun ikut beranjak mengingat dari semalam kurang istirahat dan bahasa Arab yang tidak sepenuhnya kami mengerti. Rombongan besar berjalan keluar dari Masjidil Haram menuju terminal Syib Amir, terminal terbesar dari tiga terminal yang ada di Masjidil Haram. Sebagian jamaah masih menggunakan pakaian ihram. Artinya, mereka menjalani thawaf ifadhah seperti yang kami lakukan.
Jalan King Fahd yang mengarah ke kantor Misi Haji Indonesia dipenuhi oleh jamaah dari berbagai negara yang masih menggunakan pakaian ihram. Mereka berjalan mengarah ke Masjidil Haram. Beruntung taksi yang kami naiki bisa langsung turun di depan penginapan. Sebagian teman yang menggunakan taksi dari terminal yang berbeda diturunkan di tengah jalan karena adanya penutupan jalan di berbagai tempat pada pagi itu. Pada saat Masjidil Haram ramai jamaah, ongkos taksi dipatok lebih mahal. Untuk jarak yang hanya 4 kilometer, kami mesti membayar 40 riyal atau setara dengan 160 ribu.
Jika dibandingkan dengan shalat Jumat yang kami ikuti selama musim haji 2022, jamaah shalat Jumat jauh lebih penuh dibandingkan dengan shalat Idul Adha. Pada shalat Jumat, jamaah meluber sampai di pelataran dan lokasi sa’i dimanfaatkan untuk shalat Jumat, bahkan Jumat terakhir sebelum Idul Adha (1/7/2022) beberapa teman yang berangkat pukul 10.00 mesti berjalan sekitar 2 kilo meteran karena jalanan sudah ditutup. Sampai di sana pun, mereka tak dapat masuk Masjidil Haram mengingat penuhnya jamaah. Mereka hanya bisa shalat di bawah jembatan atau di parkiran.
Pada Idul Adha, sebagian besar jamaah haji yang biasanya menjalakan shalat lima waktu di Masjidil Haram sedang mabit di Mina. Hal ini mengurangi jumlah jamaah yang menunaikan shalat Idul Adha di Masjidil Haram.
Pewarta: Achmad Mukafi Niam
Editor: Kendi Setiawan
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/internasional/pengalaman-mengikuti-shalat-idul-adha-di-masjidil-haram-wYe8E