Blitar, NU Online Jatim
Kiai Asmawi Mahfudz, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Kamal, Blitar menjelaskan Islam nusantara merupakan Islam yang diwadahi dengan budaya nusantara. Pemikiran tersebut akhirnya berkembang dalam lingkup nahdliyin, sehingga berlanjut dengan fiqih nusantara yang perlahan membentuk peradaban manusia di Indinesia. Seperti halnya budaya di Blitar, ketika menikah jika tidak mengambil referensi dari kitab kuning rasanya kurang afdhal. Mulai dari lamaran, hingga ijab qobul yang biasa diijabkan oleh kiai, hingga kebiasaan walimatul ursy.
“Itu semua merujuk dari kitab kuning, berjalan dari zaman dahulu hingga sekarang. Maka tidak heran jika ulama kita ingin meramu kembali, agar praktik-praktik fiqih yang sudah membentuk peradaban dikembangkan” jelasnya dalam kegiatan Halaqah Fiqih Peradaban di Pondok Pesantren Al-Kamal, Blitar beberapa waktu yang lalu.
Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung ini menjelaskan, sekarang zamannya arus informasi dan teknologi digital, juga perkembangan teknologi global, maka diskusi tentang fiqih pun ikut berkembang. Saat ini, diskusinya tidak lagi tentang fiqih thaharah dan nikah saja.
“Sebab problematika peradaban manusia juga bermacam-macam, sehingga berkembang menjadi problem fiqih ketatanegaraan, problem fiqih siyasah, problem fiqih lingkungan, fiqih ekonomi dan semua mengakar di bumi nusantara,” ungkapnya.
Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri ini juga menggaris bawahi ada empat kontribusi Islam dalam membangun peradaban di nusantara. Pertama kitab kuning, yang menjadi salah satu referensi utama dalam pengajaran dan studi agama Islam, meskipun saat ini sudah banyak buku maupun teknologi terbarukan, tetapi kitab kuning masih menjadi kajian utamanya dalam lingkup pesantren.
“Hal ini merupakan bukti sejarah dari ulama kita, dan kitab kuning ini unik. Kita harus bisa menggunakan arab pegon untuk mempelajarinya,” terangnya.
Kontribusi kedua adalah fatwa, yang juga menjadi rujukan dalam peradaban. Baik fatwa yang disampaikan oleh kelompok atau pribadi. Misalnya, nahdliyin sejak dulu terbiasa untuk meminta fatwa kepada kiai atau ulama ketika ingin melakukan sesuatu, entah kepentingan pribadi atau kelompok. Maka fatwa memegang peranan yang cukup penting dalam membangun peradaban.
“Sehingga peradaban Islam di Indonesia tidak kultural saja, tetapi juga secara formal. Banyak sekali hasil fatwa yang ditindak lanjuti menjadi undang-undang,” ungkapnya.
Selanjutnya, kontribusi Islam yang ketiga yaitu Qanun atau undang-undang. Zaman dahulu masyarakat menikah tidak tercatat di KUA pun bukan menjadi masalah, yang penting sudah sesuai dengan syariat. Tetapi saat ini sudah ada undang-undang, sehingga menikah wajib tercatat di KUA. Hal tersebut menjadi bukti konkrit qanun dalam membentuk peradaban umat muslim di Indonesia.
“Sehingga, saat ini terciptalah berbagai macam undang-undang seperti UU Zakat, UU Haji, UU tentang Ekonomi Syariah, Perbankan Syariah dan lain sebagainya,” paparnya.
Kontribusi yang terakhir yakni adanya qadha atau peradilan. Sekarang, ketika ada problematika muslim selalu dibawa ke pengadilan. Sebenarnya ini merupakan tradisi sejak dahulu zaman belanda, bedanya ketika jaman kolonial yang menjadi hakim adalah para ulama dan kiai yang ada di daerahnya. Sehingga sampai saat ini ada istilah naib untuk mencatat pernikahan dan modin sebagai tokoh agama.
“Sayangnya, saat ini kalangan santri masih takut untuk menjadi hakim. Entah karena kehati-hatian atau bagaimana, sehingga saat ini banyak hakim yang berasal dari lulusan perguruan tinggi negeri, minim pengetahuan tentang pesantren dan tidak bisa membaca kitab,” tuturnya.
Keempat hal tersebut merupakan peradaban Islam yang seharusnya dijaga bersama. Oleh karena itu, Kiai Asmawi berharap, sebagai nahdliyin dan para santri yang hidup dalam lingkup pesantren dan tentunya memiliki kapasitas dalam membaca kitab sudah seharusnya untuk mengembangkan peradaban Islam, baik kitab kuning, fatwa, qanun maupun qodho.