Sebagai negara berkembang, Indonesia terus memperbaiki diri di tengah persaingan global yang semakin ketat. Meski begitu, upaya perbaikan itu pun tak serta merta membuat Indonesia mendulang kesuksesan. Ada saja jalan terjal yang perlu dilalui untuk meningkatkan daya saing dengan terus bergerak dan berinovasi.
Secara daya saing, posisi Indonesia saat ini bisa dikatakan kurang menggembirakan. Secara peringkat berdasarkan data World Economic Forum (WEF), daya saing Indonesia 2019 menurun lima level dari posisi 45 pada tahun lalu, ke peringkat 50.
Di Asia Tenggara, Indonesia berada di posisi keempat setelah Singapura, Malaysia di peringkat 27 dan Thailand 40. Sedangkan, Filipina di peringkat 64 dan Vietnam berada di peringkat 67.
Meski berada di bawah Indonesia, WEF menyebut Vietnam merupakan negara yang memiliki indeks paling meningkat dengan skor naik 3,5 menjadi 61,5 dengan posisi melompati 10 level, dari posisi sebelumnya di peringkat 77. Secara realitas skor daya saing Indonesia bukan turun, tapi negara-negara lain yang lompatannya lebih tinggi ditunjang dengan reformasi yang lebih cepat.
Dari survei lain pada Global Talent Competitiveness Index (GTCI) dijabarkan indeks daya saing negara yang dilihat dari kemampuan atau talenta sumber daya manusia. Survei ini membuat patokan berdasarkan pendapatan per kapita, pendidikan, infrastruktur teknologi komputer informasi, gender, lingkungan, tingkat toleransi, hingga stabilitas politik.
Hasilnya, dari keseluruhan negara di ASEAN, Indonesia berada di posisi keenam dengan angka 38,61 dan puncak survei diduduki oleh Singapura skor 77,27. Mengekor di belakangnya, Malaysia 58,62, Brunei Darussalam (49,91), dan Filipina 40,94.
Dari data-data yang ada pada WEF maupun GTCI terungkap, persoalan sumber daya manusia semakin menjadi perhatian utama bagi perusahaan dan negara. Kualitas dan talenta yang dimiliki tiap individu kian dipandang sebagai kunci pertumbuhan, penciptaan lapangan kerja, dan inovasi.
Tentu saja, peningkatan potensi sumber daya manusia menjadi salah satu yang perlu dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia untuk menghadapi persaingan global dengan melakukan perbaikan sistem pendidikan yang ada selama ini. Salah satu yang perlu dilakukan yakni dengan meningkatkan profesionalisme guru.
Keberadaan guru sungguh sangat dinantikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa untuk mencapai negara yang lebih maju dan berkembang. Melihat begitu urgennya peran guru juga menyiratkan makna bahwa untuk menunjang hal itu diperlukan kompetensi yang mumpuni. Salah satu kompetensi yang benar-benar perlu mendapatkan perhatian adalah profesionalitas mereka.
Kemdikbud mengungkap ternyata masih ada 300 ribu guru yang statusnya belum menempuh strata 1, bahkan dari sekitar tiga juta sepuluh ribu yang ada di Indonesia hampir 50 persennya belum tersertifikasi yang seharusnya bisa menjadi bukti profesionalisme guru sesuai amanat UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Bahkan, Menteri Keuangan, Sri Mulyani pernah berceloteh saat mengisi kegiatan Dialog Publik Pendidikan Nasional dengan Persatuan Guru Republik Indonesia bahwa dia menyangsikan sertifikasi guru yang hanyalah prosedural untuk mendapatkan tunjangan. Menurutnya, sertifikasi guru saat ini tidak dijadikan sebagai gambaran guru yang betul-betul profesional dan tidak menggambarkan guru yang bertanggung jawab terhadap kualitas mengajar.
Problem kompetensi seorang guru juga disebutkan dalam jurnal Prosiding Seminar Nasional Himpunan Dosen Pendidikan Guru Sekolah Dasar Indonesia (HDPGSDI), yang menyebutkan bahwa dalam aspek kompetensi profesional, banyak guru yang dianggap masih gagap dalam menguasai materi ajar secara luas dan mendalam sehingga gagal menyajikan kegiatan pembelajaran yang bermakna dan bermanfaat bagi siswa.
Di dunia pendidikan, guru jelas menjadi tiang utama yang juga menjadi pangkal citra pendidikan di negeri ini yang tidak hanya bertugas dan berperansebagai pemberi teori-teori dalam proses pembelajaran namun juga harus mampu menciptakan sikap dan jiwa yang mampu bertahan dan bersaing dalam tuntutan era lobalisasi. Secara personal seorang guru perlu memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, kompetensi profesional, dan kompetensi kepemimpinan.
Selama ini, untuk meningkatkan profesionalitas guru, pemerintah sebenarnya telah menetapkan aturan-aturan dengan cara memenuhi kualifikasi akademik maupun kompetensi guru yang diberlakukan secara Nasional. Selain itu juga menyiapkan pelatihan-pelatihan dalam rangka pemantapan dan peningkatan kompetensi mereka.
Guru juga diberikan kebebasan dalam mengikuti berbagai pelatihan, seminar dan workshop. Dengan mengikuti pelatihan profesionalisme melalui kegiatan-kegiatan tambahan tersebut maka guru dapat menambah wawasan dan pengetahuan, serta dapat berlatih dan mendapat solusi permasalahan dalam pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) di sekolahnya. Dalam sebuah pelatihan biasanya guru akan diarahkan fasilitator untuk membuat karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan PTK, sehingga dari guru dapat menanyakan kendala yang dihadapi dalam pembelajaran di kelas.
Meski demikian, upaya-upaya pemerintah itu tetap saja tidak maksimal jika tidak diimbangi dengan profesionalitas dalam perekrutan serta peningkatan kesejahteraan bagi mereka dari segi bisyaroh. Sekolah sebagai pusat pendidikan harus bisa meminimalisir perekrutan tenaga pendidik yang hanya mengedepankan hubungan darah atau pertemanan sehingga kurang memahami subjektif dalam melihat sejauh apa kompetensi-kompetensi yang dimiliki bakal calon guru itu.
Kemudian, terkait kesejahteraan, tidak bisa dipungkiri keberhasilan penyelenggaraan pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan profesional mengajar dan tingkat kesejahteraannya. Meskipun, ukuran kesejahteraan tidak bisa disamaratakan, namun hal itu bisa dilihat dari penghasilan setiap bulan mampu mencukupi kebutuhan pokok keluarga sehari-hari secara tetap dan berkualitas, mampu mencukupi kebutuhan pendidikan, mampu mengembangkan diri secara profesional serta memiliki kemampuan untuk mengembangkan komunikasi ke berbagai arah sesuai dengan kapasitasnya, baik dengan memanfaatkan teknologi maupun secara konvensional.
Faktor kecermatan dalam seleksi dan upaya pemenuhan kesejahteraan guru perlu ditingkatkan sehingga guru tidak sibuk untuk mencari kerja sampingan dan bisa fokus memperhatikan kompetensi yang ada pada dirinya dan tidak lupa bahwa ia memiliki tanggung jawab mencerdaskan anak didiknya.
Karena minimnya tingkat kesejahteraan, tak jarang sebagian guru memilih bekerja paruh waktu selepas dari sekolah atau bahkan di sela jam mengajar, hal itu diakui dapat sedikit membantu pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup tiap harinya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa upah atau honor menjadi seorang guru bisa dikatakan masih berada di bawah rata-rata, sehingga mau tidak mau ia harus mencari kerja tambahan.
Banyak guru yang mencari pendapatan tambahan dengan berjualan online karena dianggap lebih efektif ruang dan waktu. Namun sebagian lainnya ada yang mengisi jam siang hingga sorenya untuk kembali mengajar anak-anak di Madrasah Diniyah (Madin) atau TPQ. Oleh karena itu dengan kesibukan yang dijalankan setiap harinya menjadikan guru kurang memperhatikan kualitas kompetensi profesionalisme yang dimiliki.
Ketika masalah perekrutan dan kesejahteraan guru sudah teratasi, Edu, dkk dalam Etika dan Tantangan Profesionalisme Guru menawarkan solusi untuk meningkatkan profesionalisme guru dengan (1) menyediakan perpustakaan guru, (2) membuat jurnal yang bisa ditulis oleh guru, (3) mempraktikkan berbagai model atau pendekatan pembelajaran di dalam kelas, (4) mengadakan penelitian tindakan, (5) mengikuti pendidikan dan latihan secara rutin, (6) mendistribusikan guru secara merata sehingga tidak terjadi tumpeng tindih dan kekosongan, (7) membebaskan guru dari pragmatis politik dan memperkuat organisasi profesi guru.
Dalam meningkatkan kompetensi profesionalitasnya, yang terpenting bahwa seorang guru harus memiliki kesadaran penuh bahwa ia merupakan tokoh di balik keberhasilan anak-anak didiknya dalam meraih cita-cita. Guru perlu kembali menata fokus utamanya yakni mendidik anak-anak untuk menjadi masa depan yang berkualitas milik bangsa Indonesia. Ketika seorang guru memahami hal tersebut maka sebesar apa pun tantangan yang dihadapi, masa depan anak-anak didiknya menjadi yang paling utama. Guru akan terus melakukan evaluasi diri dengan melihat apa yang telah dikerjakan sebagai seorang pendidik.
Sebagaimana sejak disahkannya UU Guru dan Dosen tahun 2005 yang menyatakan salah satu bagian dari penilaian kinerja guru adalah dengan cara swalayan yakni guru diberikan kesempatan untuk menilai dirinya dengan sendiri, istilah lainnya yakni evaluasi diri guru untuk pengembangan keprofesian berkelanjutan. Sehingga dengan adanya aturan tersebut maka guru harus mampu membaca, melihat, mengetahui kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya terkait profesionalisme. Hal ini diharapkan agar guru selalu berusaha untuk memperbaiki diri, sehingga ketika guru selalu berusaha meningkatkan kemampuannya maka cita-cita negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dapat tercapai dengan sendirinya.
Penulis: Afina Izzati
Editor: Fathoni Ahmad
======================
Artikel ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Guru 25 November bertema “Berinovasi Mendidik Generasi” oleh Direktorat Guru dan Tenaga Kependidikan Madrasah, Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.