Surakarta, NU Online Jateng
Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PWNU Jawa Tengah berkolaborasi dengan Pusat Studi Konstitusi dan Hukum Islam (PUSKOHIS) Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta dalam rangka memperingati Hari Santri Nasional menggelar Seminar Nasional bertajuk “Pesantren sebagai Wadah Pendidikan Karakter: Upaya Pencegahan Bullying melalui Pendekatan Syariah dan Hukum Nasional” yang dilaksanakan di Aula Fakultas Syariah UIN RMS pada Sabtu (28/10/2024).
Sambutan awal disampaikan oleh Direktur PUSKOHIS sekaligus pengurus LPBH NU Jawa tengah, Ahmad Muhamad Mustain Nasoha, memberikan pandangan mendalam terkait posisi pesantren sebagai wadah yang efektif dalam pendidikan karakter serta upaya preventif terhadap bullying. Ia mengaitkan konsep pendidikan pesantren dengan teori keadilan hukum dan pendekatan fiqih (jurisprudensi Islam), yang relevan dalam membentuk regulasi dan nilai-nilai yang mendukung kehidupan santri.
Menurut Mustain, pesantren memegang peran penting sebagai miniatur sistem hukum yang adil dan egaliter, di mana nilai-nilai syariah diinternalisasikan dalam praktik sehari-hari. Mengutip teori hukum dari Roscoe Pound, bahwa hukum bukan hanya perangkat aturan tetapi juga instrumen rekayasa sosial (law as social engineering), ia menekankan bahwa pesantren bisa memaksimalkan pendekatan hukum syariah sebagai instrumen untuk membangun budaya hidup damai dan harmonis.
“Dalam konteks pesantren, hukum harus bekerja sebagai alat yang mampu menginternalisasi moral dan akhlak, menjauhkan santri dari perilaku menyimpang seperti bullying,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua LPBH NU PWNU Jawa Tengah Atatin Malihah juga sebaga pemateri pertama, menekankan pentingnya aspek hukum dalam pencegahan bullying, terutama di lingkungan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan Islam. Dalam paparan beliau, Atatin menguraikan berbagai landasan hukum nasional yang melindungi siswa dari segala bentuk kekerasan, serta upaya preventif yang dapat diambil pesantren dalam menyusun regulasi internal yang mendukung terciptanya lingkungan belajar yang aman dan nyaman bagi semua santri.
“Peraturan nasional terkait perlindungan anak dan ketentuan dalam UU Perlindungan Anak perlu diinternalisasi dalam lingkungan pesantren,” ungkapnya
Ia juga menegaskan bahwa pesantren sebagai bagian dari khazanah pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan pendekatan hukum dalam mencegah terjadinya bullying. Dalam semangat Ahlu Sunnah wal Jamaah, pesantren harus menjadi tempat yang mencerminkan nilai-nilai kasih sayang dan perlindungan terhadap semua individu, terutama anak-anak.
Attatin juga menjelaskan secara rinci mengenai aspek hukum yang terkait dengan kekerasan terhadap anak di lingkungan pesantren. Ia mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang secara jelas mendefinisikan anak sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Atatin menyoroti Pasal 1 angka 15a UU No. 35 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa kekerasan adalah tindakan yang menimbulkan penderitaan fisik, psikis, seksual, atau bentuk penelantaran pada anak, termasuk ancaman, paksaan, atau tindakan yang menghilangkan kebebasan anak secara ilegal.
Menurutnya, tindakan kekerasan ini dapat berupa apa saja yang mengganggu kenyamanan dan keamanan anak di lingkungan pendidikan, termasuk pesantren. Ia kemudian menjelaskan bahwa siapa pun yang melakukan kekerasan terhadap anak dapat dikenai sanksi pidana sesuai Pasal 80 (1) jo. Pasal 76c UU No. 35 Tahun 2014, dengan ancaman pidana penjara hingga 3 tahun 6 bulan dan/atau denda sebesar Rp72 juta. Pasal 76c secara tegas melarang segala bentuk kekerasan, baik berupa tindakan langsung maupun tidak langsung, terhadap anak. Jika kekerasan tersebut menyebabkan luka berat, pelaku dapat dikenai sanksi pidana penjara hingga 5 tahun dan/atau denda maksimal Rp100 juta, sebagaimana diatur dalam Pasal 80 (2).
Selain UU Perlindungan Anak, Atatin juga merujuk Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait penghinaan atau pencemaran nama baik, yang sering kali muncul dalam kasus perundungan. Pasal ini relevan dalam konteks pesantren, di mana tindakan atau ujaran yang merendahkan martabat santri dapat dianggap sebagai pencemaran nama baik, yang juga memiliki konsekuensi pidana. Dalam pandangan NU, menghargai martabat sesama adalah bagian dari akhlakul karimah yang harus dijunjung tinggi.
Sebagai penutup, Atatin menekankan pentingnya regulasi internal pesantren yang sejalan dengan UU Perlindungan Anak dan KUHP. Ia mendorong pengasuh pesantren untuk memperkuat pengawasan dan memberikan sosialisasi mengenai pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan, agar setiap santri dapat berkembang tanpa tekanan fisik maupun psikis. Dalam semangat ukhuwah Islamiyah, mari kita bersama-sama mewujudkan pesantren yang menjadi mercusuar bagi pendidikan yang berakhlak dan berlandaskan pada hukum yang adil.
Pemateri selanjutnya, Ketua Bidang Pengabdian PUSKKOHIS Fakultas Syariah UIN Raden Mas Said Surakarta, Fathurrahman Husen menekankan pentingnya pesantren sebagai tempat yang tidak hanya berfungsi untuk pendidikan agama tetapi juga sebagai wahana utama dalam membentuk karakter santri yang kuat dan berakhlak. Dalam paparannya, ia mengaitkan peran pesantren dengan konsep maqasid al-shariah (tujuan-tujuan syariah), yang menitikberatkan pada perlindungan jiwa dan kehormatan manusia (hifz al-nafs wa al-‘ird).
“Pesantren harus berfungsi sebagai tempat yang menjamin keamanan dan penghormatan bagi setiap santri. Tujuan hukum Islam adalah melindungi martabat manusia, dan ini mencakup perlindungan dari perilaku-perilaku yang merendahkan, seperti bullying,” tegasnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Darul Quran dari Medan, KH Syahrul Afrizal Sitorus membahas perspektif syariah dalam menangani perilaku bullying. Ia menyoroti bahwa dalam ajaran Islam, setiap bentuk tindakan yang merugikan orang lain secara fisik maupun psikologis dilarang keras.
“Al-Quran dan Hadis mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga kehormatan dan martabat sesama manusia,” katanya.
Kiai Syahrul menjelaskan bahwa penerapan nilai-nilai Islami seperti menghormati sesama dan melarang perbuatan zalim dapat menjadi solusi efektif dalam menghapus budaya bullying di pesantren.
Sebagai pembicara terakhir, Dosen Fakultas Syariah UIN RMS Seno Aris Sasmita, memaparkan peran pendidikan karakter di pesantren sebagai upaya pencegahan jangka panjang terhadap perilaku bullying. Dalam paparannya, ia menekankan pentingnya pendekatan holistik dalam membentuk karakter santri melalui pendidikan nilai, seperti menghargai perbedaan, empati, dan toleransi.
“Pesantren memiliki peran besar dalam menanamkan karakter kuat pada santri. Pembentukan ini bukan hanya tugas akademis tetapi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka,” jelasnya.
Seminar yang dihadiri oleh mahasiswa, santri, dan praktisi hukum ini berlangsung dengan penuh antusiasme. Para peserta aktif berdiskusi, menanyakan berbagai cara praktis yang dapat diimplementasikan dalam menangkal bullying di lingkungan pendidikan Islam. Acara ini dihadiri 384 peserta baik offline maupun online.
Seminar ini diharapkan mampu mendorong institusi pesantren di Indonesia untuk lebih aktif dalam menciptakan lingkungan pembelajaran yang aman dan kondusif, sekaligus memperkuat posisi pesantren sebagai garda terdepan dalam pendidikan karakter yang Islami dan berlandaskan hukum nasional.