Jakarta, NU Online
Pada dasarnya prilaku umat Islam dalam beragama sudah mempraktikkan cara yang moderat (wasathiyah). Hal ini menurut Profesor Ali Munhanif dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta didasari fakta sejarah bahwa masuknya Islam di Nusantara tidak melalui peperangan namun melalui jalur perdagangan.
Oleh karenanya, kedamaian telah menjadi benih proses dakwah Islam di Nusantara ditambah dengan asimilasi dan akulturasi tradisi serta budaya Indonesia dengan nilai-nilai Islam. Dari kondisi damai ini, Islam di Indonesia menjadi wujud dari Islam Rahmatan lil Alamin.
“Namun saya berpendapat bahwa moderasi dan radikalisasi termasuk dalam kategori politik,” ungkap Ali Munhhanif saat berbicara pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS), di Bali pada Rabu (2/11/2022).
Guru Besar bidang Ilmu Politik ini berpendapat bahwa munculnya istilah moderat dan radikal merupakan sebuah konsekuensi masuknya umat Islam dalam menentukan apakah negara Indonesia akan dijadikan negara Islam atau negara nasional.
“Ada kontestasi antara tokoh elite bangsa dan para pemuka umat Islam dalam mewujudkan transformasi sosial. Proses dalam pembentukan negara adalah hasil negosiasi dari berbagai pandangan,” ujar peraih gelar doktor dari McGill University Montreal ini.
Hanif menyebut Soekarno, Muhammad Hatta, dan tokoh nasionalis lainnya memiliki pandangan berbeda tentang konsep negara, sementara Wahid Hasyim dan para tokoh agama Islam lainnya juga memiliki konsep sendiri.
Di era digital saat ini, ungkap Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ini, kontestasi juga berlangsung dengan memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi khususnya melalui internet dan media sosial. Berbagai paham seperti radikalisme, jihadis, dan sejenisnya melakukan penetrasi menggunakan media online untuk menyebarkan pahamnya.
“Media sosial dan alat komunikasi kemudian menjadi alat mempercepat misi untuk meraih simpati dari masyarakat melalui manipulasi dan menviralkannya di media sosial,” katanya.
Media sosial sekarang juga dijadikan alat untuk menguatkan politik identitas yang menurutnya sangat berbahaya. Karena sentimen agama bisa dengan mudah disulut dan meledak meskipun yang terkena sasaran hanya pengikut agama tertentu dengan kadar pemahaman yang tidak mendalam tentang agama yang dianutnya.
“Saya tidak mengatakan jika politik identitas tidak sesuai dengan peraturan jika digunakan untuk memobilisasi orang. Namun saya meyakini ini sangat berbahaya karena ketika menyentuh sentimen primordial seseorang bisa dengan mudah menimbulkan kerusuhan dan konflik,” ungkapnya.
Oleh karenanya kondisi merasa terzalimi menjadi salah satu pemicu munculnya mobilisasi masa. Dan ini menurutnya yang patut diwaspadai jika dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan radikal sebagai sarana untuk mencapai target dan misi mereka.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Zunus Muhammad
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.