Salah satu syarat sah bersuci (thaharah) adalah harus menggunakan air yang suci dan menyucikan (thahir muthahhir), yaitu air mutlak. Jika tidak, maka bersucinya tidak bisa dianggap sah dan tidak bisa digunakan untuk menunaikan ibadah.
Secara umum, pembagian air dalam bab thaharah terbagi menjadi dua bagian, yaitu air suci dan najis. Air suci adalah air yang tidak terkena najis, dan tidak mengalami perubahan; baik sifat, warna, dan baunya. Sedangkan air najis adalah air kurang dua qullah yang terkena najis, atau lebih dari dua qullah yang berubah sifat, warna, dan baunya disebabkan najis.
Namun secara terperinci, air suci masih terklasifikasi menjadi beberapa bagian, di antaranya:
- air mutlak, yaitu air suci dan menyucikan, serta tidak makruh digunakan;
- air musyammas (air yang terpanaskan), yaitu air suci dan menyucikan namun makruh digunakan; dan
- air musta’mal, yaitu air suci namun tidak menyucikan. (Ibnu Qasim, Fathul Qaribil Mujib, [Beirut, Dar Ibnu Hazm: 2005], halaman 25).
Dalam hal ini, orang yang hendak bersuci, baik wudhu dan mandi besar atau menyucikan suatu benda dari najis, harus menggunakan air mutlak. Bisa juga menggunakan air musyammas, hanya saja hukumnya makruh, bahkan haram jika sangat panas dan berdampak bahaya pada anggota badan. Sedangkan air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Nah, dalam hal ini penulis akan menjelaskan rahasia kenapa air musta’mal tidak bisa digunakan untuk bersuci.
Rahasia Air Musta’mal Tidak Bisa Menyucikan
Air musta’mal adalah air yang sudah digunakan untuk menghilangkan hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar. Karenanya, air bekas wudhu dan mandi besar disebut sebagai air musta’mal karena keduanya sudah digunakan untuk menghilangkan hadats.
Imam An-Nawawi (wafat 676 H) dalam salah satu karyanya mengatakan bahwa alasan di balik tidak sahnya menggunakan air musta’mal untuk bersuci adalah ta’abbudi. Hanya saja, ia juga menyebutkan bahwa di dalam air musta’mal terdapat bekas-bekas najis ma’nawi (tidak terlihat):
أن أهل البصائر من أهل الله قد كشف لهم عن سر ذلك وروأو أثار النجاسة المعنوية في الماء المستعمل. كان أبو حنيفة من أهل هذا الميدان، ولذا حكم بنجاسة الماء المستعمل
Artinya, “Sungguh ahlul bashair (orang yang bisa melihat hal-hal yang samar), dari golongan orang yang dekat kepada Allah telah dibukakan kepada mereka rahasia air musta’mal, dan mereka melihat bekas-bekas najis yang tidak kasat mata dalam air musta’mal. Imam Abu Hanifah termasuk dalam golongan ini (ahlul bashair). Karenanya ia menghukumi najis pada air musta’mal.”
Imam Abu Hanifah ketika melihat orang-orang yang sedang wudhu, ia melihat bekas air yang sudah digunakan bersuci berubah menjadi air busuk dan kotor. Ia tidak bening sebagaimana sebelum digunakan untuk bersuci. (An-Nawawi, Fatawal Imam An-Nawawi Al-Musamma Al-Masail Al-Mantsurah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2000], halaman 10).
Imam Abdul Wahab asy-Sya’rani dalam kitabnya mengatakan bahwa tujuan bersuci adalah untuk membersihkan badan. Maka tidak masuk akal jika membersihkan badan menggunakan air yang sudah rusak dan busuk (musta’mal).
لطَّهَارَةُ مَا شُرِعَتْ اِلَّا لِتَزَيُّدِ أَعْضَاءِ الْعَبْدِ نَظَافَةً وَحُسْنًا ظَاهِرًا وَبَاطِنًا، وَالْمَاءُ الَّذِيْ خَرَّتْ فِيْهِ الْخَطَايَا لَا يَزِيْدُ الْأَعْضَاءَ اِلَّا تَقْذِيْرًا تَبْعًا لِتلْكَ الْخَطَايَا اَلَّتِي خَرَّتْ فِي الْمَاءِ
Artinya, “Bersuci tidak disyariatkan kecuali untuk menambah bersih dan baiknya anggota badan seorang hamba, baik secara lahir maupun batin. Sedangkan air yang sudah bercampur dengan kesalahan-kesalahan di dalamnya, tidak bisa menambah kecuali semakin kotor, karena mengikuti campuran kotoran-kotoran yang di dalam air.” (Asy-Sya’rani, Al-Mizanul Kubra As-Sya’raniyah, [Beirut, Darul Kutub Ilmiah: 2005], juz I, halaman 130).
Lebih lanjut Imam asy-Sya’rani mengatakan bahwa seandainya semua itu ditampakkan kepada semua orang, sudah tentu mereka tidak akan bersuci menggunakan air musta’mal sebab kotor dan busuknya air yang sudah bercampur dengan dosa-dosa menusia.
Penjelasan di atas seirama dengan apa yang sudah disampaikan oleh Rasulullah saw beberapa abad yang lalu, bahwa orang yang menyempurnakan wudhunya, maka akan keluar semua dosa-dosa dari badannya:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ خَرَجَتْ خَطَايَاهُ مِنْ جَسَدِهِ
Artinya, “Barangsiapa yang berwudhu kemudian menyempurnakannya, maka keluarlah dosa-dosa dari jasadnya.”(HR Muslim).
Demikian penjelasan perihal rahasia-rahasia di balik alasan tidak sah menggunakan air musta’mal sebagai alat bersuci. Wallahu a’lam.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://islam.nu.or.id/hikmah/rahasia-air-musta-mal-tidak-sah-digunakan-bersuci-XcoR5