Rais PBNU Kisahkan Pengalaman Belajar di Mesir

Semarang, NU Online Jateng
Rais Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) membagikan pengalaman kuliah di Universitas Al-Azhar Mesir dalam Halal Bihalal Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang di Auditorium Prof Ahmad Ludjito, Kamis (4/5/2023).
 

“Universitas Al-Azhar Cairo, Mesir baru menjadi universitas pada tahun 1962, sedangkan UIN Walisongo berdiri 1970. Hanya terpaut beberapa (tahun) itu,” ujarnya. 

Disampaikan, sebelum Al-Azhar menjadi universitas, dalam mengaji menggunakan sanad. Karena syarat untuk menjadi guru itu harus ada sanadnya, jadi sangat personal. Yang memiliki sanad Fathul Qarib misalnya, maka mengajarnya Fathul Qarib. Tidak semua orang dikasih sanad. Harus melalui ujian terlebih dahulu. 

“Di Al-Azhar bisa dianggap pintar dalam bidang tertentu jika sudah dikasih sanad. Berdasarkan sanad itu bisa mengajar. Ada syekhnya yang memberi tanda tangan sanad itu,” terangnya. 

Dikatakan, ketika menjadi universitas, pimpinan Al-Azhar itu selain rektor di atasnya masih ada Syekhul Azhar yang menjadi spirit terhadap pendidikan Islam. “Jadi kalau ke sana (Al-Azhar) itu kiainya siapa? ya Syekhul Azhar itulah kiainya,” ucapnya. 

Ditambahkan, kalau sudah menjadi Syekhul Azhar pakaiannya khusus. Tidak boleh memakai pakaian biasa. “Di sana kalau dosen-dosen itu pakai jaz, pakai dasi, banyak yang tidak pakai kopiah, orang modern. Tapi kalau sudah jadi Syekhul Azhar itu kopiahnya, bajunya harus resmi seorang syekh,” katanya. 

Syekhul Azhar lanjutnya, pernah dihadiahi kopiah hitam, kopiah orang Indonesia. Banyak orang Mesir yang senang dengan kopiah Indonesia. Saat dihadiahi kopiah, Syekhul Azhar mengatakan, “Saya senang dengan kopiah ini, tapi maaf saya tidak bisa memakainya. Karena selama menjabat sebagai Syekhul Azhar maka ini adalah baju (resmi) saya,” terangnya. 

Sementara julukan Syekhul Azhar, kata Gus Ghofur adalah Al-Imamul Akbar. Kalau sudah diangkat tidak boleh dicopot karena itu jabatan paling tinggi, seumur hidup. Walaupun belakangan ada usianya karena mengikuti alam modern.

Dijelaskan, di antara tujuan utama menjadi Syekhul Azhar ini adalah dia menjaga tradisi keagamaan. “Sekolah ini tidak sekadar soal ilmiah, tapi sekolah ini adalah pendidikan kader para ulama, para kiai. Itu yang masih dijaga oleh keberadaan Syekhul Azhar,” jelasnya. 

Menurut Gus Ghofur, yang paling berpengaruh pada pendidikan santri-santrinya Kanjeng Nabi, tentu dari keteladanan. “Imam Ahmad yang ikut ngaji seribu, tidak pakai microphone. Konon yang mencatat hanya 100 sampai 150-an, selebihnya tidak bawa pulpen dan buku, pokoknya datang saja,” katanya. 

Dia melanjutkan, kalau yang ngaji seribu, datang tapi tidak mendengar itu belajarnya, belajar apa? Kalau ditanya saat pulang kamu belajar mendapat apa? Tentu tidak dapat apa-apa.

“Tapi kalau ditanya Imam Ahmad duduknya seperti apa, ia tahu. Kalau ditanya Imam Ahmad caranya berjabat tangan dengan santri-santrinya itu bagaimana, ia tahu. Berarti orang yang ngaji lebih banyak mendapatkan adabnya dari pada ilmunya. Dan itu yang sangat berpengaruh,” ungkapnya.

Rektor UIN Walisongo Prof KH Imam Taufiq menjelaskan, acara halal bihalal diisi saling memaafkan dan berkomitmen ke depan menjadi lebih baik.

“Atas nama UIN Walisongo, saya mengucapkan terima kasih setinggi dan setulus tulusnya kepada bapak ibu semuanya yang hadir di tempat ini. Menyediakan waktunya di tengah kesibukan masing-masing,” pungkasnya. 

Pengirim: Siswanto AR


https://jateng.nu.or.id/nasional/rais-pbnu-kisahkan-pengalaman-belajar-di-mesir-CzaKn

Author: Zant