Resesi seksual melanda Jepang dan Korea Selatan. Resesi seksual juga mengancam Negara Asia Tenggara lainnya. Adapun resesi seksual mengacu pada penurunan aktivitas seksual dan rendahnya minat masyarakat pada perkawinan dan keinginan untuk memiliki keturunan.
Banyak faktor mempengaruhi fenomena gejala resesi seksual seperti tingkat kesibukan masyarakat urban dan tuntutan beban hidup secara ekonomi yang semakin tinggi. Fenomena resesi seksual berpengaruh pada rendahnya catatan perkawinan dan angka kelahiran pada sebuah negara.
Lalu bagaimana pandangan Islam terkait pilihan untuk hidup tanpa perkawinan?
Sebelum kearah yang lebih jauh, kita harus kembali pada hukum asal perkawinan. Pada kesempatan ini, kami mengutip hukum asal perkawinan dalam Mazhab As-Syafi‘i dalam Kitab I’anatut Thalibin sebagai berikut:
قوله (سن الخ) ذكر له أربعة أحكام السنية لتائق قادر على المؤن وخلاف الأولى لتائق غير قادر عليها والكراهة لغير قادر وغير تائق والوجوب لناذر له حيث ندب في حقه وبقي الحرمة وهي في حق من لم يقم بحقوق الزوجية
Artinya: “Redaksi (perkawinan disunnahkan) menyebutkan empat hukum perkawinan, yaitu sunnah bagi orang yang berhasrat seksual dan mampu secara pembiayaan, sedangkan khilaful aula bagi orang yang berhasrat seksual dan tidak mampu secara pembiayaan, lalu makruh perkawinan bagi orang yang yang tidak mampu dan tidak berhasrat seksual, wajib perkawinan bagi orang yang bernazar untuk kawin yang hukum asalnya dianjurkan baginya. Sisanya adalah keharaman perkawinan bagi orang yang tidak dapat melaksanakan kewajiban perkawinan,” (Sayyid Bakri, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2005 M/1425-1426 H], juz III, halaman 297).
Pilihan untuk hidup sendiri tanpa perkawinan atau hidup membujang disebut at-tabttul/tarkut tazawwuj. Pada dasarnya, pilihan untuk hidup sendiri tanpa perkawinan atau hidup membujang dilaknat dalam agama Islam.
Tanpa alasan yang jelas, at-tabttul/tarkut tazawwuj dinilai sebagai dosa besar karena perkawinan dianjurkan dalam Islam sebagaimana kondisinya. Tetapi jika disertai dengan alasan yang jelas seperti kemampuan ekonomi atau kemampuan menjalankan kewajiban perkawinan, at-tabttul/tarkut tazawwuj juga tidak masalah karena perkawinan bukan kewajiban kecuali bagi orang yang bernazar. (Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir an Iqtirafil Kaba’ir, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2003 M/1424 H], juz II, halaman 3).
Imam Al-Ghazali mengutip sejumlah hadits dhaif perihal keutamaan pilihan untuk hidup sendiri tanpa perkawinan atau hidup membujang dengan pertimbangan kemampuan ekonomi.
فقد قال صلى الله عليه و سلم خَيْرُ النَّاسِ بَعْدَ المِائَتَيْنِ الخَفِيْفُ الحَاذُ الَّذِي لَا أَهْلَ لَهُ وَلَا وَلَدَ
Artinya: “Rasulullah saw bersabda, ‘Sebaik-baik manusia setelah 200 tahun adalah orang yang ringan (beban) punggungnya, yaitu orang yang tidak memiliki keluarga dan anak,’” (HR Abu Ya’la dan Al-Khattabi).
Imam Al-Ghazali juga mengutip hadits nabi yang menceritakan rumah tangga miskin yang kemudian terpaksa menghalalkan segala cara untuk mendapatkan target ekonominya karena hinaan keluarganya sendiri:
وقال صلى الله عليه و سلم يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَكُوْنُ هَلَاكُ الرَّجُلِ على يَدِ زَوْجَتِهِ وَأَبَوَيْهِ ووَلَدِهِ يُعَيِّرُوْنَهُ بِالفَقْرِ وَيُكَلِّفُوْنَهُ مَا لَا يُطِيْقُ فَيَدْخُلُ المَدَاخِلَ التي يَذْهَبُ فِيْهَا دِيْنُهُ فَيَهْلِكُ
Artinya: “Rasulullah saw bersabda, ‘Suatu zaman akan terjadi pada sejarah manusia di mana seorang akan binasa di tangan istri, kedua orang tua, dan anaknya sendiri. Mereka menghinanya karena miskin dan membebaninya dengan sebuah target yang tidak ia sanggupi lalu terpaksa ia menempuh jalan-jalan di mana ia menanggalkan ajaran-ajaran agamanya sehingga ia menjadi binasa,’” (HR Al-Khattabi dan Al-Baihaki).
Imam Al-Ghazali juga mengutip sebuah hadits yang menyebutkan sedikit anak sebagai pangkal kesejahteraan dan banyak anak sebagai pangkal dari kemiskinan.
وفي الخبر قِلَّةُ العِيَالِ أَحَدُ اليَسَارَيْنِ وَكَثْرَتُهُمْ أَحَدُ الفَقْرَيْنِ
Artinya: “Pada sebuah hadits disebutkan, ‘Sedikit anggota keluarga (anak) merupakan setengah dari kemudahan. Sedangkan banyak anggota keluarga (anak) merupakan setengah dari kefakiran,’” (HR Al-Qudhai dan Ad-Dailami).
Imam Al-Ghazali sebagaimana pandangan ulama pada umumnya menyimpulkan bahwa pilihan untuk hidup sendiri tanpa perkawinan atau hidup membujang pada dasarnya bukan pilihan mutlak dalam Islam. Pilihan itu mesti diikuti dengan syarat dan alasan lain yang menyertainya.
وبالجملة لم ينقل عن أحد الترغيب عن النكاح مطلقا إلا مقرونا بشرط وأما الترغيب في النكاح فقد ورد مطلقا ومقرونا بشرط
Artinya, “Secara umum tidak ada satu pun riwayat perihal anjuran untuk tidak terjadap perkawinan secara mutlak kecuali disertai dengan syarat. Adapun anjuran terhadap perkawinan diriwayatkan secara mutlak dan disertai syarat,” (Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz II, halaman 27-28).
Dari berbagai keterangan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa perkawinan bukan sesuatu yang wajib. Sedangkan penolakan atau keengganan pada perkawinan dapat diterima secara syar’i dengan syarat atau alasan tertentu seperti ketidakmampuan secara ekonomi dan ketidakmampuan melaksanakan kewajiban dalam perkawinan (misal memperlakukan anggota keluarga dengan ramah tanpa kekerasan, menjaga silaturahmi dengan keluarga besar). Wallahu a’lam. (Alhafiz Kurniawan)
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.