Tidak lama lagi tiba tanggal 25 Desember. Saat kaum Nasrani merayakan Hari Natal. Sebagian kecil umat Islam ada yang rutin meributkan ucapan “Selamat Hari Natal”.
Hidup bersama secara damai dan mencapai kemaslahatan umum dalam urusan duniawi sudah seharusnya dikerjasamakan antara umat Islam dan non muslim, seperti umat Nasrani. Sedangkan perbedaan yang sulit dicarikan titik temunya melalui dialog yang beradab, seperti masalah keyakinan di antara keduanya cukuplah dengan menempuh jalur toleransi (tasamuh), saling menyepakati untuk tidak sepakat, dan tidak memaksakan keyakinannya kepada orang lain yang tidak mau meyakininya. Tidak ada paksaan dalam agama.
Jelaslah bahwa saling curiga, saling menyalahkan karena klaim-klaim kebenaran dari orang yang berbeda agama yang saling memaksakan kehendak, saling bermusuhan karenanya dan apalagi saling menumpahkan darah atas nama agama adalah bertentangan dengan spirit dan ajaran semua agama. Selain itu, beragama yang tidak bijaksana pastilah menciptakan situasi tidak harmonis, mengganggu keamanan dan merusak ketenteraman hidup bersama sebagai bangsa yang sama, sama sebagai manusia, sebagai makhluk Tuhan dan sama-sama membutuhkan pengakuan dan penghormatan.
Khusus bagi umat Islam, terutama para cerdik cendekianya, para ulama mereka telah mengetahui bahwa hukum mengucapkan “Selamat Hari Natal” kepada mereka, kaum Nasrani, yang merayakannya adalah persoalan ijtihadiyah atau persoalan yang di dalamnya terbuka bagi penafsiran atau bahkan situasional sehingga ada ulama yang melarangnya dengan menghukumi haram, ada yang menghukumi makruh (tidak disukai/lebih baik dihindari) dan ada pula yang membolehkannya. Sebagaimana tiga riwayat dalam madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal.
Dengan meneliti kitab-kitab fikih klasik terdahulu relatif mudah dijumpai pendapat ulama ahli fikih yang mengharamkan mengucapkan selamat hari natal, sangat mungkin karena pendapat itu ditulis dalam suatu suasana tidak damai (konflik, saling permusuhan, atau peperangan) antara umat Islam dan kaum Nasrani. Berbagai diktum hukum dalam kitab-kitab fikih klasik itu seringkali tidak terbebas dari situasi dan justru menggambarkan dialektika pada zamannya. Dapat disebutkan di sini yang mengharamkannya seperti Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah dan murid utamanya, Ibn Qayyim al-Jauziyyah.
Namun saat setiap orang beragama, meskipun berbeda agama, telah hidup bersama dalam suasana damai maka banyak sekali ulama yang bukan hanya membolehkan mengucapkan selamat hari natal, bahkan menganjurkan kepada umat Islam untuk mengucapkannya. Dapat disebutkan di antaranya al-Syaikh Wahbah al-Zuhaili, al-Syahid al-Syaikh Sa’id Ramadlan al-Buthi, al-Syaikh ‘Ali Jum’ah, al-Syaikh ‘Abd Allah bin al-Syaikh al-Mahfudz bin Bayyah, dan lain-lain.
Al-Qur’an al-Karim, sebagai kitab suci umat Islam, telah memberikan aturan, batasan dan pedoman yang jelas tentang bagaimana seharusnya berinteraksi dengan non muslim yang berdamai dengan umat Islam, yaitu dalam Qs. al-Mumtahanah ayat 8 yang artinya sebagai berikut:
“Allah tidak melarang kamu (menjalin hubungan baik) dengan orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negeri kamu, (dan Allah juga tidak melarang kamu) berbuat baik kepada mereka dan berlaku adil kepada mereka. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Selain itu, Rasulullah SAW. juga menganjurkan umatnya untuk bersikap lemah lembut kepada non muslim (yang bukan harbiy) dan mengingatkan agar tidak berlaku kasar dan keras kepada mereka. Maka tidakkah pantas bagi seorang muslim memiliki budi pekerti (akhlak) yang buruk dan lebih rendah kualitasnya dari non muslim, karena keimanan paling sempurna itu hanya bisa dibuktikan dengan akhlak yang terbaik, sedangkan Nabi Muhammad SAW. telah memberikan keteladanan terbaiknya dan beliau diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak. Beliau bahkan tetap bersikap baik sepanjang periode Makkah kepada kaum musyrik Quraisy padahal mereka menyakiti hatinya.
Jadi, tidak ada larangan bagi individu umat Islam untuk mengucapkan “Selamat Hari Natal” baik dengan lisannya atau tulisannya tanpa diiringi dengan simbol-simbol agama mereka yang berseberangan dengan akidah Islam. Mengucapkannya kepada mereka yang merayakannya karena menjaga sopan santun dalam interaksi sosial, kekerabatan, bisnis dsn pergaulan yang sebaik-baiknya tidaklah otomatis menjadikan pengucapnya murtad, keluar dari Islam, dan menjadi Nasrani, sama sekali tidak. Dalam konteks hidup bersama sebagai bangsa Indonesia yang bersatu maka saling mengucapkan selamat atas hari raya agama dari orang berbeda agama lebih mempererat rasa persaudaraan dan berpotensi mengokohkan rasa nasionalisme.
Adapun memeringati hari-hari yang bersifat kebangsaan dan sosial, seperti hari kemerdekaan, hari anak, hari santri atau hari ibu dan sebagainya sepanjang diisi dengan kegiatan yang bermanfaat dan sejalan dengan ajaran Islam, maka umat Islam boleh dan dianjurkan untuk mengadakan perayaannya sebagai bagian dari anak bangsa yang berdiam dan menetap di negara yang dicintainya.
KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU masa khidmah 2010-2015 dan 2015-2021.