Oleh Udin Sahrudin
Jika ada seorang nelayan menceritakan pengalamannya selama melaut, seperti tentang keindahan lautan, deburan gelombang ombak, jenis ikan yang ada di lautan itu, dan hal lainnya, tentu kita akan berdecak kagum dan terpukau, namun selengkap dan sedetail apapun yang diceritakannya tidak akan bisa menggambarkan segala hal yang ada di lautan itu.
Demikian halnya jika ada seorang santri menyampaikan testimoni terkait Kiainya, tentu saja apa yang disampaikannya tidak akan mampu menggambarkan Kiainya secara utuh.
Sosok Kiai di mata para santrinya bukan hanya seorang guru yang hanya bertugas menyampaikan ilmunya saja, melainkan ia adalah manusia luhur yang dalam segala tindakannya mengandung berbagai hikmah dan pelajaran bagi para santrinya. Kiai laksana lautan yang bukan hanya sekedar sekumpulan air asin dan deburan ombak saja, melainkan ada banyak hal yang terkandung di dalamnya.
Saya hanyalah santri bangor dari ribuan santri Cipasung yang sejak usia sepuluh tahun (kelas IV MI) mondok di pesantren Cipasung. Pada tahun 1984 saya disuruh orang tua meninggalkan kampung halaman di Subang mengikuti jejak kedua kakak saya H. Ade Mashudi dan Odah Aliyah untuk ikut mondok di pesantren ini.
Setelah kurang lebih sebelas tahun saya mondok, pada tahun 1995 saya keluar dari pondok ini atas “perintah” dari Kiai Abun, lalu pindah ke Kabupaten Garut dan melanjutkan kuliah tingat dua di Institut Agama Islam Al-Musyaddadiyah. Namun demikian, meskipun sudah keluar dari pondok, saya selalu menyempatkan diri berkunjung ke Cipasung yang sudah seperti kampung halaman sendiri.
Berkah dari rasa tega orang tua itu, Alhamdulillah saya bisa mengenal lebih banyak keluarga besar pondok pesantren dan ngalap berkah para kiai sejak kecil sampai sekarang. Sejak saat itulah saya mengenal sosok Kiai Abun.
Pada saat saya masuk pesantren, pimpinan pondok pesantren saat itu adalah KH. Ilyas Ruhiat Allah yarham, namun hal-hal yang bersifat teknis seperti kegiatan sehari-hari para santri serta pengelolaan sarana dan prasarana diserahkan kepada KH. A. Bunyamin Ruhiat Allah yarham.
Pada tahun 1984, asrama putra baru ada tiga asrama, yaitu asrama Pusaka, asrama Selamet, dan asrama Mesjid dengan memanfaatkan lantai dua sebagai tempat para santri, serta beberapa kamar yang menyatu dengan rumah Kia Abun yang ditempati santri putra (inilah embrio asrama Assa’adah yang saat ini menjadi Al-Uswah).
Sedangkan asrama putri terdiri dari asrama Raudlatul Banat (terdiri dari Kamar Maju Barat/RB I dan Kamar Maju Timur/RB II), asrama Istiqamah, dan asrama Esa.
Anda jangan membayangkan asrama-asarma saat itu seperti yang terlihat sekarang ini. Meskipun asrama-asaram itu sudah bertingkat, namun lantai duanya masih dari papan kayu yang seringkali jadi tempat ngumpetnya tumbila-tumbila nakal.
Seiring bertambahnya para santri yang berakibat pada kebutuhan peningkatan sarana prasana, pondok pesantren Cipasung terus melakukan pembenahan di berbagai bidang. Banyaknya jumlah sarana prasana berupa gedung-gedung asrama, masjid yang megah, serta gedung-gedung lembaga formal sebagaimana terlihat sekarang ini, tidak terlepas dari kepaiawain dan tangan dingin Kiai Abun, tentu atas restu para Kiai dan keluarga besar pondok pesantren Cipasung lainnya.
Lalu bagaimana dengan kedalaman dan keahlian beliau dalam ilmu agama?, tentu saja sebagai Kiai besar dan anak dari seorang Kiai besar pula, kedalaman pengetahuan ilmu agama Kia Abun tidak diragukan lagi. Berbagai fan ilmu beliau kuasai, mulai dari ilmu nahwu, sharaf, balaghah, fiqh, ushul fiqh, tafsir, dan ilmu tashawuf.
Sekedar menyajikan contoh saja tentang hal di atas dan tahadust bini’mah, beberapa kitab yang sempat saya ngaji secara langsung dari beliau antara lain: Ilmu nahwu dan sharaf: Kitab Jurumiah, Mutamimah, Alfiyah, Nadham Maqshud (pasaran bulan Ramadlan); Ushul fiqh: Waraqat, Lathaiful Isyarah, Al Luma’, Ghayatul Wushul, dan Jam’ul jawami (ngaji kemisan); Tafsir: Tafsir Jalalain, Tafsir Ahkam (ngaji kemisan); Akhlaq dan Tashawuf: Ta’lim Muta’alim, Ihya Ulumuddin (ngaji kemisan).
Dengan menyajikan hal di atas, tentu bukan berarti saya memahami secara mendalam kitab-kitab tersebut, melainkan hanya ingin memberikan gambaran bagaimana keahlian dan kedalaman ilmu agama Kiai Abun.
Hal menarik lainnya adalah kepiawaian beliau dalam penyampaian materi saat mengaji kitab dengan metode ngalogat (memaknai kitab secara harfiah, kata demi kata). Sangat teliti dan runut, sehingga memudahkan para santri dalam memahami materi yang beliau sampaikan. Kepiawaian beliau ini bukan hanya diakui oleh para santri, melainkan oleh para kiai yang ikut ngaji mingguan setia hari Kamis dibuatnya berdecak kagum. Para santri sering nyeletuk:
“Ngaji ku Bapak mah keur ngalogat kénéh ogé geus kaharti, komo mun geus diterangkeun” (Ngaji oleh Bapak itu masih ngelogat saja sudah ngerti, apalagi kalau sudah diterangkan).
Sampai pada titik ini, saya ingin menyampaikan bahwa beliau adalah sosok kiai yang multi talent.
Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya
https://jabar.nu.or.id/ngalogat/sepercik-air-hikmah-dari-lautan-bernama-kiai-abun-1PVj1