Solusi Bayar Utang kepada Orang yang Terlupakan

Assalamu’alaikum wr wb. Mohon bertanya, bagaimana hukum berutang tapi ketika mau bayar kita lupa kepada siapa saja kita berutang? – (Hamba Allah).
 

Jawaban

Masalah utang-piutang adalah masalah hak adami yang memang harus diselesaikan segera sebelum nanti kita dituntut di hadapan Allah pada hari kiamat. Rasulullah saw bersabda:
 

مَنْ كَانَتْ عِندَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ، مِنْ عِرْضِهِ أو مِنْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليومَ قَبْلَ أَن لا يَكُونَ دِينَارٌ ولا دِرْهَمٌ؛ إِنْ كَانَ له عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِن لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أَخَذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
 

Artinya, “Siapa saja yang pernah melakukan suatu kezaliman terhadap saudaranya, baik itu harga diri ataupun ‎perkara lain, maka hendaklah ia meminta untuk dihalalkan pada saat ini sebelum datang hari yang mana dinar dan ‎dirham sudah tidak berlaku.
 

Jika dia ‎memiliki amal saleh maka akan diambil dari pahala amalan salehnya sebanyak kezalimannya, dan ‎jika ia tidak memiliki kebaikan, maka akan diambil dosa orang yang dizaliminya kemudian dibebankan kepadanya.“ (HR Al-Bukhari).
 

Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita meminta halal ketika kita tidak tau kepada siapa kita berutang?
 

Untuk hal ini perlu kiranya kita menyimak penjelasan Imam Al-Ghazali terkait tobat dari hak adami berupa harta benda yang ada di kitab Minhajul ‘Abidin dengan penjelasan Syarhnya, kitab Sirajut Thalibin karya ulama Nusantara Syekh Ihasan Jampes. Imam Ghazali berkata
 

فما كان في المال فيجب عليك أن ترده عليه إن أمكنك
 

Artinya, “Adapun dosa yang berkaitan dengan harta, maka engkau harus mengembalikannya kepada pemiliknya jika mungkin dilakukan.” (Ihsan Muhammad Dahlan Jampes, Sirajut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr, tanpa tahun], halaman 161).
 

Yang dimaksud dengan dosa berkaitan dengan harta tersebut menurut Syekh Ihsan mencakup mengambil harta orang dengan tanpa hak atau yang dikenal dengan istilah ghashab (termasuk pula tidak membayar utang), mengkhianati seseorang, mengambil keuntungan dengan cara menipu, menutupi aib ketika menjual barang, atau mengurangi upah seseorang dari yang seharusnya.
 

Hak adami berupa harta akibat beberapa praktek tersebut wajib dikembalikan kepada pemilikinya. 
 

Lalu bagaimana jika tidak mungkin dilakukan?
 

Imam Al-Ghazali melanjutkan:
 

فإن عجزت عن ذلك لعدم وفقر فتستحل منه فإن عجزت عن ذلك لغيبة الرجل أو موته وأمكن التصدق عنه فافعل
 

Artinya, “Jika engkatu tidak sanggup mengembalikan karena ketiadaan harta tersebut dan karena fakir tidak memiliki penggantinya, maka harus kamu meminta kerelaannya pada yang bersangkutan. Jika hal tersebut masih tidak sanggup kamu lakukan karena yang bersangkutan tidak diketahui keberadaannya atau karena dia sudah wafat, maka sedekahlah untuk yang bersangkutan jika mungkin.” (Ihsan,161).
 

Menurut Syekh Ihsan Jampes sedekah tersebut diniati mengganti harta yang menjadi tanggungan hak adami dari pemiliknya. Jadi bukan sedekah atas nama dirinya sendiri. Lebih lanjut Ibnul Qayyim menjelaskan, mengapa perlu sedekah atas nama pemiliknya dengan mengatakan:
 

فَإِنْ تَعَذَّرَ ذَلِكَ، تَصَدَّقَ بِهِ عَنْهُ، فَإِنِ اخْتَارَ صَاحِبُ الْحَقِّ ثَوَابَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، كَانَ لَهُ. وَإِنْ أَبَى إِلَّا أَنْ يَأْخُذَ مِنْ ‌حَسَنَاتِ ‌الْقَابِضِ، اسْتَوْفَى مِنْهُ نَظِيرَ مَالِهِ، وَكَانَ ثَوَابُ الصَّدَقَةِ لِلْمُتَصَدِّقِ بِهَا، كَمَا ثَبَتَ عَنِ الصَّحَابَةِ رضي الله عنهم
 

Artinya, “Jika kamu kesulitan mengembalikan harta tersebut, maka sedekahlah atas nama pemiliknya.
 

Jika kelak di hari kiamat memilih pahala sedekah tersebut, maka sedekah yang kamu lakukan atasnya pahalanya menjadi miliknya. Jika dia menolak dan menuntut pahala kebaikanmu yang mengambil hartanya, maka pahala sedekah tersebut akan mencukupi sebagai pengganti tuntutan hartanya dan pahal sedekah tersebut adalah milikmu yang telah bersedekah.
 

Hal ini sebagaimana yang tetap dari para sahabat Nabi”. (Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, Zadul Ma’ad, [Beirut, Mu’assasah Al-Risalah: 1996), jilid V, halaamn 690).
 

Jika hal di atas masih tidak mungkin dilakukan, maka solusi terakhir dari Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut:
 

وإن لم يمكن فعليك بتكثير حسناتك والرجوع إلى الله بالتضرع والابتهال أن يرضيه عنك يوم القيامة
 

Artinya, “Kalau itu pun tidak mungkin dilakukan, maka perbanyaklah berbuat baik dan memohonlah kepada Allah dengan kerendahan dan sepenuh hati agar di hari Kiamat kelak yang bersangkutan merelakan haknya yang ada padamu”. (Ihsan,161).
 

Syekh Ihsan Jampes mempertegas maksud dari Imam Al-Ghazali:
 

حتى تفيض عنك وتوضع في موازين ارباب المظالم … ولتكن كثرة حسناتك بقدر مظالمك
 

Artinya, “Perbanyaklah kebaikan sampai kebaikan tersebut meluap melebihi untuk diletakkan di timbangan para penuntut yang hartanya ada pada dirimu. Hendaklah kebaikanmu tersebut sebanyak dan sebanding dengan kezhalimanmu.” (Ihsan,161).
 

Dari penjelas di atas dapat disimpulkan bahwa hak adami yang berkaitan dengan harta adalah hal yang sangat berat tuntutannya kelak di hari kiamat. Karena itu, kita harus berusaha untuk mencari tahu dan mengingat kepada siapa saja kita berutang.

Itulah kenapa dalam surat Al-Baqarah ayat 282 Allah memerintahkan kita untuk selalu mencatat transaksi utang-piutang. 
 

Jika masih belum ketemu namun kita mengetahui nominal utangnya, maka kita dapat bersedekah sejumlah nominal tersebut atas nama pemberi utang. Jika ternyata kita tidak mampu karena kondisi keuangan kita yang tidak mencukupi, maka minimal memperbanyak kebaikan sekiranya kelak cukup untuk menutupi tuntutan pemberi utang. Wallahu a’lam.
 

 

Ustadz Abdul Wahid Al-Faizin, Dosen Fiqh Mu’amalah STAI Sidogiri

https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/solusi-bayar-utang-kepada-orang-yang-terlupakan-Pk7vH

Author: Zant