Trenggalek, NU Online Jatim
Tidak sedikit para ulama yang ikut berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan 17 Agustus 1945. Salah satunya adalah Kiai Abdul Mu’in asal Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek yang ikut berjuang dan menjadi Komandan Pasukan Sabilillah Trenggalek.
Anak kandung sekaligus Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Babul Ulum, Durenan, KH Abdul Fattah Mu’in menjelaskan ayahnya saat menjadi Komandan Pasukan Sabilillah (tentara pada zaman dulu) di Ponpes milik keluarganya digunakan sebagai markas.
“Akhirnya tercium oleh Belanda tahun 1948 kalau di sini dijadikan markas, tapi tahunya di sini masjid dan pondok,” ujarnya, Senin (14/08/2023).
Kiai Fattah mengatakan, saat berlangsungnya kontak fisik peperangan antara pribumi dengan penjajah mengetahui lokasi pondok digunakan markas, lantas dijatuhkan bom di wilayah pondok. Akan tetapi, bom tersebut tidak mengenai sasaran yang diharapkan oleh penjajah.
“Bom malah mengenai selatan jalan, gudangnya orang Tionghoa Ban Li, sehingga hancur,” terangnya.
Kendati seorang komandan Pasukan Sabilillah, Kiai Mu’in yang bersambung hingga ke Mbah Yahuda dengan nama asli Dipokerto yang merupakan guru dari Pangeran Diponegoro ini tak mau diangkat menjadi veteran dengan alasan benar-benar berjuang tanpa pamrih mendapatkan imbalan.
Alumni Ponpes Lirboyo Kediri 1960-an ini mengaku, ayahnya sosok yang tangguh dan tulus serta benar-benar pejuang di medan perang. Termasuk menggembleng para santri dan warga sekitar sebagai pasukan tidak takut mati untuk mempertahankan kemerdekaan.
“Beliau memang pejuang, tapi enggan dijadikan veteran. Intinya berjuang lillahi ta’ala, tidak mengharapkan imbalan di dunia,” bebernya.
Ketika ditugaskan ke Surabaya sebelum 10 November 1945 meletus, Kiai Mu’in juga bertemu Komandan Pasukan Sabilillah dari Kediri, yaitu ulama kharismatik KH Mahrus Aly yang merupakan Pengasuh Ponpes Lirboyo. Dari pertemuan itulah, kedua ulama ini terjalin komunikasi yang erat.
Tak hanya itu, Kiai Mu’in juga menentang keras praktik Romusha yang terjadi sebelum kemerdekaan. Pihaknya menolak santri-santri dan warga sekitar menjadi pekerja paksa oleh pemerintah pendudukan Jepang dalam mengerjakan proyek infrastruktur, seperti membangun jalan dan lain sebagainya.
Penolakan itu langsung diutarakan kepada pejabat wilayah kecamatan setempat. Kiai Mu’in mengecam pemerintahan yang menjadi kaki tangan penjajah lantaran mengeksploitasi warga pribumi untuk diperas tenaga tidak manusiawi.