Salatiga, NU Online Jateng
Pengasuh Pesantren Darul Hadlanah Salatiga, Jawa Tengah, Tabrani Tajuddin mengatakan pentingnya tindakan pencegahan kekerasan, baik fisik maupun mental, dan perundungan antarsantri di pesantren.
Ia mengaku punya strategi khusus untuk mencegah dan mengatasi kekerasan yang terjdi di pesantren.
Di pesantren yang diasuhnya itu sudah dibuat prosedur operasional standar (SOP) yang berpihak pada pola asuh santri. Salah satunya dengan dibuat jadwal belajar, hiburan, dan ruang konseling. Di ruang konseling ini, santri dapat menyampaikan berbagai masalah yang sedang dihadapinya.
“Dengan pola ini, para pengasuh mampu membangun kedekatan kepada anak dengan penuh perhatian dan kasih sayang,” ujar Tabrani kepada NU Online, pada Rabu (30/10/2024).
Ia kemudian melakukan identifikasi dengan mengarahkan santri dan pengurus untuk melaporkan masalah yang mengarah pada kekerasan sehingga bisa dicegah sedini mungkin.
“Juga membatasi akses anak terkait dengan pergaulan yang tidak diperlukan dengan lingkungan luar pondok,” jelasnya.
Guru MTs Pancasila Kota Salatiga ini menjelaskan bahwa Pesantren Darul Hadlanah berada di bawah naungan langsung PCNU Kota Salatiga.
Tabrani mengatakan, santri Darul Hadlanah memiliki latar belakang yang beragam. Ada yang dhuafa dan yatim atau piatu. Menurutnya, kondisi sosial yang beragam menuntut perhatian lebih dalam mengasuh santri.
“Pengasuhan selama ini mengedepankan kedekatan emosional-persuasif yang sebisa mungkin menanggalkan aspek fisik dalam pengasuhan. Dari segi lingkungan, dalam pondok dan luar pondok, bisa dikatakan dalam kategori lingkungan ramah anak sesuai standar kota ramah anak Pemkot Salatiga,” tambahnya.
Sementara itu, Santri Darul Hadlanah Kartika Rahmah mengatakan bahwa ia cukup khawatir terhadap tindak kekerasan yang terjadi di pesantren, sebagaimana kasus-kasus yang telah terjadi selama ini. Menurutnya, kekerasan yang terjadi itu dapat menyebabkan trauma bagi korban.
Ia menyebut, tindak kekerasan di pesantren bagi korban berdampak pada gangguan psikologis, takut bersosialisasi dan penurunan prestasi.
“Saya juga akan menuntut tindakan tegas dari pihak pesantren dan pemerintah setempat untuk mencegah dan mengatasi masalah ini,” ucapnya.
Mahasiswa Fakultas Dakwah UIN Salatiga ini juga punya cara khusus agar ia tidak menjadi korban kekerasan, baik fisik maupun mental, di pesantren.
Pertama, ia akan membedakan mana yang fakta dan opini orang lain saat orang lain berkomentar terhadapnya, sehingga tidak mudah terpancing emosi dan berlarut-larut memikirkan omongan orang tersebut.
Kedua, ia melakukan identifikasi mana lingkungan teman yang suka melakukan perundungan dan mana yang berdampak positif untuknya.
Ketiga, ia membina hubungan yang harmonis dengan teman-teman di pesantren dan pihak pesantren untuk meminimalisir perundungan.
Keempat, ia selalu mengantisipasi untuk tidak keluar di tempat yang sepi.
“Jika semua itu tetap terjadi saya tidak ragu untuk mencari bantuan dan melaporkan kepada orang yang dapat saya percaya dan memberikan bukti,” tegasnya.
“Tertanam dalam pikiran saya tidak ada seorang pun yang berhak menyakiti saya dan saya tidak sendirian. Banyak orang yang masih peduli terhadap saya,” lanjutnya.
Selain upaya untuk tidak menjadi korban kekerasan fisik dan perundungan, ia juga mempunyai strategi agar tidak menjadi seorang pelaku kekerasan fisik maupun sebagai perundung.
Sebagai santri, katanya, harus bisa menghormati orang lain karena merupakan ajaran agama, yakni tidak boleh menyakiti orang lain. Kemudian belajar berempati kepada orang lain dengan merasakan dan memposisikan diri seolah-olah di posisi orang lain.
“Belajar mengelola emosi itu juga sangat penting untuk menghindari perundungan serta sikap toleransi untuk memahami perbedaan bahwa kita memang manusia yang berbeda. Tapi kita sama-sama punya hati,” pungkas Kartika.