Pesatnya perubahan sosial menjadi tantangan tersendiri bagi mereka yang bergelut dalam fikih untuk senantiasa memperluas wawasan dengan cara mengkaji secara utuh dan mendalam teori-teori yang ada. Tidak perlu hanya membatasi diri pada mazhab tertentu agar terhindar dari fanatisme (ta’ashub). Juga tidak perlu mendistorsi, apalagi menjelek-jelekkan, pendapat mujtahid-mujtahid lain.
Sebagai inspirasi untuk menghadapi problem-problem baru yang semakin kompleks, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat, kita perlu mempertimbangkan kembali tawaran Imam Syafi’i tentang qiyas (analogi) yang sangat fleksibel dan luas dengan konsepnya yang tidak membedakan ainul makna dan jinsul makna.
Buku ini adalah karya akademik Ketua PBNU, Prof KH Moh. Mukri. Isi buku ini membahas tentang pemikiran hukum Islam Imam Syafi’i, seorang pemikir hukum Islam yang dapat dikatakan paling berpengaruh di dunia Islam, bahkan sampai dengan sekarang. Imam Syafi’i seolah menjadi mata air yang terus menerus digali pemikirannya oleh para intelektual yang pro maupun kontra.
Permasalahan yang menjadi fokus dalam kajian buku ini adalah mengapa atau apa yang melatarbelakangi pembatasan Imam Syafi’i terhadap ar ra’yu (penalaran hukum) sehingga ia berpegang pada metode qiyas (analogi) dalam berijtihad, dan menolak metode maslahat, halaman vi.
Buku yang ditulis oleh alumnus doktoral Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sleman, Jogjakarta ini terdiri dari lima (5) bagian utama, yakni;
Bagian 1 Pendahuluan, yang terdiri dari pengantar umum kepada isi tulisan, dalam bagian ini dikemukakan latar belakang, pokok masalah, metodologi dan sistematika penulisan. Bagi mantan Rektor UIN Raden Intan Lampung ini, ada dua alasan mengapa yang dibedah konsep Imam Syafi’i. Pertama, bahwa prinsip dasar syariat Islam (maqasid syari’ah) bertujuan untuk kebahagiaan dan kemaslahatan umat manusia dunia dan akhirat. Namun kenyataannya, tidak berarti semua ulama serta merta dapat menerima kehujahan dan keabsahan maslahat sebagai dalil hukum yang mandiri.
Kedua, Imam Syafi’i, dalam hal ini, tergolong tokoh ulama yang dinilai oleh banyak pihak tidak menerima maslahat sebagai dalil hukum. Namun kenyataannya, ia banyak menggunakan dalam ijtihadnya. Dengan demikian, timbul kesan bahwa adanya inkonsistensi pada diri Imam Syafi’i. oleh karena itu menarik untuk dikaji dan ditelusuri. Sebab, rasanya sulit diterima akal sehat, bahwa Imam Syafi’i sebagai seorang imam madzhab yang sangat cerdas dan dikenal sebagai peletak kerangka dasar ushul fikih (the master architect of Islamic yurispridence) justru tidak konsisten, halaman 1-16.
Bagian 2 menguraikan tentang kontribusi Imam Syafi’i dalam perkembangan hukum Islam, dalam bagian ini dibahas pengenalan pribadi Imam Syafi’i, yang meliputi asal usul dan tempat kelahirannya, pendidikan, guru, dan muridnya. Juga dibicarakan kontribusi Imam Syafi’i dalam pembentukan hukum Islam, serta sumber-sumber hukum Islam menurut Imam Syafi’i. Imam Syafi’i dilahirkan di Ghazah, Palestina pada tahun 767 M / 150 H dan wafat di Puskat, Mesir, pada 20 Januari 820 / 29 Rajab 204 H. Imam Syafi’i ditinggal ayahnya ketika ia masih bayi, kemudian tumbuh dalam asuhan ibunya sebagai anak yatim dan miskin, namun mulia dalam keturunan.
Ibu Imam Syafi’i sangat memperhatikan pendidikan dan sekolah anaknya, sementara Imam Syafi’i sendiri sejak masa kecilnya telah menampakkan diri sebagai orang yang terampil dan cerdas. Terbukti, pada usianya yang baru tujuh tahun ia telah hafal Al Quran. Pada usia sepuluh tahun ia telah mampu menghafal kitab al Muwatta karya Imam Malik.
Imam Syafi’i muda berguru kepada para ulama-ulama, baik yang ada di Baghdad, Makkah maupun di Madinah, antara lain; Syeikh Muslim bin Khalid al Jinzi spesialis ilmu fikih, Imam Malik, Muhammad Ibrahim Ibn Said al Anshary, Ibrahim Ibn Yahya, Abdullah Ibn Nafi’ al Shaigh, dan lain-lain, halaman 17-86.
Bagian 3 menjabarkan tentang sejarah maslahat dalam perkembangan hukum Islam, bagian ini menguraikan tentang pengertian maslahat dan macam-macamnya, syarat-syarat penggunaan maslahat, pandangan ulama terhadap kehujjahan maslahat, sekaligus dengan menunjukkan contoh-contoh penggunaannya.
Mantan Ketua PWNU Lampung ini menjelaskan, bahwa maslahat adalah segala sesuatu yang di dalamnya mengandung manfaat, menghasilkan kebaikan atau sesuatu untuk kebaikan dan menolak kemadharatan. Maslahat adalah memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan hal-hal yang merugikan diri manusia / makhluk. Maslahat pada dasarnya adalah ungkapan untuk meraih kemanfaatan atau menolak kesulitan.
Maslahat dapat di kelompokkan menjadi tiga (3) tingkatan, yakni; pertama, maslahah dharuriyyat adalah sesuatu perkara yang menjadi tempat tegaknya kehidupan manusia, yang jika ditinggal, maka rusaklah kehidupan dan merajalela kerusakan dan timbullah fitnah dan kehancuran. Maslahat seperti ini terbatas pada lima hal pokok yang harus dipelihara, yaitu; agama, akal, keturunan, kehormatan dan harta.
Kedua, maslahah hajiyyat adalah sesuatu perkara atau keadaan yang diperlukan manusia untuk menghilangkan dan menghindarkan diri dari kesempitan dan kesulitan, yang seandainya hal itu tidak ada, maka keteraturan serta keseimbangan hidup tidak sampai pada tahapan rusak.
Ketiga, maslahah tahsiniyyah / takmiliyyah adalah segala hal yang dikehendaki demi terwujudnya ketinggian dan kesucian akhlak dan kebaikan adat istiadat, sopan santun yang sekiranya itu semua tidak ada, maka tidak sampai merusak tatanan hidup, halaman 87-118.
Bagian 4 berisikan tentang maslahat menurut pandangan Imam Syafi’i dan kedudukannya dalam praktik Ijtihad. Pada bagian ini menganalisis tentang pandangan Imam Syafi’i terhadap maslahat,serta prinsip maslahat Fikih dalam ijtihad Imam Syafi’i. Rektor UNU Blitar, Jawa Timur ini menjelaskan, bahwa dalam kitab Al Umm maupun Ar Risalah, Imam Syafi’i jelas tidak menyebut prinsip maslahat sebagai salah satu dalil atau sumber hukum Islam. Baginya, sumber hukum Islam hanya terbatas pada al Kitab, Sunnah, ijmak, fatwa sahabat, dan qiyas. Menurutnya, untuk menjawab dan menyelesaikan segala persoalan hukum yang timbul dan dihadapi oleh manusia cukup dengan sumber atau dalil hukum yang dimaksud, halaman 120-150.
Bagian 5 penutup, pada bagian ini menjelaskan tentang penegasan bahwa pada dasarnya maslahat adalah sesuatu prinsip (asbab) bagi dibentuknya hukum-hukum. Hanya saja kehujjahannya terbatas pada bidang muamalah dan bidang hukum tertentu saja. Prof. Mukri pada bagian buku ini berpesan, bahwa mengingat pesatnya perubahan kehidupan sosial kemasyarakatan di tengah kita saat ini, agar senantiasa mengembangkan diri serta memperluas wawasan dengan cara mengkaji secara mendalam dan utuh teori-teori hukum yang telah ada, dengan tidak hanya membatasi teori-teori hukum satu madzhab tertentu saja, halaman 151-156.
Buku ini bisa menjadi literatur yang berguna bagi pegiat akademik kajian studi keislaman (Islamic studies) baik di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) atau di pondok pesantren, sebagai referensi santri, akademisi lintas disiplin ilmu, peneliti hukum Islam terutama kajian Fikih dan Ushul Fikih, aktivis, dan lain-lain. Selamat membaca.
Peresensi Akhmad Syarief Kurniawan, Warga NU dan Pengurus LTN NU Lampung Tengah, Provinsi Lampung.
Identitas Buku:
Judul : Benarkah Imam Syafi’i Menolak Maslahah?
Penulis : H. Moh. Mukri
Penerbit : Pesantren Nawesea, Bantul, Jogjakarta
Tahun Terbit : April, 2011.
Tebal : x + 158 Halaman
Nomor ISBN : 978-979-16823-6-7
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/pustaka/sudut-pandang-konsep-maslahat-perspektif-imam-syafi-i-bycoJ