Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, sababun nuzul dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-Baqarah ayat 154:
وَلَا تَقُوْلُوْا لِمَنْ يُّقْتَلُ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ اَمْوَاتٌۗ بَلْ اَحْيَاۤءٌ وَّلٰكِنْ لَّا تَشْعُرُوْنَ
Wa lâ taqûlû limay yuqtalu fî sabîlillâhi amwât, bal aḫyâ’uw wa lâkil lâ tasy‘urûn.
Artinya: “Janganlah kamu mengatakan bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah (mereka) telah mati. Namun, (sebenarnya mereka) hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya”.
Sabab Nuzul Surat Al-Baqarah 154
Imam Nawawi Al-Bantani (wafat 1316 H) menyebutkan riwayat sababun nuzul ayat 154:
قال ابن عباس: نزلت الأية فى قتلى بدر وقتل من المسلمين يومئذ أربعة عشر رجلا, ستة من المهاجرين وثمانية من الأنصار. فالمهاجرون عبيدة بن الحرث ابن عبد المطلب وعمر بن أبي وقاص وذوالشمالين وعمرو بن نفيلة وعامر بن بكر ومهجع بن عبد الله والأنصار سعيد بن خيثمة وقيس بن عبد المنذر وزيد بن الحرث وتميم بن الهمام ورافع بن المعلى وحارثة بن سراقة ومعوذ بن عفراء وعوف بن عفراء. وكان الناس يقولون مات فلان ومات فلان فنهى الله تعالى أن يقال فيهم إنهم ماتوا وقال أخرون إن الكفار والمنافقين قالوا إن الناس يقتلون أنفسهم طلبا لمرضاة محمد من غير فائدة فنزلت تلك الأية
Artinya: “Ibnu Abbas berkata: “Ayat ini turun untuk orang-orang yang terbunuh dalam perang Badar. Terbunuh pada saat itu dari kalangan umat Islam 14 laki-laki, 6 dari kalangan Muhajirin dan 8 dari Anshar. Yang terbunuh dari kalangan Muhajirin ialah Ubaidah bin al-Harts Ibnu Abdil Muthalib, Umar bin Abi Waqash, Dzu Syamalain, Amr bin Nafilah, Amir bin Bakr dan Mahja’ bin Abdillah. Sedangkan dari kalangan Anshar ialah Said bin Khaytsamah, Qays bin Abdil Mundzir, Zaid bin al-Harits, Tamim bin al-Himam, Rafi’ bin al-Ma’la, Haritsah bin Suraqah, Muawwidz bin Afra’ dan Auf bin Afra’. Pada saat itu banyak orang yang mengatakan, “Fulan telah meninggal, fulan telah meninggal”. Kemudian Allah melarang untuk mengatakan kepada mereka yang meninggal di jalan-Nya mereka telah mati. Riwayat lain mengatakan bahwa banyak dari kalangan orang-orang kafir dan munafik berkata, “Sungguh orang-orang itu membunuh diri mereka sendiri untuk mencari keridhaan Muhammad tanpa ada faidahnya”. Kemudian turun ayat tersebut. (Muhammad Nawawi Al-Jawi, At-Tafsirul Munir li Ma’alimt Tanzil, juz I, halaman 36).
Ragam Tafsir Surat Al-Baqarah 154
Syekh Muhammad Ali Al-Shabuni (wafat 2021 M) menjelaskan, maksud dari ayat “wa lâ taqûlû limay yuqtalu fî sabîlillâhi amwât”, ialah janganlah kalian berkata terhadap mereka yang meninggal dalam keadaan syahid, mereka telah mati. Kemudian disusul dengan penjelasan ayat “bal aḫyâ’uw wa lâkil lâ tasy‘urûn”, Syekh Muhammad berkata: “Akan tetapi mereka hidup di sisi Tuhan mereka dan diberkahi rezeki melimpah, sedang mereka (yang berkata orang-orang itu mati) tidak mengetahuinya. Mereka berada dalam kehidupan Barzakh yang lebih luhur dari pada kehidupan ini”. (Muhammad Ali Al-Shabuni, Shafwatut Tafasir, [Beirut, Darul Qur’anil Karim: 1402 H/1981 M], juz I, halaman 106).
Syekh Ahmad bin Muhammad As-Shawi (wafat 1825 M) menjelaskan bahwa maksud dari tidak diperbolehkannya mengatakan mereka yang meninggal syahid berjuang di jalan Allah telah mati ialah karena mereka tidak mati secara hakiki. Mereka hanyalah pindah dari dunia yang merupakan negeri yang dipenuhi kotoran dosa (darul kadar) menuju negeri yang bersih (darul shafa). Dari negeri yang dipenuhi kesusahan (darul huzn) menuju negeri yang dipenuhi kebahagiaan (darus surur).
Sedangkan terkait penamaan mereka yang mati di jalan Allah dengan nama syuhada atau syahid, Syekh Ahmad berkata:
وهم الشهداء وسموا بذلك لأن أرواحهم شهدت دار السلام عند خروجها من البدن, أو لأن الملائكة تشهد له بنصره لدين الإسلام
Artinya: “Mereka adalah Syuhada. Dinamakan demikian karena ruh-ruh mereka menyaksikan negeri keselamatan ketika keluar dari badan, atau karena malaikat menyaksikan mereka menolong agama Islam”.
Lebih lanjut Syekh Ahmad menjelaskan, maksud kehidupan orang syahid ialah kehidupan ukhrawi dengan jasad dan ruh yang tidak sama seperti kehidupan penduduk dunia. Hal tersebut tidak bisa disaksikan kecuali oleh penduduk akhirat dan orang-orang tertentu yang diberi keistimewaan oleh Allah untuk bisa melihatnya. Sedangkan hikmah di balik tidak diperbolehkannya orang yang mati syahid dimandikan ialah agar bisa menjadi saksi di hari kiamat. (Ahmad bin Muhammad As-Shawi, Hasyiyatus Sawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain, [Beirut, Darul Kutub Al-Islamiyah: 1434 H/ 2013 M], juz I, halaman 93).
Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma’had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.