Aturan Tuhan terkait muharramatun nisa’ atau sejumlah perempuan yang haram dinikahi adalah aturan yang membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia dalam berkeluarga. Andaikan tidak ada aturan Tuhan dan manusia dibiarkan memilih pasangan tanpa aturan, maka akan muncul mafsadah, kehancuran dan kekacauan hubungan nasab di antara manusia.
Untuk memahami bahwa aturan Tuhan membawa kemaslahatan hidup manusia kita dapat mengkaji Tafsir Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 26.
يُرِيدُ اللهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ، وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ النساء: 26
Yurīdullāhu liyubayyina lakum wa yahdiyakum sunanalladzīna minqablikum wayatuba ‘alaikum, wallāhu ‘alīmun hakīm.
Artinya, “Allah menghendaki menjelaskan syariat agama kalian kepada kalian, menunjukkan berbagai jalan orang-orang sebelum kalian, dan menerima tobat kalian; dan Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahu dan Maha Bijaksana.” (An-Nisa’: 26).
Ragam Tafsir Surat An-Nisa’ Ayat 26
Surat An-Nisa’ ayat 26 memuat tiga pembahasan utama, yaitu:
- Aturan agama dan kemaslahatan hidup manusia.
- Sunnah atau jalan hidup umat manusia sebelum Nabi Muhammad saw.
- Penerimaan tobat dari orang-orang yang mau bertobat.
Aturan Agama dan Kemaslahatan Hidup Manusia
Imam Al-Qurthubi mengatakan, maksud ayat adalah Allah menghendaki menjelaskan urusan agama dan kemaslahatan hidup kepada manusia. Apa yang dihalalkan dan apa yang diharamkan. (Muhammad bin Ahmad Al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh, Daru ‘Alamil Kutub: 2003), juz V, halaman 147).
Bila penjelasan Al-Qurthubi ditarik pada ayat-ayat sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa dalam aturan mana perempuan yang haram dan yang halal dinikahi terdapat kemaslahatan bagi kehidupan manusia. Bila manusia mengikuti kemauannya sendiri-sendiri dalam memilih pasangan tanpa aturan sama sekali, maka akan menimbulkan mafsadah, kerusakan dan kekacauan nasab di antara manusia.
Secara lugas Syekh Mutawalli As-Sya’rawi menjelaskan, hanya Allah yang tahu secara persis kemaslahatan manusia. Allah yang menciptakan sehingga manusia wujud di dunia, demikian pula Allah yang lebih tahu aturan seperti apa yang membawa kemaslahatan untuknya. Adapun bila manusia membuat aturan sendiri maka merupakan bentuk penentangan kepada-Nya.
Ibarat insinyur yang membuat televisi, maka dialah yang lebih paham bagaimana aturan perawatannya, karena ia yang membuatnya. Hanya ia yang pantas membuat aturan perawatannya. Lalu ia akan memberitahu kepada kita, tombol ini untuk fungsi ini, tombol ini untuk gambarnya, tombol ini untuk suaranya, dan semisalnya.
Demikian pula Tuhan yang telah menciptakan manusia, hanya Tuhan yang pantas membuat aturan demi kemaslahatan dan keberlangsungan hidup manusia. Mana yang halal, mana yang haram, dan semisalnya. Termasuk di antaranya dalam masalah perempuan yang halal dan yang haram dinikah. (Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi, Tafsir As-Sya’rawi, halaman 1455).
Dalam konteks ini Allah berfirman:
يُرِيدُ اللهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ
Artinya, “Allah menghendaki menjelaskan syariat agama kalian kepada.”
Jalan Hidup Manusia Sebelum Nabi Muhammad saw
Selain menunjukkan hukum halal haram utamanya tentang sejumlah perempuan yang haram dinikahi, dalam ayat 26 ini Allah juga menunjukkan berbagai sunnah atau jalan hidup manusia sebelum Nabi Muhammad saw. Allah berfirman:
وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
Artinya, “Dan Allah menghendaki menunjukkan berbagai sunnah atau jalan orang-orang sebelum kalian.” (An-Nisa’: 26).
Sunan atau sunnah dalam ayat maksudnya adalah jalan hidup. Melalui ayat ini Allah menyinggung bagaimana jalan hidup mereka. Apa yang terjadi pada manusia yang mengikuti ajaran para nabi dan apa yang terjadi pada orang-orang yang mengingkari dan menentangnya, sebagaimana difirmankan:
فَكُلاًّ أَخَذْنَا بِذَنبِهِ فَمِنْهُم مَّن أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِباً وَمِنْهُمْ مَّنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَّنْ خَسَفْنَا بِهِ الأرض وَمِنْهُمْ مَّنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ الله لِيَظْلِمَهُمْ ولكن كانوا أَنفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ. العنكبوت: 40
Artinya, “Maka seluruh umat terdahulu telah aku hukum sebab dosanya. Maka sebagian dari mereka ada yang kami kirimi angin yang membawa kerikil (seperti kaum Nabi Luth), sebagian dari mereka ada yang tersambar kilat (seperti kaum Tsamud), sebagian dari mereka ada yang ditelan bumi (seperti Qarun), dan sebagian dari mereka ada yang kami hanyutkan (seperti kaum Nabi Nuh, serta Firaun dan kaumnya); dan tidaklah Allah menzalimi mereka, akan tetapi mereka yang menzalimi diri mereka sendiri (dengan melakukan dosa).” (QS Al-‘Ankabut: 40). (Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsirul Jalalain dalam Hasyiyatus Shawi, [Beirut, Darul Fikr: 2004], juz III, halaman 290-291); dan (As-Sya’rawi, 1455).
Penerimaan Tobat
Sebagaimana Allah memerintahkan manusia untuk menaati aturan-aturan-Nya, demikian pula Allah suka menerima tobat dari manusia ketika melanggar berbagai aturan-Nya. Demikian dijelaskan oleh Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqillani saat menafsirkan ayat:
وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ
Artinya, “Dan menerima tobat kalian; dan Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana,” (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatihul Ghaib, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2000], juz X, halaman 54).
Kemudian Allah menutup ayat dengan berfirman:
وَاللهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya, “Dan Allah adalah Zat Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.”
Maksudnya adalah Allah adalah Zat Yang Maha Mengetahui terhadap siapa yang benar-benar bertobat dan Yang Mahabijaksana menerima pertobatannya. (Al-Qurthubi, V/148). Wallahu ‘alam.
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda
Download segera! NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.