Tak Usah Perdebatkan Perbedaan Penentuan 1 Muharram 1446 H

Semarang, NU Online Jateng

Penentunan awal Muharram, 1446 Hijriyah sempat ramai diperbincangkan oleh kalangan masyarakat karena ada perbedaan dalam penentuannya. Perbedaan itu terjadi lantaran pada kalender, 1 Muharram jatuh pada Ahad, 7 Juli 2024, tetapi pada saat itu hilal belum tampak saat dilakukan rukyatul hilal. 

 

Terkait hal tersebut, Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) KH Sirril Wafa mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak memperdebatkan perbedaan penetapan 1 Muharram 1446 H ini. Sebab, perbedaan tersebut hanya menyangkut masalah seremonial dan keagamaan dapat menggunakan pedoman kalender. 

“Kemudian hal-hal lain, perlu harus mencerdaskan diri kalau ada pengumuman tentang hasil rukyat dan harus itikmal, setidaknya sesuai dengan kalender maka itu harus memahami. Jangan kemudian baper. Dengan memahami itu, kita meningkatkan derajat kita menjadi orang yang tahu,” tuturnya melalui video yang diunggah kanal Youtube Swara NU pada Jumat (12/7/2024). 

 

Kiai Sirril Wafa juga menyebutkan bahwa kasus perbedaan penetapan 1 Muharram ini bukan kali pertama dialami oleh PBNU. Namun ia menyebut bahwa penentuan 1 Muharram ini menjadi viral seperti perbedaan penentuan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijjah. 

“Kalender PBNU tanggal 1 Muharram itu memang jatuh pada Ahad 7 Juli, namun kemudian karena tidak berhasil rukyat pada malam Ahad itu, maka malam Ahad masih dianggap tanggal 30 Dzulhijjah. Jadi 1 Muharram, de facto-nya itu jatuh pada Senin 8 Juli, jadi beda dengan yang tertulis di kalender,” kata dia. 

Lantas, bagaimana status masyarakat yang merasa bimbang atau kebingungan dengan waktu ditentukannya 1 Muharram? Kiai Sirril Wafa menerangkan bawasanya penentuan 1 Muhrram oleh LF PBNU memang tidak sesuai dengan kalender, sebab bulan Dzulhijjah 1445 diistikmalkan lantaran hilal yang tidak terlihat pada saat rukyatul hilal dilakukan.

 

“Istikmal ini posisinya dijadikan pedoman untuk masalah ibadah mahdlah, sedangkan untuk hal-hal yang berkaitan dengan seremonial atau upacara keagamaan yang non-keagamaan atau berkaitan dengan masalah ‘urf, maka saya katakan tidak ada salahnya menggunakan pedoman pada kalender,” jelasnya.  

 

Oleh karena itu, menurut Kiai Sirril Wafa, jika masyarakat sudah membaca doa akhir tahun pada Sabtu sore dan pada malam harinya sudah membaca doa awal tahun tidak masalah. Sebab, hal itu tidak berkaitan dengan ibadah mahdlah.  

 

“Jadi tidak perlu ada qadha. Ini menyangkut pada masalah urf keagamaan. Apalagi obor, ada yang merayakan obor malam Ahad itu ya nggak masalah karena sudah menggunakan pedoman dari kalender, sedangkan posisi istikmal itu untuk kepentingan ibadah mahdlah sesungguhnya kalau di kalangan NU,” lanjutnya.  

 

Kiai Sirril Wafa mencontohkan puasa Ayyamul Bidh atau hari-hari putih. Puasa ini dilaksanakan pada tanggal 13, 14, dan 15 pada kalender Hijriah. “Nah jadi nanti untuk warga NU yang taat menggunakan istikmal kemarin, puasa ayyamul bidhnya ya tanggal 13 itu kebetulan bertepatan dengan tanggal 20, 21, 22,” imbuhnya. 

 

Kiai Sirril menyebut bahwa istikmal kali ini sangat tepat untuk kepentingan ibadah mahdhah. Sebab, tanggal istiqbal atau purnama penuh jatuh pada tanggal 21 Juli 2024 dan bertepatan dengan tanggal 14 Muharram versi iistikmal. Sedangkan berdasarkan penanggalan non-istikmal jatuh pada 19 Juli dan pada tanggal tersebut belum memasuki purnama penuh.  

 

“Jadi, di situ purnama penuh itu kalau kita lihat itiqbalnya itu tanggal 21 Juli,” terang dosen di Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.


https://jateng.nu.or.id/nasional/tak-usah-perdebatkan-perbedaan-penentuan-1-muharram-1446-h-TMze0

Author: Zant