Iklan
Oleh: Abdullah Faiz (Redaktur NU Jateng.com)
Perpecahan dan pembagian sekte sudah menjadi hal yang biasa di kalangan umat manusia. Perkumpulan teologi dan ideologi apa saja banyak yang mengalami pengelompokan, begitupun Islam. Sektarianisme Islam sudah diprediksi oleh Rasulullah saw semasa hidupnya. Bahkan Rasul juga sudah mengetahui kalau akan ada jaringan Islam ekstrimis di masa yang akan datang. Hal ini ia katakan ketika Rasulallah saw sedang membagi harta rampasan perang di ji’ronah setelah menjajaki tanah Hunain dan Thaif kemudian ada seorang yaitu Dzul Khuwaishirah berdiri dan protes “Adillah wahai Muhammad” kemudian Rasul berkata “Celakalah kamu, sesungguhnya tidak ada yang adil kecuali aku karena aku mendapatkan petunjuk oleh Allah swt”. Setelah orang itu pergi kemudian Nabi bersabda. (Said Aqil Siraj 2012)
“Sayakunu ba’di min ummati qaumun yaqraul qur’an wala yatazawaju halaqihim hum syarrul khalqi wal khaliqah”
(Kelak akan ada dari umatku kelompok yang membaca Al-Qur’an namun tidak sampai hati)
Sabda Rasul tersebut menjadi kenyataan ketika Ali bin Abi Thalib dibunuh oleh Abdurrahman Ibn Muljam seorang yang hafal Al-Qur’an dan Hadits, setiap harinya berpuasa dan malam harinya selalu melaksanakan sholat malam. Namun melakukan hal yang sangat dibenci oleh Allah saw dengan membunuh saudara seiman dan menyebabkan pecahnya umat Islam. (Said Aqil Siraj 2012)
Makna hadis diatas kurang lebih adalah isyarat bagi kelompok yang memahami Islam secara tekstual. Memahami ajaran Al-Qur’an hanya melalui teksnya memang rawan mendatangkan sikap ekstrim dan melampaui batas padahal Allah dalam Al-Quran tidak melegitimasi sikap tersebut. Ada 3 kategori sikap dalam hal ini yang dilarang oleh agama.
Pertama “ghuluw” bentuk ekspresi manusia yang berlebihan dalam merespon persoalan sehingga muncul sikap-sikap di luar batas kewajaran kemanusiaan. Kedua “ tatharruf” yaitu sikap berlebihan karena dorongan emosional yang berimplikasi pada empati yang berlebihan dan sinisme terhadap masyarakat. Ketiga “irhab” ini yang terlalu mengundang kekhawatiran karena bisa jadi membenarkan kekerasan atas nama agama atau ideologi tertentu. (Said Aqil Siraj 2012)
Idealnya seorang muslim dalam mempelajari ajaran Islam tidak boleh dengan mentah melainkan harus mendalami dan memahami secara komprehensif, utuh dan benar sehingga pemahaman ajaran nya bisa memberikan dampak yang baik bagi urusan sosial dirinya. Selain itu, dalam memahami Al-Quran hendaknya mengkaji dengan hati dan pikiran yang bersih, jernih dan rasional sehingga memunculkan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Penjelasan di atas adalah salah satu alasan munculnya Ilmu Mistisisme Islam atau Tasawuf disebut juga sebagai sufistik. Dalam babakan Islam, Tasawuf menjadi media perlawanan di awal abad Hijriyah terhadap ajaran Islam yang kian semakin memudar dan melintas batas syari’ah. Para sekte Islam lebih meninggikan egonya untuk mendapatkan kekuasaan dan saling mengkafirkan satu sama lain. Para penguasa saat itu, sering menggunakan Islam sebagai alat legitimasi ambisi pribadi dan kelompok tertentu. (Said Aqil Siraj 2012)
Tasawuf Revolusi Moral
Istilah Mistisisme sudah sangat dikenal oleh peradaban Yunani sebelum Islam. Mistisisme diartikan “Menutup mata”. Mistik biasanya digunakan untuk menerangkan hal-hal yang berkaitan dengan gaib. Dalam arti luasnya, mistisisme adalah persepsi tentang realitas tunggal yang bisa disebut dengan kebijaksanaan, cinta, cahaya, keindahan atau ketiadaan. Dalam tradisi Islam, mistisisme dikenal dengan ajaran Tasawuf yang nama istilah ini sama sekali tidak dikenal di agama lain. Tasawuf adalah seni dalam merayu dan menjalin komunikasi secara intim dengan Tuhan. (Muhammad Habib Adi Putra and Riyadi 2022)
Tradisi ini sebenarnya sudah dilakukan oleh Rasulullah Saw ketika menjalani khalwat di Gua Hira. Peristiwa ini terjadi saat kondisi kaum kafir Quraisy tidak stabil. Akhirnya Rasul bersembunyi dan melakukan pertapaan mendekatkan diri kepada Allah swt. Berdasarkan sudut pandang ini para sahabat banyak yang memilih jalan tasawuf sebagai jalan kehidupan di saat berkembangnya peradaban Islam. Bisa disimpulkan lahirnya tasawuf berdasarkan kemauan dan kebutuhan manusia dalam upaya mendekatkan diri.
Tradisi ini kemudian memiliki metode dan dihimpun oleh organisasi yang dipimpin oleh para mursyid. Perhimpunan sufistik ini kemudian dikenal dengan tarekat. Setiap tarekat memiliki karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan pendirinya. Ajaran dan amalan nya menyesuaikan dengan metode yang dimiliki mursyidnya. Perkumpulan ini mulai berkembang pesat kisaran tahun 750-1250 M atas desakan oleh siklus kehidupan yang mulai rumit dan tidak membuat nyaman. Perkembangan tersebut dapat diketahui pada era pemerintahan Islam Dinasti Abbasiyah. (Daulay, Dahlan, and Putri 2021) Masa kejayaan peradaban Islam bisa meninabobokan kesadaran akan kebesaran Tuhan. Dibalik kejayaan umat Islam saat itu, terdapat sisi negatif yang membayangi yaitu kemerosotan moral dan akhlak. Bermula dari ini, sebagian masyarakat muslim menjaga jarak dengan hal-hal yang berbau duniawi dengan menempuh jalan mediasi sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan sebagai upaya untuk memperbaiki moral.
Ajaran Mistisisme (tasawuf) memiliki icon asketik (zuhud) yang dijadikan karakteristik di abad pertama dan kedua hijriyah. Cara pandang umat muslim pada saat itu banyak berubah lebih mementingkan pada kegiatan religius dan berperilaku zuhud. Ada dua sufi terkenal era pertama yaitu Hasan Basri dan Rabiah Al-Adawiyah. kedua sufi tersebut memiliki metode pendekatan yang berbeda, Hasan Basri mengangkat metode dalam ajarannya tentang raja’ dan khauf guna mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan Rabiatul adawiyah mengangkat metode ajarannya didasarkan pada pendekatan Mahabbah.
https://nujateng.com/2023/02/tasawuf-sebagai-media-revolusi-moral/