Al-Maghfurlah KH M Bisri Syansuri lahir pada 28 Dzulhijjah 1304 Hijriah yang bertepatan dengan 18 September 1887 Masehi, di desa Tayu, Pati, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Syansuri dan ibunya bernama Siti Rohmah. Bisri merupakan anak ketiga dari lima bersaudara.
Keluarga leluhur Kiai Bisri adalah keluarga yang terpandang dan terhormat, yang melahirkan ulama-ulama besar dalam beberapa generasi. Sehingga bukan hal yang mengherankan jika dari tradisi yang demikian kuat kaitannya dengan penguasaan keagamaan semacam itu tumbuh seorang yang kemudian hari akan menjadi sosok ulama terkemuka.
Para Guru Kiai Bisri
Sejak kecil, Kiai Bisri belajar dari berbagai para ulama yang menguasai beragam bidang keilmuan, antara lain KH Amin dalam bidang Al-Qur’an, Nahwu, Shorof, Fikih, Tauhid, Tafsir, Hadits dan Mantiq. Salah satu guru semasa kecilnya di samping ayahnya sendiri adalah seorang ulama yang kepribadiannya sangat memengaruhi Kiai Bisri, yaitu Kiai Abdus Salam, ulama ahli Al-Qur’an, tauhid dan fikih.
Ketika menginjak usia 15 tahun, Kiai Bisri mulai belajar kepada para ulama dari luar daerahnya, di antaranya KH Kholil Kasingan Rembang, KH Syu’aib Sarang Lasem, KH. Umar, kemudian berlanjut berguru kepada ulama terkenal Madura, Syaikhona Kholil Bangkalan pada 1901. Hingga akhirnya dalam masa pendidikan itu ia berkawan karib dengan seorang pemuda yang cekatan, Abdul Wahab Hasbullah dari Tambakberas Jombang.
Pada tahun 1906 Kiai Bisri bersama Kiai Wahab belajar di Pesantren Tebuireng, asuhan KH Hasyim Asy’ari, sosok ulama terkemuka Jawa, terutama dalam penguasaannya dalam ilmu hadits. Di Tebuireng, selama enam tahun Kiai Bisri memperdalam ilmu pengetahuan agamanya tentang fikih, tauhid, hadis, sejarah, dan lain-lain.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Tebuireng, pada tahun 1911 ia berangkat melanjutkan pendidikan di Mekkah atas ajakan sahabat karibnya, Abdul Wahab Hasbullah.
Kiai Bisri menuntut ilmu di kota suci Mekkah selama empat tahun. Beberapa gurunya di kota suci ini adalah Syekh Muhammad Bakir, Syekh Muhammad Said Yamani, Syaikh Sholeh Bafadhol, Syekh Ibrahim Madani, Syekh Umar Bajened, Syekh Jamal Al-Maliki, Syaikh Ahmad Khatib Padang, Syaikh Syu’aib Daghistany, dan Syekh Mahfudz Tremas. Tiga ulama yang disebut terakhir adalah juga guru dari KH Hasyim Asy’ari.
Berkeluarga dan Merintis Pesantren
Kiai Bisri menikah dengan Ibu Nyai Nur Khodijah pada tahun 1914. Pada masa-masa awal setelah pernikahan, Kiai Bisri menghabiskan waktunya untuk membantu mengurus santri dan mengajar di Pesantren Bahrul Ulum, Tambakberas. Tiga tahun setelah menikah, atas dorongan dari mang Mertua yaitu Kiai Hasbullah, Kiai Bisri mbabat alas mendirikan pesantren di sebuah desa di selatan Tambakberas yang bernama Denanyar. Kiai Bisri merintis pesantren setahap demi setahap. Pesantren berkembang seiring dengan perjalanan waktu. Santri berdatangan dari luar daerah dan semua dididik Kiai Bisri dengan penuh keikhlasan dan istiqamah.
Pada tahun 1919, Kiai Bisri dan Nyai Nur Khodijah melakukan terobosan besar yakni mendirikan pesantren putri. Sebuah ijtihad yang berani, inovatif, dan melampaui zamannya. Kiai Bisri dalam konteks ini bisa dikatakan sebagai seorang pembaharu dalam bidang pendidikan. Kiai Bisri bukan saja pelopor, namun penggagas yang akhirnya kelak mengilhami pesantren-pesantren lain untuk membuka layanan pendidikan bagi perempuan hingga saat ini.
Kiprah Kiai Bisri
KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyebut Kiai Bisri sebagai “Kiai Plus” karena di dalam dalam diri Kiai Bisri terdapat tiga karakter utama yaitu pecinta fikih, pejuang nilai-nilai keadilan gender, dan juga politisi yang berkarakter.
Gerak langkah dan segala keputusan yang diambil Kiai Bisri selalu didasarkan pada ufuk cakrawala keilmuan yang mendalam, digabungkan dengan analisis sosial keumatan yang luas. Dengan kerangka berpikir seperti itu, Kiai Bisri menjadi sosok yang teguh memegang prinsip, berkarakter, dan luwes dalam bersikap.
Sejumlah terobosan dan gagasan brilian dalam konteks sosial keumatan dengan skala nasional yang berdampak hingga saat ini menjadi bukti betapa Kiai Bisri adalah ulama visioner dengan kapasitas keilmuan yang sangat luas. Keputusan-keputusan Kiai Bisri adalah keputusan yang dihasilkan dari kepiawaian menggabungkan kejernihan memotret persoalan dengan keluasan pengetahuan dalam khazanah fikih. Keputusan tentang KB (Keluarga Berencana), Undang-undang Perkawinan, dan juga termasuk sikapnya yang tegas soal DPR-GR adalah di antara beberapa keputusan yang dicatat dengan tinta emas oleh sejarah dan relevan hingga saat ini.
Kiai Bisri selalu menilai dan menimbang sesuatu dengan sudut pandang fiqih yang komprehensif. Salah satu sikapnya dalam memperjuangkan fikih yang diyakini di ranah parlemen adalah membuat rancangan undang-undang tandingan tentang UU Perkawinan. Meski mendapatkan tantangan dan penolakan dari berbagai pihak, Kiai Bisri berhasil mengawal rancangan UU Perkawinan itu menjadi sebuah undang-undang yang sampai hari ini bisa kita rasakan manfaatnya.
Dalam konteks kiprah keumatan, Kiai Bisri tercatat sebagai salah satu tokoh yang ikut mendirikan Jamiyyah Nahdlatul Ulama. Kiai Bisri ikut menyumbangkan gagasan-gagasan penting ketika masa-masa awal jamiyyah ini didirikan.
Kiai Bisri sangat mencintai organisasi yang lahir pada tanggal 31 Januari 1926 ini. Kecintaan Kiai Bisri bisa dilihat dari bagaimana kiprah dan perjuangannya dalam turut andil membesarkan organisasi yang didirikan di Surabaya ini, termasuk ketika pada tahun 1971 KH. Abdul Wahab Hasbullah berpulang ke hadirat Allah. Kiai Bisri yang menggantikan posisi Kiai Wahab sebagai Rais Aam kala itu menghadapi tantangan yang sangat berat.
Kiai Bisri menjadi Rais Aam PBNU (1971-1980) saat Orde Baru sedang berjaya. Rezim ini membonsai seluruh kekuatan yang dianggap mengancam eksistensi kekuasaannya. Segala kekuatan dikerdilkan, termasuk NU. Dalam kondisi seperti itulah, Kiai Bisri menjadi Rais Aam PBNU dan alhamdulillah dengan keteguhan prinsip, Kiai Bisri berhasil memimpin organisasi ini dengan selamat.
Kiai Bisri adalah ulama yang konsisten dan berwibawa. Pandangannya senantiasa mencerminkan pembelaan pada agama dan kebenaran. Dalam Sidang Umum MPR tahun 1978, Mbah Bisri, memimpin partainya memilih walk out, meninggalkan sidang sebagai pernyataan tidak bertanggungjawab atas disahkannya Aliran Kepercayaan dan P4 sebagai ketetapan MPR. Sikap serupa yang disertai kekompakan mengikuti arahan Nahdlatul Ulama dengan Rais Aam Kiai Bisri Syansuri juga terjadi ketika ada tekanan dari penguasa mengenai lambang Ka’bah menjelang Pemlu 1977, juga pada RUU Perkawinan di tahun 1974.
Tak seorang pun meragukan kecintaan Kiai Bisri kepada Nahdlatul Ulama. Banyak saksi menuturkan bahwa perjuangan Kiai Bisri di Nahdlatul Ulama ini terkadang membuat beliau harus meninggalkan aktivitas pengajian di Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif. Sebagaimana diceritakan oleh Almarhum KH. Akhwan, salah satu santri senior KH Bisri syansuri, suatu saat, ketika hendak bertolak ke Jakarta dalam menjalankan amanahnya sebagai Rais Aam PBNU, seluruh santri dikumpulkan di masjid. Ketika pidato, selain menjelaskan kepada santri bahwa urusan mengaji di pondok ketika Kiai Bisri di Jakarta diserahkan kepada putra pertama beliau KH. Ahmad Bisri, beliau berpesan:
“Selama hidup, aku seorang Nahdliyin. Jika Aku meninggal, maka wasiatku kepada masyarakat agar mereka tetap menjadi pengikut setia Nahdhatul Ulama.”
Kiai Bisri Syansuri bukan hanya tokoh yang dimiliki oleh kalangan Pesantren dan Nahdlatul Ulama semata. Kiai Bisri adalah tokoh bangsa yang ikut andil dalam perang kemerdekaan. Kiai Bisri pernah menduduki sebagai kepala Kantor Markas Besar Oelama di Sidoarjo ketika terjadi revolusi kemerdekaan. Kiai Bisri ikut berjuang mengusir penjajah dari Ibu Pertiwi. Kiai Bisri adalah ulama pejuang kemerdekaan dan kemanusiaan yang bervisi nasionalis. Kiprahnya terbentang dari persoalan keumatan hingga problem kebangsaan.
Pada Jumat, 25 April 1980, selaras dengan 09/10 Jumadil Akhir 1400 H, Kiai Bisri Syansuri berpulang ke Rahmatullah dalam usia 93 tahun. Kiai Bisri berpulang sebagaimana dua pendahulunya: Hadratusyaikh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Abdul Wahab Hasbullah yang juga berpulang semasa masih menduduki jabatan sebagai Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Melalui manakib ini, mari bersama-sama kita mengambil hikmah atas segala kiprah dan perjuangan yang telah dijalankan oleh KH. Muhammad Bisri Syansuri selama hidup. Mari bersama kita melangitkan doa, membacakan surah Al-Fatihah untuk Almarhum Al-Maghfurlah KH. M. Bisri Syansuri dengan harapan semoga segala perjuanganya bisa kita teladani bersama. Al-Fatihah.
Penulis: M. Rufait Balya Barlaman