Surabaya, NU Online Jatim
Ning Lia Istifhama, aktivis sosial yang kini berhasil terpilih sebagai Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD) RI Jawa Timur itu ternyata sosok yang memiliki passion tinggi terhadap dunia literasi. Hal ini bukti dari menurunnya karakter ayahanda, mantan Komandan Banser NU Jatim, almarhum KH Masykur Hasyim.
Warga Jatim, terutama kalangan Nahdliyin yang merupakan generasi baby boomers, tentunya tidak asing dengan KH Masykur Hasyim. Bertubuh tegap ketika berpidato, sekalipun dikenal dengan sebagai seorang ‘speaker’ handal, narasi keilmuannya selalu terlihat kental. Hal ini tak lepas dari sosok KH Masykur yang memang sebagai pencari ilmu di masa mudanya.
Cinta ilmu, itulah yang menjadi salah satu benang merah yang sangat terlihat identik antara KH Masykur dengan Ning Lia, putri bungsu pasangan KH Masykur Hasyim dengan Hj Aisyah, kakak kandung Gubernur Jatim 2019-2024, Khofifah Indar Parawansa.
Jika KH Masykur menampakkan keilmuannya sebagai seorang pendakwah, maka Ning Lia menampakkan keilmuannya melalui beragam tulisan yang ia sematkan di buku maupun berbagai media online. Meski kini menyandang sebagai politisi yang sebentar lagi dilantik di panggung senayan, Ning Lia tetap mampu menjaga rutinitasnya sebagai penulis.
Ternyata ada kisah menyentuh dibalik keaktifan Ning Lia mengisi rutinitas sebagai seorang penulis. Ia sejak kuliah memang termasuk kutu buku yang hampir tiap hari nongkrongnya di perpustakaan. Tapi hanya selesai di membaca. Sedangkan untuk menulis, hanya terkait profesi sebagai dosen. Namun pasca ayahnya wafat 2020 lalu, ia hampir tiap hari menyempatkan membuat sebuah tulisan.
“Saat itu malam pertama bulan Ramadhan, saya tiba-tiba ingat keinginan ayah saya yang saat itu baru wafat. Beliau menghafal banyak hadist karena sering membaca kitab, namun tidak sempat menulis ulang hadist yang bisa dikaitkan dengan kisah Rasulullah SAW. Padahal itu harapan beliau karena bisa bermanfaat untuk siapapun yang kelak membaca atau belajar ceramah. Tapi kemudian beliau wafat tak lama setelah menyampaikan keinginan tersebut,” ceritanya.
Menurutnya, kisah haru tadi yang menjadikannya terketuk untuk menulis tentang peristiwa penting yang pernah terjadi di bulan Ramadhan dikaitkan dengan hadist. Pada akhirnya ia pun mencoba menulis peristiwa bersejarah di bulan Ramadhan.
“Setiap tengah malam saya tekadkan mencari hadist yang bisa berkaitan dengan sebuah peristiwa. Dan jika buntu dalam menulis, saya berdoa dan mencoba membangun kedekatan hati dengan almarhum agar menemukan inspirasi tulisan. Dan sejak saat itulah, dunia literasi menjadi makanan sehari-hari. Mau saya sebagai politisi atau apapun, tapi sangat penting untuk menyempatkan menulis,” terangnya.
Adapun tantangan sebagai penulis di tengah perpolitikan, diakui Ning Lia kerap terjadi. Salah satunya adalah anggapan bahwa hobi menulis tidak menggambarkan passion seseorang yang terjun dalam politik praktis.
“Pasti ada lah yang mengkritik, kok masih menulis dan menulis? Padahal itu sudah masa kampanye. Tapi mungkin ini sudah jiwa, sudah passion ya. Karena bagi saya ilmu adalah sesuatu hal yang sangat melekat dan benar-benar saya cintai,” ungkapnya.
Jadi pihaknya ingin sekali memiliki waktu menuangkan dalam sebuah tulisan tentang apapun. Entah itu sebuah narasi kehidupan yang tekstual atau peristiwa yang sedang uptodate, narasi keagamaan, pendidikan, sosial, atau terkait anak-anak.
“Salah satu hal yang membuat bisa bersyukur adalah ketika bisa menuangkan dalam tulisan, apa yang menjadi gagasan kita, dan kita harapkan bermanfaat. Apalagi jika tentang anak-anak, itu sangat dalam maknanya,” paparnya.
Proses ternyata tidak mengkhianati hasil, itulah yang kemudian dibuktikan oleh Ning Lia. Ia bukan hanya mampu menunjukkan pentingnya ilmu kepada semua pihak, tapi juga kesungguhan proses politik yang sarat akan dunia literasi. Pantas saja, ia dikenal sebagai srikandi NU.