Semarang, NU Online Jateng
Keragaman bagi bangsa Indonesia selama ini menjadi sumber kekuatan, Negara Kesatuan Republik Indonesua (NKRI) yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga kini masih berdiri kokoh. Kekokohan itu dibangun di atas keragaman atau perbedaan, mulai dari suku, bangsa, agama, budaya, bahasa, aliran poltik, ada istiadat, dan sebagainya.
Aneka perbedaan itu diikat dalam satu kesatuan dalam bingkai NKRI yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Pada saat yang sama di belahan dunia lain tidak sedikit negara-negara yang gagal mengelola perbedaan politik, ras, agama, dan sebagainya sehingga harus menerima kenyataan pahit, negara pecah, misalnya negara-negara di kawasan Balkan, Eropa Timur, Asia Selatan, dan lain-lain.
Akankah NKRI akan tetap tetap utuh atau nasibnya menyusul negara-negera yang gagal menyelesaikan petbedaan internalnya?, ini pertanyaan wajar dan jawabannya tentu tergantung pada kesiapan internal bangsa Indonesia sendiri. Akankah keutuhan yang dibangun funding fathers ini bisa dipertahankan bahkan semakin diperkokoh? , sejarah akan menguji dan menjawabnya.
Harus diakui bahwa hari-hari ini seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi, potensi-potensi yang dapat memicu terjadinya pembelahan masyarakat yang akan berujung menjadi perpecahan tidak ada yang bisa menjamin atau menggaransi kalau kondisi itu tidak akan terjadi masih membahana.
Gelagat tak sedap itu direspons Kementeriuan Agama (Kemenag) dengan menggelorakan spirit moderasi beragama, karena tanda-tanda atau sinyal kuat penyalahgunakan ajaran-ajaran agama sebagai pemicu untuk memprovokasi berbagai gerakan yang akan memposisikan antarsesama warga untuk saling berhadap-hadapan dan bertentangan mulai muncul.
Benih-benih pembelahan itu dalam berbagai kesempatan pernah diungkapkan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jawa Tengah KH Taslim Syahlan bahwa potensi provokasi pada era disrupsi seperti sekarang ini menjadikan suasana keindahan, ketenteraman, dan kerukunan masyarakat dalam bergama terganggu oleh gerakan-gerakan intoleransi yang akan berujung menjadi gerakan radikalisme.
“Karena itu tepat sekali kalau pemerintah, dalam hal ini Kementerian Agama (Kemenag) menggelorakan semangat moderasi beragama ke tengah-tengah masyarakat agar ajaran agama yang sakral dan moderat tidak dibelok-belokkan menjadi alat untuk mengancam, menekan dan mengusik kedamaian yanag sudah lama berlangsung itu,” katanya.
Direktur Rumah Moderasi Beragama (RMB) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Prof KH Imam Yahya (Foto: Samsul Huda)
Direktur Rumah Moderasi Beragama (RMB) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang Prof KH Imam Yahya mengatakan, sejak jauh-jauh hari, terutama saat berdiri bahwa perguruan tiggi Islam negeri yang mengusung nama Walisongo ini sudah mematok komitmen mengembangkan spirit para wali yang menyebarluaskan agama Islam di tanah Jawa ini melalui langkah-langkah dakwah yang moderat.
Di tengah membahananya isu intoleransi beberapa waktu lalu, UIN Walisongo mendeklarasikan diri sebagai kampus moderasi beragama. Pendirian lembaga RMB dan penambahan mata kuliah baru yakni Islam dan Moderasi Beragama (IMB) yang harus diikuti mahasiswa saat duduk di semester pertama semakin mempertegas bahwa perguruan tinggi ini menempatkan diri pada posisi terdepan dalam mensukseskan gerakan moderasi beragama.
Kenapa IMB diajarkan sejak dini?, semata untuk membentengi mahasiswa agar sejak dini terhindar dari radikalisme dan paham-paham yang membahayakan. Jika diibaratkan, mata kuliah IMB itu sebagai penjaga keamanan yang ada di depan perumahan, berfungsi menghalangi masuknya pencuri di perumahan.
“Pertama kali mata kuliah IMB diajarkan kepada mahasiswa baru pada tahun 2020 secara daring bersamaan dengan berlangsungnya pandemi Covid -19. Muatan mata kuliah IMB menggambarkan bahwa Islam itu damai, santun, toleran, rahmah dan sebagainya. Ini merupakan salah upaya kreatif untuk mengembangkan sikap keberagamaan di tengah problem intoleran yang berpotensi mengganggu keutuhan bangsa,” katanya.
Selain itu sekaligus untuk menepis tuduhan kelompok intoleran yang meniupkan isu bahwa moderasi beragama akan mendangkalkan ajaran agama, pemahaman seperti itu harus diluruskan bahwa moderasi beragama adalah upaya agar membuat moderat pemeluk agama dalam menjalankan ajaran agamanya, tidak berlebihan dan tidak ekstrem dalam beragama, karena yang dimoderasi bukan agamanya tetapi cara dalam menjakankan ajaran agama.
Peresmian rumah moderasi beragama di Kampus UIN Walisongo Semarang (Foto: Istimewa)
Penguatan pemahaman dan pengamalan nilai toleransi dan moderasi pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW saat membangun Madinah yang diawali dengan langkah menyatukan dan menyaudarakan elemen-elemen masyarakat yang beragam suku dan agama yang dipeluk oleh warganya. Keragaman itu berhasil dibalut dalam sebuah ikatan persaudaran, kekeluargaan dan persaudaraan yang kokoh.
Demikian halnya dengan mata kuliah IMB dan kehadiran RMB diharapkan akan menjadi penggerak gerakan menyaudarakan semuanya baik yang berada di UIN Walisongo maupun di masyarakat kendati kondisi dan latar belakangnya sangat beragam. Jika keragaman itu berhasil disaudarakan, apapun ancamannya akan dapat dicegah atau ditolak. Bahkan akan tertolak dengan sendirinya.
UIN Walisongo melalui RMB dan mata kuliah IMB diharapkan dapat berkontribusi mewujudkan hal itu melalui virus moderasi beragama yang tidak putus dikembangbiakkan, tidak hanya di dalam kampus tetapi juga menyelinap ke tengah-tengah masyarakat yang plural melaui peran-peran mahasiswa UIN walisongo yang moderat, toleran dan menyebarluaskan Islam rahmatan lil alamin.
Pembiakan virus moderasi beragama untuk mewujudkan penyaudaraan antarwarga yang berbeda itu juga diimplementasikan melalui program pengembangan tri dharma perguruan tinggi bersama dengan perguruan tinggi-perguruan tinggi keagamaan non Islam, misalnya kolaborasi dengan Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar Bali dan Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangkaraya Kaimantan Tengah melalui program Kuliah Kerja Nusantara (KKN) yang sudah berlangsung sejak tahun lalu.
“Perjumpaan antarmahasiswa dari perguruan tinggi keagamaan yang berlainan agamanya untuk bersama–sama melakukan kegiatan sosial di tengah-tengah masyarakat selain akan menumbuhkan jiwa persatuan sekaligus akan memupuk semangat moderasi beragama sejak dini,” tuturnya.
Langkah ini sekaligus mengakslerasikan moderasi beragama menjadi gerakan massif, tidak lagi sebagai program pemerintah semata tetapi bergeser menjadi kebutuhan bersama masyarakat dalam membentuk karakter keislaman yang santun. Menyaudarakan dan mengkeluargakan seluruh elemen yang berbeda melalui gerakan moderasi beragama itu secara langsung juga telah memanusiakan sesama manusia dan meminggirkan sikap-sikap arogansi. Upaya penyaudaraan dan pengeluargaan juga bukan untuk membangun penyeragaman, karena di dalam bingkai persaudaan dan kekeluargaan itu nilai-nilai saling menghormati masih utuh dan tetap diarusutamakan.
Penulis: Samsul Huda
https://jateng.nu.or.id/nasional/uin-walisongo-saudarakan-yang-berbeda-lewat-moderasi-beragama-Vqr1M