Jakarta, NU Online
Ulama Besar Mazhab Syafi’i dari Al-Azhari Mesir Syekh Abdul Aziz al-Syahawi merasa kagum dengan sistem pendidikan di pesantren tradisional di Indonesia. Pasalnya, kedatangannya di berbagai pesantren disambut dengan penghormatan luar biasa.
“Dari pesantren-pesantren yang sudah beliau singgahi, beliau mendapatkan tarhib sambutan dan penghormatan yang luar biasa. Beliau juga menyaksikan adab yang luhur, juga tradisi keilmuan yang mendalam,” tulis Ahmad Ginanjar Sya’ban, alumnus Al-Azhar yang mengikuti safari dakwah Syekh Al-Syahawi di Indonesia, pada status Facebooknya, Kamis (21/7/2022).
Ginanjar mencatat, bahwa tradisi keilmuan Islam yang berkembang di pesantren-pesantren tradisional (NU) memiliki akar dan koneksi dengan khazanah turots (karya-karya ulama klasik) lintas generasi. Artinya, pesantren menjadi laboratorium literatur dan karya-karya keilmuan Islam yang ditulis oleh para ulama besar lintas abad dan generasi.
Literatur keilmuan tersebut, tulisnya, saling terhubung dan tersambung satu sama lain. Ia mengibaratkan sebuah pohon keilmuan yang menjulang tinggi, dengan akar yang mendalam, dan ranting dahan yang berjalinan.
Hal demikian ini mirip dengan apa yang berlangsung di Al-Azhar. “Tradisi keilmuan di pesantren tradisional (NU) yang demikian ini adalah sama halnya dengan yang juga berkembang di institusi Al-Azhar Mesir pada zaman kemegahan dan keemasannya,” katanya.
Ia mencontohkan tradisi hafalan yang masih diterapkan baik di pesantren maupun di Al-Azhar. Pun pengajaran kitab-kitab klasik karya para cendekiawan Islam dahulu.
Selain itu, di pesantren-pesantren tradisional NU, kitab-kitab karya ulama Al-Azhar lintas generasi masih dipelajari hingga saat ini. Misalnya, kitab-kitab karya Syekh Ibn Hajar al-Asqalani, Syekh Zakariya al-Anshari, Syekh Syams al-Ramli, Syekh Taj al-Subki, Syekh Jalal al-Mahalli, Syekh Jalal al-Suyuthi, Syekh al-Isnawi, al-Qulyubi, al-Dimyathi Syatho, al-Syarqawi, al-Dasuqi, al-Bajuri, al-Inbabi dan lain sebagainya.
“Bagi generasi pra-millenial, nama-nama ulama tersebut di atas banyak dijadikan sebagai nama orang-orang pesantren,” tulisnya.
Dalam sebuah majelisnya, Syekh Abdul Aziz al-Syahawi mengatakan, di Mesir sendiri secara umum, tradisi ini sudah mulai punah. Kuttab-kuttab (lembaga semacam pesantren tradisional di Mesir) yang dahulu menjalankan tradisi hifdzul mutun dan mengaji kitab-kitab klasik sudah tidak seperti dulu lagi.
“Yang tersisa dari kuttab-kuttab tersebut hanya sebagai tempat menghafal al-Quran bagi anak-anak dan mempelajari dasar-dasar keilmuan agama Islam,” tulis Ginanjar mengutip pandangan Syekh As-Syahawi.
Namun demikian, lanjutnya, sejak kurang lebih sepuluh tahun terakhir ini, institusi Al-Azhar Mesir di bawah kepemimpinan Grand Syekh Ahmad al-Thayyib, kembali merevitalisasi tradisi keilmuan Islam klasik ini.
Sejak masa Syaikh Ahmad al-Thayyib, halaqah-halaqah keilmuan dan majelis talaqqi kitab-kitab klasik mulai kembali semarak. Hal yang sama juga untuk tradisi “hifzhul mutun” dan tradisi mensyarah kitab-kitab turots.
Karenanya, Syekh al-Syahawi mengatakan, bahwa tradisi keilmuan di pesantren merupakan gambaran yang dilakukan para ulama terdahulu.
“Tradisi keilmuan yang berkembang di pesantren-pesantren NU di Indonesia adalah cerminan dari tradisi keilmuan Islam klasik di Al-Azhar Mesir,” ujar ulama pakar fiqih itu.
Pewarta: Syakir NF
Editor: Aiz Luthfi
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.