Simpul yang bisa ditarik dari perjuangan ulama untuk bangkit mengubah tatanan sosial ialah, mereka berusaha menjaga dan merawat tanah air yang berawal dari lingkup lokal. Kondisi dan tatanan kehidupan sosial yang tidak seimbang dan cenderung negatif menggerakkan para ulama untuk melakukan langkah perubahan ke arah yang lebih baik. Tentu selain kewajiban mereka mengamalkan ilmunya setelah bertahun-tahun menimba ilmu di tanah Hijaz, Mekkah dan Madinah.
Sebut saja KH Hasyim Asy’ari, KH Tobagus Muhammad Falak (1842-1972), KH Bisri Syansuri, KH Syamsul Arifin Situbondo, serta ulama-ulama lain di berbagai daerah yang menginisiasi kebangkitan ulama melalui perjuangan mendirikan pesantren di daerah yang terbilang ada dalam kondisi tatanan sosial yang sangat negatif. Begitulah mestinya pijakan awal perjuangan agama, mengubah dari kondisi negatif ke tatanan sosial yang lebih baik dalam bingkai religiusitas komunal, bukan individual.
Dalam sejumlah literatur sejarah, di penghujung abad ke-19, tepatnya pada tahun 1899, KH Hasyim Asy’ari bangkit mendirikan ‘tratak’ (bangunan yang belum sempurna) berukuran sekitar 10×10 meter persegi di Kampung Tebuireng, Desa Cukir, Kecamatan Diwek, sekitar 8 kilometer di selatan Kota Jombang. Masyarakat mengenal Tebuireng sebagai daerah yang sangat rawan. Pembunuhan, pencurian, perampokan, dan perkelahian hampir terjadi setiap hari. Aroma anyir tatanan sosial tersebut semakin kuat dengan hadirnya tempat-tempat maksiat seperti perjudian, pelacuran, dan mabuk-mabukan di setiap sudut kampung.
Namun kondisi tersebut tidak menyurutkan langkah KH Hasyim Asy’ari untuk menyebarkan ajaran Islam kepada seluruh masyarakat kala itu. Perjuangan mendirikan pondok untuk belajar agama Islam secara mendalam setiap hari mendapatkan rintangan yang beberapa kali mengancam jiwa Kiai Hasyim Asy’ri dan santrinya yang saat itu masih bisa dihitung jari. Melihat kondisi tersebut, Kiai Hasyim merasa perlu mempelajari ilmu bela diri, begitu juga dengan para santrinya.
Akhirnya Kiai Hasyim mengutus seorang santrinya pergi ke Cirebon, Jawa Barat untuk meminta bantuan kepada Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Pangurangan, Kiai Syamsuri Wanantara, Kiai Abdul Abdul Jamil Buntet, dan Kiai Saleh Benda Kerep. Kelima kiai tersebut merupakan sahabat karib Kiai Hasyim. Mereka dikenal ahli dalam ilmu silat dan sengaja didatangkan ke Tebuireng untuk melatih Kiai Hasyim dan para santrinya.
Ilmu bela diri tersebut terbukti ampuh untuk menghadapi para penjahat yang terus berusaha menggangu aktivitas belajar agama di Pondok Tebuireng. Bahkan, Kiai Hasyim dengan kelembutan akhlaknya mudah saja memberikan pengampunan kepada para penjahat sehingga dengan sendirinya mereka bertobat dan memohon kepada Kiai Hasyim agar dijadikan sebagai muridnya di pondok.
Perjuangan Kiai Hasyim di atas hanya salah satu contoh terhadap banyaknya ulama yang melakukan perjuangan serupa di berbagai daerah meski dalam kondisi masih terjajah oleh Belanda saat itu. Di Jombang sendiri, Kiai Hasyim mampu merangsang tumbuh dan berkembanngnya pondok pesantren di beberapa kampung seperti Denanyar, Sambong, Sukopuro, Paculgowang, Watugaluh, Nggayam, Suwaru, Tegalsari, Banjarsari, Mojodadi, Balonggading, Pojokkulon, Semelo, Dukuhsari, dan Seblak. (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 1985)
Perjuangan serupa dilakukan oleh ulama asal Banten KH Tobagus Muhammad Falak yang mendirikan Pondok Pesantren Al-Falak pada 1907 di Kampung Pagentongan, Desa Gunung Batu, Kecamatan Ciomas, Kota Bogor. Kemudian KH Bisri Syansuri yang mendirikan Pondok Pesantren Manbaul Ma’arif di Denanyar pada 1917, KH Syamsul Arifin Situbondo ayah KHR As’ad Syamsul Arifin yang mendirikan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah di Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus, Situbondo pada tahun 1910-an.
Ke semua perjuangan ulama tersebut tidak berangkat dari kemapanan tatanan sosial, tetapi justru sebaliknya, dalam kondisi masyarakat dengan perilaku negatif hampir setiap hari. Hal ini membuktikan bahwa keberadaan ulama mampu membangkitkan masyarakat menjadi lebih baik dan berdaya. Selain itu, pijakan kehidupan masyarakat yang bernama tanah air menjadi kewajiban para ulama untuk menjaga dan merawatnya agar lebih baik.
Semangat menjaga tanah air inilah yang menjadi ‘virus’ positif dalam melakukan langkah awal perlawanan terhadap penjajah yang tidak berperikemanusiaan di tanah air bangsa Indonesia. Pesantren menjadi titik kumpul dimulainya perjuangan membebaskan diri dari kungkungan penjajah. Pemikiran dan sikap kritis tetapi terbuka (inklusif) yang ditanamkan para ulama kepada para santri menjadi motor pergerakan nasional melawan penjajah dalam semangat cinta tanah air (hubbul wathan).
Gelora cinta tanah air ini tidak hanya membakar semangat perjuangan para santri dan umat Islam, tetapi juga para tokoh pergerakan nasional lintas etnis dan agama untuk bersama-sama berjuang mengusir penjajah agar meraih kemerdekaan lahir dan batin. Maka, cinta tanah air menjdi kunci perjuangan seluruh bangsa Indonesia yang saat ini disatukan dengan prinsip agung Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. (Fathoni Ahmad)
Download segera! NU Online Super App, aplikasi
keislaman terlengkap. Aplikasi yang memberikan layanan informasi serta pendukung
aktivitas ibadah sehari-hari masyarakat Muslim di Indonesia.
https://www.nu.or.id/esai/ulama-dan-perubahan-sosial-masyarakat-DdDsR