Di samping peristiwa Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Rajab, ada peristiwa penting lain yang juga harus dikenang oleh umat Islam yaitu perjuangan Sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis, Palestina ke pangkuan Islam tepatnya pada tahun 583 H.
Ketika ingin membebaskan Baitul Maqdis, Sultan Shalahuddin al-Ayyubi tidak langsung menyiapkan tentara dan peralatan perang. Akan tetapi yang mula-mula beliau lakukan adalah mempersatukan umat Islam dalam satu ikatan aqidah yang benar, yaitu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja).
Menurutnya, kesatuan aqidah akan melahirkan kesatuan hati. Kesatuan hati antarumat Islam adalah kekuatan dahsyat yang tidak akan dikalahkan oleh siapa pun. Salah satu upaya untuk mewujudkan hal itu, beliau memerintahkan setiap juru adzan (muadzdzin) di semua wilayah yang beliau kuasai untuk mengumandangkan aqidah Asy’ariyah setiap hari sesaat sebelum adzan shubuh (Muhammad bin ‘Allan ash-Shiddiqi dalam al-Futuhat ar-Rabbaniyyahdan as-Suyuthi dalam al-Wasa’il fi Musamarah al-Awa’il).
Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi, tapi kesatuan aqidah inilah faktor yang paling utama dalam keberhasilan Sultan Shalahuddin mengembalikan Baitul Maqdis ke pangkuan umat Islam. Imam as-Suyuthi mencatat dalam al-Wasa’il fi Musamarah al-Awa’il bahwa Sultan Shalahuddin al-Ayyubi adalah penganut mazhab Syafi’i dalam fiqih dan pengikut mazhab Asy’ari dalam aqidah. Sang sultan memiliki perhatian yang sangat besar dalam penyebaran aqidah Asy’ariyah. Beliau adalah seorang sultan yang hafal Al-Qur’an, hafal kitab at-Tanbih, sebuah kitab yang menjelaskan tentang fiqih mazhab Syafi’i, dan hafal kitab al-Hamasah, sebuah kitab himpunan bait-bait syair.
Sultan Shalahuddin, lanjut as-Suyuthi, adalah seorang yang memegang teguh ajaran agama, wara’, pejuang, mujahid, dan seorang yang bertakwa. Melihat perhatian khusus Sultan Shalahuddin terhadap penyebaran aqidah Asy’ariyah, Syekh Muhammad bin Hibatillah al-Barmaki lalu menyusun kitab yang berisi bait-bait nadham dalam ilmu aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang ia beri judul Hada’iq al-Fushul wa Jawahir al-Ushul. Kitab itu lalu dihadiahkan oleh pengarangnya kepada Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Shalahuddin lantas memerintahkan kepada semua madrasah untuk mengajarkan kitab tersebut. Sebab itu, kitab itu kemudian terkenal dengan sebutan al-‘Aqidah ash-Shalahiyyah.
Di antara yang tertulis dalam kitab tersebut adalah beberapa bait berikut ini:
وصانعُ العالمِ لا يحـــويهِ ۞ قطرٌ تعالى اللهُ عـن تشبيهِ
قد كانَ موجودًا ولا مكانَا ۞ وحكمهُ الآن على ماكـانَ
سُبحانهُ جلّ عن المــــكانِ ۞ وعـزّ عن تغيُرِ الزمانِ
فقد غَلا وزادَ في الغُــــلوِ ۞ مــن خصهُ بجهةِ العـلو
Sang Pencipta Alam tidak diliputi ۞ tempat, Allah Mahasuci dari penyerupaan terhadap makhluk
Allah ada sebelum adanya tempat ۞ dan Dia sekarang tetap seperti sedia kala, ada tanpa tempat
Mahasuci Allah dari tempat ۞ dan Dia Mahasuci dari peredaran masa
Sungguh telah melampaui batas ۞ orang yang mengkhususkan-Nya di arah atas