Kebahagiaan merupakan puncak tujuan kehidupan manusia, namun kebahagiaan yang sesungguhnya yaitu kehidupan akhirat. Meraih kebahagiaan akhirat harus terpisahkan oleh kematian dan sebelum kematian adanya kehidupan di alam dunia.
Kehidupan di dunia adalah sementara, tempat berkelana menyiapkan bekal yang sebanyak-banyaknya demi kebahagiaan akhirat itu nyata didapatkan.
Meraih kebahagiaan perlunya keseimbangan hidup antara dunia maupun akhirat. Dalam kitab Kimiyaus Sa’adah, kitab Imam al-Ghazali, sebuah kitab yang ditulis dalam bahasa Persia, setelah pengembaraan tasawuf sang imam, dan setelah menamatkan kitab monumentalnya, Ihya Ulumuddin.
Kimiyaus Sa’adah adalah kitab yang secara khusus dipersembahkan kepada para salik, ditulis dengan gaya populer dan ringan. Menjelaskan tentang bagaimana seharusnya untuk sampai kepada Tuhan, al-Ghazali menghendaki adanya keseimbangan antara visi akhirat dan kehidupan duniawi, mengejar Tuhan tanpa harus menafikan kebutuhan diri sendiri, ragawi dan ruhani.
Salah satunya ibadah pernikahan. Ia berperan penting dalam kehidupan manusia, yang kadang mendukung peribadatan, dan tak jarang hadir sebagai penghambat. Di dalam beberapa aliran thariqat sendiri, seseorang baru dibaiat setelah menikah. Mengapa?
Pernikahan berhubungan, salah satunya, dengan nafsu seksual. Setiap orang memiliki nafsu seksual. Ia manusiawi. Namun, banyak orang yang terhambat dan terjerumus ke dalam dosa karena nafsu ini.
Di dalam anjuran Islam, baik syariat maupun tasawuf, nafsu tidak harus dihilangkan atau diredam. Nah, pernikahan menjadi penyalur nafsu seksual itu untuk dibalik menjadi rejeki manusia yang tak terkira.
Tapi tahukah, di samping itu, ternyata banyak manfaat lain di dalam agama bagi orang-orang yang telah menikah? Bukan hanya kenikmatan duniawi, tapi pernikahan adalah salah satu lahan paling subur untuk mendapatkan pahala. Berikut beberapa nasehat al-Ghazali dalam Kimiyaus Sa’adah:
Memperbanyak Keturunan
Pernikahan adalah penerusan keturunan, sehingga semakin banyak penyembah Allah. Dan tahukah, anak-anak yang kita lahirkan dan menjadi orang shaleh, setiap amal ibadah yang ia lakukan, juga berimbas kepada kita sendiri.
Diriwayatkan dari seorang wali yang termasyhur bahwa suatu kali ia bermimpi bahwa Hari Pengadilan telah tiba. Matahari telah mendekat ke bumi dan orang-orang mati karena kehausan. Sekelompok anak-anak berjalan kesana-kemari memberi mereka air dari cawan-cawan emas dan perak. Tetapi ketika sang wali meminta air, ia ditolak. Salah satu dari anak itu berkata kepadanya, “Tidak seorang pun di antara kami ini anak Anda.” Segera, setelah sang wali bangun, ia berencana untuk menikah.
Memiliki Kawan Seperjuangan
Dalam banyak riwayat, setelah menerima wahyu, Nabi Muhammad selalu pulang ke rumah istrinya, sekadar untuk mendengarkan sang istri berbicara dan bersenda gurau. Hal ini dilakukan nabi untuk kembali me-refresh pikirannya setelah mengerjakan tugas-tugas keagamaan.
“Sentuhan kemanusiaan yang hangat dari pasangan, adalah suatu kelegaan yang mampu menghilangkan ketegangan-ketegangan dalam menjalankan tugas, baik agama maupun pekerjaan”
Efisiensi dan Penataan Hidup
Hidup berpasangan berhubungan dengan pembagian tugas antar keduanya. Dengan hadirnya pasangan, hidupnya semakin tertata dengan saling membagi tugas. Karenanya, seseorang akan memiliki waktu untuk menuntut ilmu atau melakukan ibadah-ibadah yang lain.
Menghidupkan Visi Kemanusiaan
Bersikap sabar dengan tetek-bengek satu sama lain, memenuhi kebutuhan masing-masing dan saling melindungi, adalah suatu bagian yang amat penting dalam pernikahan. Hal ini merupakan ujian akan visi kemanusiaan, sanggupkah seseorang bekerja dan berjuang untuk orang lain.
Berkenaan dengan ini, diriwayatkan bahwa seorang wali yang ditinggal wafat istrinya memilih untuk tidak menikah lagi dan memusatkan diri dan pikirannya dalam uzlah. Pada suatu malam ia bermimpi dan melihat pintu surga terbuka. Ia melihat sejumlah malaikat turun, dan salah satu mendekat dan berkata kepadaya, “Inikah orang celaka yang egois itu?” Rekan-rekannya menjawab “Ya.”
Wali itu sedemikian terperangahnya dan sehingga tidak sempat bertanya siapakah yang mereka maksud. Seorang anak laki-laki tiba-tiba lewat dan berkata, “Andalah yang sedang mereka bicarakan. Baru minggu yang lalu perbuatan-perbuatan baik Anda dicatat di surga bersama dengan wali-wali yang lain, tetapi sekarang mereka telah menghapus nama Anda dari buku catatan itu.” Setelah terjaga, sang wali lalu memutuskan untuk menikah kembali.
Editor: Abdul Manap
Sumber: Alif.id